Jumat, 25 Oktober 2024

Priska Yeniriatno, Memberdayakan Masyarakat Melalui Batik Singkawang

 


Memberdayakan masyarakat melalui batik Singkawang (Foto
 

: Instagram Priska)

Batik Singkawang tak bisa dipisahkan dari sosok  Priska Yeniriatno. Perempuan inspiratif berusia 36 tahun ini merupakan pembatik yang tidak hanya berhasil mengenalkan ciri khas batik Singkawang ke dunia internasional, melainkan juga mampu meningkatkan perekonomian masyarakat di sekitarnya.

Rasa cinta kepada batiklah yang menggerakkan Priska untuk berbagi ilmu kepada masyarakat setempat, dengan tujuan melestarikan budaya bangsa, khususnya batik Singkawang, dan meningkatkan perekonomian daerah.

Priska dan Batik

Priska, berbagi ilmu, menularkan rasa cinta pada batik (Foto : Instagram Priska)

Seni membatik dipelajari Priska saat menjalani kuliah semester akhir di jurusan akutansi di  Universitas Atma Jaya Yogyakarta. Ia mempelajari cara membatik dari salah seorang kerabat ayahnya. Awalnya hanya untuk mengisi waktu senggang. Namun ternyata ia tidak hanya mempelajari tehnik membatik, melainkan  juga diajarkan tentang 'rasa', hal mana yang kemudian menumbuhkan kecintaannya terhadap batik.

Meski sempat bekerja secara formal selama dua tahun sebagai staf akunting di salah satu perusahaan swasta, namun rasa cintanya kepada batik tak kunjung padam, justru menumbuhkan kerinduan yang mendalam. Harapannya tumbuh ketika ada himbauan untuk mengenakan pakaian batik bagi pekerja kantoran dan anak sekolah. Ia menangkap momen itu untuk menata masa depannya.

Setelah mempertimbangkan dengan matang, Priska pun memilih resign dan mulai merintis bisnisnya. Dengan menggunakan tabungan yang dimiliki dan bantuan dari orangtuanya, Priska membeli sebuah rumah yang tak begitu besar di lokasi yang strategis.

Pada mulanya ia menjadikan rumahnya untuk tempat spa sekaligus galeri batik. Namun ternyata galeri batik yang dimilikinya lebih banyak menarik perhatian pengunjung, hingga ia memutuskan untuk menjadikan seluruh rumahnya sebagai sanggar batik.

Di sanggar batik Priska selain bisa memilih dan membeli kain batik yang sudah jadi, pengunjung juga bisa melihat proses kreatif pembuatan batik Singkawang. Saat ini usaha batik yang dimilikinya bahkan menjadi tujuan wisata di Kota Singkawang, Kalimantan Barat.

Galeri Workshop Kote Singkawang

Bersama SMKN 1 Sambas (Foto : Instagram Priska)

Awal tahun 2013 Priska mengenalkan batik Singkawang, sejak itu permintaan pasar terus meningkat.  Menyadari keterbatasan pribadi, ia mulai merencanakan untuk merekrut tim.  Dengan terbentuknya tim dan bertambahnya sumber daya, ia berharap galeri miliknya mampu memenuhi permintaan pasar, sekaligus sebagai upaya melestarikan budaya bangsa, khususnya batik Singkawang.

Maka Priska pun mulai membentuk tim di tahun 2015, dan membentuk Galeri Workshop Kote Singkawang dan mulai memberikan pelatihan pada masyarakat. Fokusnya adalah memberdayakan pengangguran, anak-anak putus sekolah, orang-orang tersisih dari lingkungan sosial karena keluar dari penjara dan para ibu rumah tangga yang membutuhkan penghasilan tambahan.

Pelatihan di Lapas Singkawang ( Foto : Instagram Priska)

Dalam pelatihan itu, Priska tidak saja mengenalkan batik, melainkan juga harus mengajarkan proses pembuatan batik dari awal hingga akhir. Sayangnya, tidak semua yang belajar membatik akan langsung jatuh cinta dengan batik. Dari semula 28 orang yang dibina selama 4 bulan, yang mampu bertahan hingga akhir hanya 8 orang.

Untuk itu Priska terus menumbuhkan motivasi, harapan dan menumbuhkan mimpi-mimpi agar mereka bisa mengejar dan memenuhi kebutuhannya melalui kegiatan membatik. Hingga akhirnya menumbuhkan rasa cinta terhadap batik.

Kerja kerasnya dalam membina dan menularkan hobi membatik ini membuahkan hasil. Para pembatik yang ia latih mampu mengumpulkan pundi-pundi rupiah dan meningkatkan perekonomiannya dari hasil membatiknya. Selain itu para pembatik itu pun berproses jadi pelatih dan menularkan kecintaan terhadap seni membatik.

Meraih Penghargaan SATU Indonesia Awards 

 
Meraih apresiasi SATU Indonesia Awards 2017 tingkat Provinsi ( Foto : liputan6.com/Agustina Melani)

Dengan kiprahnya yang mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat di sekitarnya, tidak mengherankan jika Priska terpilih untuk menerima apresiasi SATU Indonesia Awards dari PT ASTRA International tahun 2017 di bidang kewirausahaan.

Setelah mendapatkan apresiasi ASTRA, ia tak berhenti menggaungkan rasa cinta kepada batik Singkawang. Dengan membangun  kampung wisata batik di tiga penjuru, yaitu di Nyarumbkop, Sedau dan Cisadene.

Ketiga kampung batik ini pun berkembang menjadi destinasi wisata. Dengan menjadi tujuan wisata, Priska mampu memberdayakan dan membuka lapangan kerja bagi masyarakat di sekitarnya. Sebagai tujuan wisata, Friska juga menyediakan fasilitas bagi wisatawan yang berkunjung untuk melihat proses produksi batik, menyediakan kain batik siap jual sebagai oleh-oleh, dan menyediakan produk lainnya, seperti : anyaman, tenun, ukiran dan craft.

Ciri Khas Batik Singkawang

Motif Batik Singkawang ini terinspirasi dari rumah suku Dayak (Foto : Instagram Priska)

Setiap daerah penghasil batik biasanya memiliki motif khas daerah masing-masing. Motif ini biasanya diambil ciri khas flora dan fauna yang ada di daerah tersebut, atau bisa juga berdasarkan kebudayaan dan keistimewaan setempat.

Demikian juga dengan batik Kote Singkawang. Prika mengaplikasikan ciri khas Singkawang ke dalam motif batik yang dibuatnya. Seperti anggrek, kultur budaya setempat yang sarat dengan budaya Cina, Dayak dan Melayu. Maka tak heran jika batik Kote Singkawang memiliki corak yang kaya dan memikat.

Dengan motif yang unik dan sarat muatan lokalitas, perjalanan cinta Priska terhadap batik Singkawang semakin bersinar. Tak heran jika batik Singkawang mulai menembus kancah internasional. Berbagai penghargaan yang diraih Priska, menjadi bukti bahwa tak ada kerja keras yang sia-sia, jika didasarkan pada rasa cinta dan keinginan untuk melestarikannya.

Selasa, 22 Oktober 2024

Elvira Sari Dewi, Menyemai Asa Odapus Agar Tak Pupus Bersama Parahita

 

Elvira Sari Dewi, berjuang bersama lupus (Foto : Instagram Elvira)

Sungguh tidak mudah menerima kenyataan, saat hasil pemeriksaan medis yang dijalaninya menunjukkan, bahwa segala keluhan fisik yang dirasakannya merupakan gejala-gejala penyakit autoimun, Lupus. Dunianya sontak terasa runtuh. Dalam kondisi down, Elvira mempertanyakan, masihkah ada harapan untuknya di saat masa depan tampak begitu gelap.

Lupus atau Systemic Lupus Erythenatosus (SLE) merupakan salah satu jenis penyakit autoimun, yaitu kondisi tubuh dimana sistem kekebalan tubuh justru menyerang jaringannya sendiri. Di saat tubuh melemah, autoimun ini akan mengambil alih tubuh, yang menyebabkan tubuh menjadi lemah, sulit digerakkan, juga menimbulkan rasa sakit di sekujur tubuh.

Tidak semua penyitas lupus, atau disebut juga odapus (orang yang hidup dengan lupus), mengalami gejala yang sama. Secara umum odapus mengalami gejala yang berbeda satu sama lain. tergantung di bagian mana sistem kekebalan tubuhnya menyerang. Ada juga yang mengalami  pingsan berulang kali, pengentalan darah hingga mengalami serangan jantung, dan membahayakan kehamilan. Ada yang merasa seperti ditusuk-tusuk jarum, ada pula yang mengalami kelumpuhan sementara. 

Tak ada gejala yang muncul seperti umumnya penyakit yang lain, seperti demam, ataupun luka/memar. Rasa sakit ini akan hilang dengan sendirinya pada saat kondisi fisik menguat, baik dengan bantuan obat, atau saat pemicu munculnya autoimun dapat diatasi. Berbeda dengan penyakit autoimun lainnya, odapus dapat dilihat dengan munculnya ruam atau bintik-bintik yang menyebar di daerah sekitar pipi dan hidung, yang berbentuk seperti kupu-kupu.

Karena kehadirannya yang datang dan pergi tanpa tanda-tanda, kebanyakan odapus sering disalahpahami. Sebetulnya sih, hampir semua penyitas autoimun disalahpahami karena kondisi fisiknya yang berbeda. Mereka tidak boleh mengalami lelah yang berlebihan, tidak boleh stres, namun secara fisik seperti orang sehat. 

Maka tidak sedikit orang yang menganggap mereka manja, malas, suka pura-pura sakit, dan lain sebagainya. Padahal rasa sakit yang mereka rasakan begitu nyata.

Menerima Takdir Sebagai Odapus

Bersama Parahita memberi asa pada odapus (Foto : Instagram Elvira)

 

Sebagai odapus, Elvira pernah berada dalam kondisi terpuruk. Disaat dirinya bertanya-tanya, adakah masa depan baginya? Masihkah ia bisa melihat senyum di wajah orang-orang tercinta? Pada saat yang sama, ia hanya melihat tangisan di wajah kedua orangtuanya. Rasa tertekannya semakin menjadi-jadi.

Dari informasi yang diterimanya, penyakit ini akan terus menemaninya sepanjang hayat. Ia tak bisa melarikan diri dari kondisi ini. Mau tak mau ia harus berdamai dengan penyakit ini. Menerima takdirnya sebagai Odapus.

Beruntung ia bertemu dengan Parahita, sebuah yayasan yang menjadi wadah untuk saling suport bagi Odapus. Tempat dimana ia menemukan saudara-saudara baru, orang tua baru, yang penuh kasih sayang dan suport.

Bersama Parahita, wawasannya kian terbuka, bahwa ada banyak hal yang bisa dijalani sebagai odapus. Odapus bisa hidup secara normal, memiliki karir, dan baik-baik saja.  Selama bisa menghindari atau meminimalisir pemicu kambuhnya penyakit ini.

Apa saja yang harus dihindari Odapus?

Menyampaikan info penting dengan cara yang simpel dan menarik (Foto : Instagram Parahita)

 

Dalam banyak hal,  beberapa kondisi tak bisa diubah  odapus, yaitu rasa sakit teramat – dalam sebuah caption di instagramnya, Elvira menyebutkan rasa sakit yang dialaminya seperti habis berlari dikejar binatang buas, lalu terjatuh dan terkilir – amat menyakitkan. 

Namun kondisi tersebut tetap mengundang ketidakpahaman orang-orang di sekitar. Banyak yang beranggapan rasa sakit itu hanyalah pura-pura, akibat rasa malas, dsb.

Untuk mencegah kambuhnya penyakit ini, hal-hal berikut harus dihindari oleh odapus, khususnya dan penyitas autoimun lainnya pada umumnya. Yaitu :

  • Aktivitas merokok
  • Terpapar asap rokok orang lain
  • Paparan sinar matahari berlebih
  • Terlalu capek fisik
  • Stres berkepanjangan

Aktif Dalam Kegiatan Masyarakat

Menari, menyanyi bersama sebagai upaya mengurangi rasa sakit (Foto: Instagram Parahita)

Merasakan sendiri beratnya perjuangan menjadi odapus dan pentingnya suport bagi mereka membuat Elvira bertekad untuk memberikan dukungan terbaik bagi sesama odapus.

Lulusan Fasttrack-Double Degree S1-S2 di Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya dan menjadi dosen tetap di Program Studi Sarjana Keperawatan FKUB Malang ini aktif dalam penelitian dan pengabdian masyarakat di Kelompok Kajian Lupus, Autoimun, Reumatik, dan Alergi (LAURA). 

Dengan mendalami ilmu kesehatan yang berkaitan dengan penyakit autoimun, khususnya, Lupus, Elvira bisa lebih melebarkan sayapnya dalam menolong sesama. Ia pun membuktikan, menjadi odapus bukan akhir dari segalanya. 

Saat ini Elvira Sari Dewi juga dikenal sebagai Ketua Umum Yayasan Kupu Parahita Indonesia. Yayasan yang lahir pada tanggal 26 Juli 2008 ini, merupakan wujud rasa peduli terhadap para Odapus, khususnya yang berlokasi di Malang dan sekitarnya. Parahita sendiri diambil dari bahasa Sansekerta memiliki makna “Peduli terhadap sesama”. Parahira menjadi wadah yang bisa tetap menyalakan semangat para odapus agar tak pupus oleh lupus.

Bersama Parahita, Elvira terus berbagi semangat dan menginspirasi odapus agar tak kehilangan semangat juang dalam menjalani kehidupan dan berani bermimpi akan masa depan.

Berbagai informasi penting seputar lupus terus disampaikan, agar odapus kian memahami kondisi dirinya dan bisa mengambil tindakan yang efektif untuk menjaga dirinya agar tetap ‘sehat’ dan bisa menjalani aktifivitas dalam kesehariannya. 

Selain kerap menghadiri seminar. Parahita juga mengemas informasi mengenai lupus dengan penyampaian yang atraktif dan tidak membosankan, yaitu melalui video-video pendek yang menarik.

Meraih Penghargaan SATU Indonesia Awards dari PT Astra International, Tbk

Bersama Parahita, menyemai asa bagi odapus ( Foto : Instagram Elvira)

Dengan berbagai kegiatan yang diadakan Parahita,  ia membuka mata masyarakat tentang Lupus. Agar masyarakat semakin paham dan mengerti bagaimana cara menyikapi odapus dan membantu mereka agar bisa tetap bertahan di tengah rasa sakit yang terkadang begitu menekan. 

Kepedulian Elvira ini mengantarkannya untuk meraih penghargaan SATU Indonesia Awards 2017 yang diberikan oleh PT Astra International, Tbk kepada anak-anak muda yang memiliki kepedulian dan kontribusi positif kepada masyarakat, baik di bidang pendidikan, kesehatan dan kewirausahaan.

Bersama Parahita, Elvira akan terus berjuang membersamai odapus. Memberikan kenyamanan dengan ketulusan sikap maupun aktivitas fisik menyenangkan, senam bersama. Juga memberikan bantuan yang dibutuhkan, seperti konsultasi atau obat-obatan. Serta menjaga nyala semangat odapus agar tak pupus oleh lupus. 

Selamat berjuang, Elvira. Tetap semangat menjadi insan terbaik, yang memberi manfaat seluas-luasnya bagi sesama. 

 

 

 

 

 

Jumat, 18 Oktober 2024

Faradila Bachmid, Pejuang Literasi Bagi Anak-Anak yang Kurang Mampu

Faradila Bachmid, Pejuang literasi bagi anak-anak yang kurang mampu
(Foto : Instagram Faradila)


Baru-baru ini Faradila Bachmid, founder Perkumpulan Literasi Sulawesi Utara, menggelar kegiatan yang bertajuk Semesta Literasi Sulawesi Utara Tahun 2024, yang diadakan di Kampung Merdeka, Menado, pada tanggal 11-12 Oktober 2024.

Ide awal kegiatan ini lahir dari keprihatinan Faradila Bachmid terhadap minimnya wadah bagi generasi muda yang ingin mengembangkan bakat literasi. 

Sebagai pejuang literasi dan duta baca, ia pun mengadakan acara ini sebagai fasilitas untuk berbagai kegiatan literasi seperti membaca buku dengan metode read alod, menulis cerita anak menggunakan tema lokalitas, menulis jurnalistik, menulis Sejarah kampung melalui booklet esai foto, Lokakarya Literasi.

Kegiatan ini pun dihidupkan dengan rangkaian kegiatan yang bermuatan seni. Seperti Literasi Musik, Musikalisasi Puisi, tarian kontemporer dari PAUD Samratulangi, tarian dari Sanggar Tari Literasi Sulut, juga Stand Up Comedy. 

Faradila berharap dari kegiatan ini menghasilkan sebuah karya tulis berupa buku. Mengapa buku? Menurutnya, meskipun orang mudah dilupakan, namun karya tulis akan tetap abadi. 

Program Membaca, Menulis dan Berhitung Bagi Anak-Anak Kurang Mampu


Mengajar membaca di kampung nelayan
(Foto : Dok. Kumparan)

Sejak belia Faradila sudah mencintai dunia literasi. Rasa cinta ini pula yang menumbuhkan keprihatinannya terhadap minimnya kemampuan membaca, khususnya di kalangan anak-anak yang kurang beruntung dan hidup dalam lingkaran kemiskinan. Rasa prihatin ini yang kemudian menumbuhkan gagasan dan keinginannya untuk mengubah kondisi tersebut.

Tahun 2010, saat masih duduk di bangku SMA kelas 3, Faradila memulai langkahnya di dunia literasi. Ia mengisi masa remajanya dengan kegiatan sosial untuk membantu anak-anak yang tersisihkan agar setara, minimal memiliki kesempatan belajar membaca, menulis dan berhitung. 

Berbeda dengan remaja kebanyakan yang sibuk dengan macam keseruan dan kemeriahan masa remaja, Faradila memilih jalan sunyi dengan membuat dan menjalankan program pendidikan gratis serta melakukan pendampingan untuk anak-anak kurang mampu yang ada di sekitar pasar dan terminal.

Semangatnya tumbuh subur dengan semakin tertambahnya jumlah anak-anak yang mengikuti program gratis belajar ini. Ia bahagia melihat anak-anak yang semula tersisihkan dari dunia, perlahan mulai menyukai dunia literasi dan berani bermimpi. 

Selama tiga tahun Faradila mengajar dengan lokasi belajar yang terus berpindah. Dari pasar yang satu ke pasar yang lain. Dari terminal ke terminal. Hingga akhirnya menetap di Kelurahan Dendengan Dalam, tepatnya di Kampung Merdeka. 

Support System Terbaik itu adalah Keluarga 

Konsisten mengajar membaca dan menulis bagi anak-anak yang kurang mampu
(Foto : Dok. Kumparan)


Dengan dukungan penuh kedua orangtuanya, yang rela menjadikan kediaman mereka sebagai ruang publik dan tempat belajar, program pendidikan gratis ini pun semakin bervariasi.  Mulai dari Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD), Pendidikan Kesetaraan, Pendidikan Vokasional (life skill dan soft skill), Taman Bacaan Masyakarat, semua program kegiatan tersebut dilakukan dengan pendekatan literasi.

Dalam sebuah wawancara, Faradila menyebutkan bahwa semua kegiatan dan gerakan literasi yang dilakukannya terjadi karena ia memiliki support system terbaik, yaitu kedua orang tuanya. Tidak hanya dukungan secara moril dan memberikan keluasan waktu, orang tuanya juga memberikan fasilitas dan menjadi donatur bagi semua kegiatan yang dilakukannya. 

Selain kedua orangtuanya, Faradila juga mengakui keluarga, seperti kakak, adik, suami dan keponakan menjadi support system terbesarnya. Orang-orang yang mempengaruhi setiap konsentrasi dan pilihan hidupnya. 

Dengan support system dari orang terdekat, perjuangan Faradila memberantas buta huruf bagi anak-anak yang kurang mampu terus berlanjut, belasan tahun sudah terlewati. Masih banyak ide-ide yang dimilikinya meningkatkan minat baca dan literasi di lingkungan anak-anak yang kurang mampu. 

Besarnya dukungan yang diberikan keluarga ini juga membuat perjuangannya di dunia literasi berjalan nyaris tidak ada kendala yang berarti. Karena menurutnya, kendala yang paling besar justru muncul dari dalam diri sendiri. 

Konsistensi Berbuah Prestasi

Meraih penghargaan SATU Indonesia Awards 2017
(Foto: Instagram Faradila)



Konsistensi Faradila selama belasan tahun ini menumbuhkan semangat dan menjadi inspirasi bagi kalangan muda lainnya dan membuat mereka tertarik untuk bergabung, bersama-sama berjuang dalam koridor literasi. 

Hal ini pula yang mengantarkan Faradila Bachmid meraih penghargaan di bidang pendidikan dari SATU Indonesia Awards dari PT Astra Internasional. Penghargaan ini diberikan khusus bagi anak-anak muda yang menginspirasi dan memberi manfaat seluas-luasnya bagi masyarakat. 

Wanita berhijab ini memiliki prinsip hidup yang mendalam, yang menjadi ruh dari semua aktivitas yang dilakukannya. 

 Yaitu, bahwa hidup bukan hanya soal eksistensi dan mempertahankan hidup. Namun bernilai lebih dari itu. Hidup adalah sebuah harapan, dimana kita dapat menghantarkan harapan untuk mimpi orang lain. 

Ia pun selalu menanamkan, baik secara pribadi maupun bersama gerakan literasi, bahwa tujuan utama kegiatan adalah sama-sama belajar dan memberikan peluang-peluang sukses bagi mereka yang kurang beruntung dan tersisih. 

Ia pun akan terus berjuang di bidang pendidikan dan sosial untuk memberikan yang terbaik, memberikan rasa aman dan bahagia, bagi lingkungan terdekat sampai masyarakat luas di Sulut.
Selamat berjuang Faradila!

Selasa, 15 Oktober 2024

Theresia Dwiaudina Sari Putri, Pejuang Kesehatan Ibu dan Anak dari Desa Uzuzozo

 

Theresia Dwiaudina Sari Putri, Pejuang kesehatan ibu dan anak Desa uzuzozo
 (Foto : Instagram Theresia Dwiaudina)

Setiap hari adalah hari baik yang harus disongsong dengan penuh semangat dan rasa bahagia. Salah satunya dengan membantu sesama. Menolong ibu-ibu yang melahirkan, mengobati pasien, atau sekadar menyapa masyarakat di sepanjang jalan.

Adalah Theresia Dwiaudina Sari Putri,yang menjalani hari-hari sebagai tenaga kerja kesehatan di desa terpencil, Desa Uzuzozo, Kabupaten Ende, Nusa Tenggara Timur.

Berawal dari keinginan ayahnya, yang menginginkan salah satu anaknya ada yang berkecimpung di dunia kesehatan. Dinny, begitu nama panggilannya, memilih untuk meneruskan pendidikan ke Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan di Surabaya.

Sebagai sulung dari empat bersaudara, ia tentu tak ingin memberatkan orangtuanya. Mengingat biaya kuliah di fakultas kedokteran sangat tinggi, dengan berbagai pertimbangan, ia mengambil jurusan Kebidanan D3.

"Biaya kuliah di kedokteran sangat mahal," tuturnya ketika melakukan wawancara langsung dengan penulis.

Pilihan ini disesuaikan dengan kemampuan ayahnya, Kanis Sari, yang berprofesi sebagai PNS, dan ibunya, Herlin Kaleka, yang menjadi petani. Selain agar bisa cepat lulus, Dinny menyadari keberadaan bidan amat diperlukan di daerahnya.

Kesungguhan Dinny menuntut ilmu membuatnya lulus dengan cepat sesuai target. Selepas lulus kuliah di tahun 2016, Dinny memilih pulang dan menjadi tenaga kesehatan honorer di kampung halamannya, Desa Kekandere, Nangapanda, Nusa Tenggara Timur. Meskipun pada saat itu, ada tawaran untuk menjadi nakes di tempat ia praktik kerja lapangan saat kuliah.

 

Dibayar Seikhlasnya

 



Memberikan layanan kesehatan bagi siapa saja yang membutuhkan
(Foto : Instagram Theresia Dwiaudina)

Sudah menjadi rahasia umum, biaya yang dikeluarkan saat menempuh pendidikan di bidang kesehatan amat tinggi, tidak sebanding dengan honor yang ia terima saat bekerja di lapangan.

“Sebagai tenaga honorer di sana, saya tidak dibayar. Kalau ada pekerjaan tertentu, baru dibayar. Itu pun seikhlasnya,” ujarnya seperti yang dikutip dalam salah satu wawancara.

Dinny menyadari, hidup bukan melulu tentang uang, ada nilai-nilai lain yang layak untuk diperjuangkan. Karenanya Dinny tetap semangat menjalani hari-harinya sebagai nakes.Membantu memeriksa dan mendata ibu hamil di desa-desa di sekitarnya, juga membantu memperbaiki kesehatan masyarakat di sekitarnya.

Hingga akhirnya, di tahun berikutnya pada tahun 2017, ia mendapatkan kesempatan menjadi bidan di Desa Uzuzozo, sebuah desa terpencil yang sulit dijangkau dan enggan disinggahi oleh nakes lainnya.

Sulitnya medan tempuh, dan minimnya fasilitas kesehatan, menjadi tantangan tersendiri bagi Dinny. Sebagai satu-satunya nakes yang bertugas di Desa Uzuzozo, ia hanya menerima gaji bulanan sekitar 1 juta perbulan, namun ia tak menyerah.

“Saya tergerak ingin menjadi bidan di sini untuk membantu masyarakat karena fasilitas yang minim, ditambah dengan akses sulit ke faskes,” ujar gadis manis usia 28 tahun ini.

Bayangkan saja, hanya ada satu faskes yang didirikan di sana. Sementara jarak tempuh antara faskes yang didirikan di Desa Uzuzozo ke desa-desa lainnya sekitar 13-15 KM, dengan medan yang sulit. Faskes itu pun hanya berupa bangunan kecil yang disebut puskesmas, dengan fasilitas dan alat-alat kesehatan yang minim.

 

Tantangan Sebagai Nakes di Daerah Terpencil

 



Bahkan saat tengah jalan harus siap memberikan layanan kesehatan
(Foto : Instagram Theresia Dwiaudina)

Desa Uzuzozo sendiri, baru terbentuk pada tahun 2007. Merupakan desa terluar dan terbelakang di wilayah selatan Kecamatan Nangapanda, Kabupaten Ende. Untuk memasuki desa tersebut, harus melewati jalan setapak yang berbatu dan menanjak, juga menuruni Lembah dan melewati sungai kecil.

Begitu ekstrim medan tempuh yang harus dilalui Dinny, namun itu tak menyurutkan langkahnya. Dengan mengendarai motor, Dinny tetap menyapa masyarakat untuk membina kesehatan.

Meskipun berprofesi sebagai bidan, lingkup kerja Dinny tidak hanya terbatas pada kesehatan ibu dan anak, namun ia juga aktif memberikan penyuluhan dan meningkatkan  kepedulian masyarakat tentang pentingnya menjaga kesehatan pribadi dan lingkungan.

Hingga tidak mengherankan jika dalam kesehariannya ia kerap dimintai tolong untuk memeriksa kesehatan dan memberi obat, meskipun saat sedang di jalan. Ia pun tak segan-segan mengunjungi rumah pasien-pasien yang sedang sakit dan sulit untuk berobat langsung di puskesmas.

Sulitnya medan tempuh menuju puskesmas, membuat kesadaran masyarakat dalam menjaga kesehatan, khususnya ibu hamil, amat rendah. Mereka enggan memeriksakan diri ke bidan, dan lebih mempercayai dukun beranak untuk membantu proses melahirkan.

Dinny, sebagai lulusan baru dari sekolah kesehatan menemukan tantangan lain untuk menguji keteguhannya. Bisakah ia menerapkan ilmu yang diperolehnya dengan susah payah, dan membuka wawasan orang-orang di sekitarnya?

 

Berkolaborasi dengan Dukun Beranak

 

Tak lelah mengedukasi ibu hamil dan anak-anak saat posyandu
 (Foto : Instagram Theresia Dwiaudina)

 

Menurunkan angka stunting pada anak-anak dan pemberian imunisasi di Desa Uzuzozo
 (Foto : Instagram Theresia Dwiaudina)


Ia amat menyadari tingginya kepercayaan masyarakat terhadap dukun beranak. Dari 10 ibu hamil, 9 orang memilih dukun beranak untuk membantu proses melahirkan. Ia masihlah orang baru yang belum mendapat tempat di hati ibu-ibu hamil. Alih-alih diterima, ia malah mendapat cibiran.

Dinny tak patah hati. Ia tetap mengedukasi ibu-ibu hamil tentang pentingnya melahirkan di faskes. Menggunakan motor kesayangan, ia berkeliling tak kenal lelah untuk memeriksa kondisi ibu-ibu hamil. Baik melalui wawancara, pemeriksaan fisik ibu hamil dan memeriksa kadar HB dalam darah.

Ia pun amat memahami pentingnya peran dukun beranak yang sudah eksis puluhan tahun di kampungnya. Tak ingin menimbulkan perselisihan yang tak perlu, Dinny memilih untuk bekerjasama dengan dukun beranak. Untuk memudahkan langkahnya, mula-mula ia mengunjungi dukun beranak senior yang sangat berpengaruh, yaitu Theresia Jija yang sudah berusia 76 tahun saat ini.

Dinny melakukan pendekatan dengan menanyakan kondisi kesehatan ibu-ibu hamil yang menjadi pasien Jija. Ia tidak secara frontal menyalahkan tindakan-tindakan yang dilakukan Jija, meskipun itu bisa berdampak bagi ibu hamil, seperti pijatan perut yang dilakukan pada ibu hamil.

Ia memilih pendekatan halus, dengan menyarankan kepada Jija agar memberikan pijatan di sekitar pinggang, untuk memberikan perasaan nyaman pada ibu hamil dan menghindari komplikasi pada janin.

Ia pun meminta dukun beranak untuk bersama-sama menangani proses melahirkan. Dinny menangani ibu melahirkan, dan dukun menangani anak saat dilahirkan. Kerjasama ini meringan kerja dukun beranak tanpa menutup mata pencahariannya.

Kolaborasi ini juga salah satu cara Dinny untuk mengedukasi tanpa menggurui. Ia mengenalkan sarung tangan, dan perlengkapan lainnya untuk membantu menekan angka kematian ibu melahirkan. Sejauh ini belum ada kasus ibu melahirkan yang meninggal.

Berbagai macam pengalaman di lapangan dialami Dinny. Ia pernah ditelpon dini hari untuk membantu ibu yang sudah mengalami kontraksi di desa yang jauh dari kediamannya.

Meski sudah bergegas menggunakan mobil pick up dari puskesmas, karena kondisi yang kritis, dengan menggunakan alat-alat kesehatan yang selalu dibawanya,  Dinny terpaksa membantu proses melahirkan di tengah perjalanan. Di tepi Sungai, dengan beralas terpal dan cahaya gawai yang dibawa, Dinny berjuang menyelamatkan pasiennya.

Pengalaman-pengalaman seru seperti ini menambah pengalaman batin Dinny. Ia semakin termotivasi untuk mengedukasi pentingnya pemeriksaan kehamilan pada ibu-ibu hamil sejak awal. Untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan.

 

Mendapatkan penghargaan SATU Indonesia Awards 2023 dari PT. ASTRA Internasional di Bidang Kesehatan

 


Tak disangka mendapatkan anugrah SATU IndonesiaAwards dari PT. ASTRA
(Foto : Instagram Theresia Dwiaudina)

Selain kegiatan rutin bulanan memeriksa ibu-ibu hamil, Dinny juga giat menurunkan angka stunting yang sangat tinggi di desanya.  Pola makan yang buruk sebagai salah satu pemicu tingginya angka stunting.

Untuk menekan kondisi tersebut, selain mengedukasi para ibu, tentang pentingnya memberikan makanan yang baik dan sehat tiga kali sehari, Dinny juga menggunakan anggaran desa untuk memberikan makanan sehat berupa bubur kacang hijau dll kepada anak-anak yang datang ke posyandu.

Pejuangan Dinny membuahkan hasil yang membahagiakan. Itu dapat dilihat dari meningkatnya kepercayaan ibu hamil terhadap faskes dan memilih faskes untuk membantu proses melahirkan. Juga dengan menurunnya angka stunting yang dialami anak-anak di sana.

Maka tidak heran, jika PT ASTRA Internasional memberikan apresiasi berupa penghargaan SATU Indonesia Awards kepada Theresia Dwiaudina Sari Putri, sebagai pemenang di ajang bergengsi yang diperuntukkan bagi kaum muda yang berprestasi dan memberikan kontribusi positif bagi bangsa dan masyarakat.

 

Harapan Dinny

Ketika diwawancarai Dinny mengungkapkan harapannya, “Harapannya semoga masih terus ada perhatian dari lintas-lintas terkait untuk cangkupan pelayanan kesehatan di desa-desa terpencil. Apalagi sekarang fokusnya ada pada kesehatan ibu dan anak. Jadi kalau bisa usaha yang kecil-kecil di komunitas yang kecil agar tercapai cakupan yang lebih besar agar tercapai kesejahteraan ibu dan anak. Perhatiannya lebih banyak lagi pada desa terpencil.”

Selamat ya, Dinny. Perjuangan masih panjang. Jangan kenal lelah memberikan yang terbaik bagi sesama. Semangat…!

 

 

 

 

 

Museum Geologi Bandung, Wisata Edukasi Murah Meriah

Museum Geologi Bandung, wisata edukasi murah meriah (dok.pri) Liburan  paling asyik jika diisi dengan acara jalan-jalan bareng keluarga. Ngg...