Selasa, 22 Oktober 2024

Elvira Sari Dewi, Menyemai Asa Odapus Agar Tak Pupus Bersama Parahita

 

Elvira Sari Dewi, berjuang bersama lupus (Foto : Instagram Elvira)

Sungguh tidak mudah menerima kenyataan, saat hasil pemeriksaan medis yang dijalaninya menunjukkan, bahwa segala keluhan fisik yang dirasakannya merupakan gejala-gejala penyakit autoimun, Lupus. Dunianya sontak terasa runtuh. Dalam kondisi down, Elvira mempertanyakan, masihkah ada harapan untuknya di saat masa depan tampak begitu gelap.

Lupus atau Systemic Lupus Erythenatosus (SLE) merupakan salah satu jenis penyakit autoimun, yaitu kondisi tubuh dimana sistem kekebalan tubuh justru menyerang jaringannya sendiri. Di saat tubuh melemah, autoimun ini akan mengambil alih tubuh, yang menyebabkan tubuh menjadi lemah, sulit digerakkan, juga menimbulkan rasa sakit di sekujur tubuh.

Tidak semua penyitas lupus, atau disebut juga odapus (orang yang hidup dengan lupus), mengalami gejala yang sama. Secara umum odapus mengalami gejala yang berbeda satu sama lain. tergantung di bagian mana sistem kekebalan tubuhnya menyerang. Ada juga yang mengalami  pingsan berulang kali, pengentalan darah hingga mengalami serangan jantung, dan membahayakan kehamilan. Ada yang merasa seperti ditusuk-tusuk jarum, ada pula yang mengalami kelumpuhan sementara. 

Tak ada gejala yang muncul seperti umumnya penyakit yang lain, seperti demam, ataupun luka/memar. Rasa sakit ini akan hilang dengan sendirinya pada saat kondisi fisik menguat, baik dengan bantuan obat, atau saat pemicu munculnya autoimun dapat diatasi. Berbeda dengan penyakit autoimun lainnya, odapus dapat dilihat dengan munculnya ruam atau bintik-bintik yang menyebar di daerah sekitar pipi dan hidung, yang berbentuk seperti kupu-kupu.

Karena kehadirannya yang datang dan pergi tanpa tanda-tanda, kebanyakan odapus sering disalahpahami. Sebetulnya sih, hampir semua penyitas autoimun disalahpahami karena kondisi fisiknya yang berbeda. Mereka tidak boleh mengalami lelah yang berlebihan, tidak boleh stres, namun secara fisik seperti orang sehat. 

Maka tidak sedikit orang yang menganggap mereka manja, malas, suka pura-pura sakit, dan lain sebagainya. Padahal rasa sakit yang mereka rasakan begitu nyata.

Menerima Takdir Sebagai Odapus

Bersama Parahita memberi asa pada odapus (Foto : Instagram Elvira)

 

Sebagai odapus, Elvira pernah berada dalam kondisi terpuruk. Disaat dirinya bertanya-tanya, adakah masa depan baginya? Masihkah ia bisa melihat senyum di wajah orang-orang tercinta? Pada saat yang sama, ia hanya melihat tangisan di wajah kedua orangtuanya. Rasa tertekannya semakin menjadi-jadi.

Dari informasi yang diterimanya, penyakit ini akan terus menemaninya sepanjang hayat. Ia tak bisa melarikan diri dari kondisi ini. Mau tak mau ia harus berdamai dengan penyakit ini. Menerima takdirnya sebagai Odapus.

Beruntung ia bertemu dengan Parahita, sebuah yayasan yang menjadi wadah untuk saling suport bagi Odapus. Tempat dimana ia menemukan saudara-saudara baru, orang tua baru, yang penuh kasih sayang dan suport.

Bersama Parahita, wawasannya kian terbuka, bahwa ada banyak hal yang bisa dijalani sebagai odapus. Odapus bisa hidup secara normal, memiliki karir, dan baik-baik saja.  Selama bisa menghindari atau meminimalisir pemicu kambuhnya penyakit ini.

Apa saja yang harus dihindari Odapus?

Menyampaikan info penting dengan cara yang simpel dan menarik (Foto : Instagram Parahita)

 

Dalam banyak hal,  beberapa kondisi tak bisa diubah  odapus, yaitu rasa sakit teramat – dalam sebuah caption di instagramnya, Elvira menyebutkan rasa sakit yang dialaminya seperti habis berlari dikejar binatang buas, lalu terjatuh dan terkilir – amat menyakitkan. 

Namun kondisi tersebut tetap mengundang ketidakpahaman orang-orang di sekitar. Banyak yang beranggapan rasa sakit itu hanyalah pura-pura, akibat rasa malas, dsb.

Untuk mencegah kambuhnya penyakit ini, hal-hal berikut harus dihindari oleh odapus, khususnya dan penyitas autoimun lainnya pada umumnya. Yaitu :

  • Aktivitas merokok
  • Terpapar asap rokok orang lain
  • Paparan sinar matahari berlebih
  • Terlalu capek fisik
  • Stres berkepanjangan

Aktif Dalam Kegiatan Masyarakat

Menari, menyanyi bersama sebagai upaya mengurangi rasa sakit (Foto: Instagram Parahita)

Merasakan sendiri beratnya perjuangan menjadi odapus dan pentingnya suport bagi mereka membuat Elvira bertekad untuk memberikan dukungan terbaik bagi sesama odapus.

Lulusan Fasttrack-Double Degree S1-S2 di Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya dan menjadi dosen tetap di Program Studi Sarjana Keperawatan FKUB Malang ini aktif dalam penelitian dan pengabdian masyarakat di Kelompok Kajian Lupus, Autoimun, Reumatik, dan Alergi (LAURA). 

Dengan mendalami ilmu kesehatan yang berkaitan dengan penyakit autoimun, khususnya, Lupus, Elvira bisa lebih melebarkan sayapnya dalam menolong sesama. Ia pun membuktikan, menjadi odapus bukan akhir dari segalanya. 

Saat ini Elvira Sari Dewi juga dikenal sebagai Ketua Umum Yayasan Kupu Parahita Indonesia. Yayasan yang lahir pada tanggal 26 Juli 2008 ini, merupakan wujud rasa peduli terhadap para Odapus, khususnya yang berlokasi di Malang dan sekitarnya. Parahita sendiri diambil dari bahasa Sansekerta memiliki makna “Peduli terhadap sesama”. Parahira menjadi wadah yang bisa tetap menyalakan semangat para odapus agar tak pupus oleh lupus.

Bersama Parahita, Elvira terus berbagi semangat dan menginspirasi odapus agar tak kehilangan semangat juang dalam menjalani kehidupan dan berani bermimpi akan masa depan.

Berbagai informasi penting seputar lupus terus disampaikan, agar odapus kian memahami kondisi dirinya dan bisa mengambil tindakan yang efektif untuk menjaga dirinya agar tetap ‘sehat’ dan bisa menjalani aktifivitas dalam kesehariannya. 

Selain kerap menghadiri seminar. Parahita juga mengemas informasi mengenai lupus dengan penyampaian yang atraktif dan tidak membosankan, yaitu melalui video-video pendek yang menarik.

Meraih Penghargaan SATU Indonesia Awards dari PT Astra International, Tbk

Bersama Parahita, menyemai asa bagi odapus ( Foto : Instagram Elvira)

Dengan berbagai kegiatan yang diadakan Parahita,  ia membuka mata masyarakat tentang Lupus. Agar masyarakat semakin paham dan mengerti bagaimana cara menyikapi odapus dan membantu mereka agar bisa tetap bertahan di tengah rasa sakit yang terkadang begitu menekan. 

Kepedulian Elvira ini mengantarkannya untuk meraih penghargaan SATU Indonesia Awards 2017 yang diberikan oleh PT Astra International, Tbk kepada anak-anak muda yang memiliki kepedulian dan kontribusi positif kepada masyarakat, baik di bidang pendidikan, kesehatan dan kewirausahaan.

Bersama Parahita, Elvira akan terus berjuang membersamai odapus. Memberikan kenyamanan dengan ketulusan sikap maupun aktivitas fisik menyenangkan, senam bersama. Juga memberikan bantuan yang dibutuhkan, seperti konsultasi atau obat-obatan. Serta menjaga nyala semangat odapus agar tak pupus oleh lupus. 

Selamat berjuang, Elvira. Tetap semangat menjadi insan terbaik, yang memberi manfaat seluas-luasnya bagi sesama. 

 

 

 

 

 

Jumat, 18 Oktober 2024

Faradila Bachmid, Pejuang Literasi Bagi Anak-Anak yang Kurang Mampu

Faradila Bachmid, Pejuang literasi bagi anak-anak yang kurang mampu
(Foto : Instagram Faradila)


Baru-baru ini Faradila Bachmid, founder Perkumpulan Literasi Sulawesi Utara, menggelar kegiatan yang bertajuk Semesta Literasi Sulawesi Utara Tahun 2024, yang diadakan di Kampung Merdeka, Menado, pada tanggal 11-12 Oktober 2024.

Ide awal kegiatan ini lahir dari keprihatinan Faradila Bachmid terhadap minimnya wadah bagi generasi muda yang ingin mengembangkan bakat literasi. 

Sebagai pejuang literasi dan duta baca, ia pun mengadakan acara ini sebagai fasilitas untuk berbagai kegiatan literasi seperti membaca buku dengan metode read alod, menulis cerita anak menggunakan tema lokalitas, menulis jurnalistik, menulis Sejarah kampung melalui booklet esai foto, Lokakarya Literasi.

Kegiatan ini pun dihidupkan dengan rangkaian kegiatan yang bermuatan seni. Seperti Literasi Musik, Musikalisasi Puisi, tarian kontemporer dari PAUD Samratulangi, tarian dari Sanggar Tari Literasi Sulut, juga Stand Up Comedy. 

Faradila berharap dari kegiatan ini menghasilkan sebuah karya tulis berupa buku. Mengapa buku? Menurutnya, meskipun orang mudah dilupakan, namun karya tulis akan tetap abadi. 

Program Membaca, Menulis dan Berhitung Bagi Anak-Anak Kurang Mampu


Mengajar membaca di kampung nelayan
(Foto : Dok. Kumparan)

Sejak belia Faradila sudah mencintai dunia literasi. Rasa cinta ini pula yang menumbuhkan keprihatinannya terhadap minimnya kemampuan membaca, khususnya di kalangan anak-anak yang kurang beruntung dan hidup dalam lingkaran kemiskinan. Rasa prihatin ini yang kemudian menumbuhkan gagasan dan keinginannya untuk mengubah kondisi tersebut.

Tahun 2010, saat masih duduk di bangku SMA kelas 3, Faradila memulai langkahnya di dunia literasi. Ia mengisi masa remajanya dengan kegiatan sosial untuk membantu anak-anak yang tersisihkan agar setara, minimal memiliki kesempatan belajar membaca, menulis dan berhitung. 

Berbeda dengan remaja kebanyakan yang sibuk dengan macam keseruan dan kemeriahan masa remaja, Faradila memilih jalan sunyi dengan membuat dan menjalankan program pendidikan gratis serta melakukan pendampingan untuk anak-anak kurang mampu yang ada di sekitar pasar dan terminal.

Semangatnya tumbuh subur dengan semakin tertambahnya jumlah anak-anak yang mengikuti program gratis belajar ini. Ia bahagia melihat anak-anak yang semula tersisihkan dari dunia, perlahan mulai menyukai dunia literasi dan berani bermimpi. 

Selama tiga tahun Faradila mengajar dengan lokasi belajar yang terus berpindah. Dari pasar yang satu ke pasar yang lain. Dari terminal ke terminal. Hingga akhirnya menetap di Kelurahan Dendengan Dalam, tepatnya di Kampung Merdeka. 

Support System Terbaik itu adalah Keluarga 

Konsisten mengajar membaca dan menulis bagi anak-anak yang kurang mampu
(Foto : Dok. Kumparan)


Dengan dukungan penuh kedua orangtuanya, yang rela menjadikan kediaman mereka sebagai ruang publik dan tempat belajar, program pendidikan gratis ini pun semakin bervariasi.  Mulai dari Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD), Pendidikan Kesetaraan, Pendidikan Vokasional (life skill dan soft skill), Taman Bacaan Masyakarat, semua program kegiatan tersebut dilakukan dengan pendekatan literasi.

Dalam sebuah wawancara, Faradila menyebutkan bahwa semua kegiatan dan gerakan literasi yang dilakukannya terjadi karena ia memiliki support system terbaik, yaitu kedua orang tuanya. Tidak hanya dukungan secara moril dan memberikan keluasan waktu, orang tuanya juga memberikan fasilitas dan menjadi donatur bagi semua kegiatan yang dilakukannya. 

Selain kedua orangtuanya, Faradila juga mengakui keluarga, seperti kakak, adik, suami dan keponakan menjadi support system terbesarnya. Orang-orang yang mempengaruhi setiap konsentrasi dan pilihan hidupnya. 

Dengan support system dari orang terdekat, perjuangan Faradila memberantas buta huruf bagi anak-anak yang kurang mampu terus berlanjut, belasan tahun sudah terlewati. Masih banyak ide-ide yang dimilikinya meningkatkan minat baca dan literasi di lingkungan anak-anak yang kurang mampu. 

Besarnya dukungan yang diberikan keluarga ini juga membuat perjuangannya di dunia literasi berjalan nyaris tidak ada kendala yang berarti. Karena menurutnya, kendala yang paling besar justru muncul dari dalam diri sendiri. 

Konsistensi Berbuah Prestasi

Meraih penghargaan SATU Indonesia Awards 2017
(Foto: Instagram Faradila)



Konsistensi Faradila selama belasan tahun ini menumbuhkan semangat dan menjadi inspirasi bagi kalangan muda lainnya dan membuat mereka tertarik untuk bergabung, bersama-sama berjuang dalam koridor literasi. 

Hal ini pula yang mengantarkan Faradila Bachmid meraih penghargaan di bidang pendidikan dari SATU Indonesia Awards dari PT Astra Internasional. Penghargaan ini diberikan khusus bagi anak-anak muda yang menginspirasi dan memberi manfaat seluas-luasnya bagi masyarakat. 

Wanita berhijab ini memiliki prinsip hidup yang mendalam, yang menjadi ruh dari semua aktivitas yang dilakukannya. 

 Yaitu, bahwa hidup bukan hanya soal eksistensi dan mempertahankan hidup. Namun bernilai lebih dari itu. Hidup adalah sebuah harapan, dimana kita dapat menghantarkan harapan untuk mimpi orang lain. 

Ia pun selalu menanamkan, baik secara pribadi maupun bersama gerakan literasi, bahwa tujuan utama kegiatan adalah sama-sama belajar dan memberikan peluang-peluang sukses bagi mereka yang kurang beruntung dan tersisih. 

Ia pun akan terus berjuang di bidang pendidikan dan sosial untuk memberikan yang terbaik, memberikan rasa aman dan bahagia, bagi lingkungan terdekat sampai masyarakat luas di Sulut.
Selamat berjuang Faradila!

Selasa, 15 Oktober 2024

Theresia Dwiaudina Sari Putri, Pejuang Kesehatan Ibu dan Anak dari Desa Uzuzozo

 

Theresia Dwiaudina Sari Putri, Pejuang kesehatan ibu dan anak Desa uzuzozo
 (Foto : Instagram Theresia Dwiaudina)

Setiap hari adalah hari baik yang harus disongsong dengan penuh semangat dan rasa bahagia. Salah satunya dengan membantu sesama. Menolong ibu-ibu yang melahirkan, mengobati pasien, atau sekadar menyapa masyarakat di sepanjang jalan.

Adalah Theresia Dwiaudina Sari Putri,yang menjalani hari-hari sebagai tenaga kerja kesehatan di desa terpencil, Desa Uzuzozo, Kabupaten Ende, Nusa Tenggara Timur.

Berawal dari keinginan ayahnya, yang menginginkan salah satu anaknya ada yang berkecimpung di dunia kesehatan. Dinny, begitu nama panggilannya, memilih untuk meneruskan pendidikan ke Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan di Surabaya.

Sebagai sulung dari empat bersaudara, ia tentu tak ingin memberatkan orangtuanya. Mengingat biaya kuliah di fakultas kedokteran sangat tinggi, dengan berbagai pertimbangan, ia mengambil jurusan Kebidanan D3.

"Biaya kuliah di kedokteran sangat mahal," tuturnya ketika melakukan wawancara langsung dengan penulis.

Pilihan ini disesuaikan dengan kemampuan ayahnya, Kanis Sari, yang berprofesi sebagai PNS, dan ibunya, Herlin Kaleka, yang menjadi petani. Selain agar bisa cepat lulus, Dinny menyadari keberadaan bidan amat diperlukan di daerahnya.

Kesungguhan Dinny menuntut ilmu membuatnya lulus dengan cepat sesuai target. Selepas lulus kuliah di tahun 2016, Dinny memilih pulang dan menjadi tenaga kesehatan honorer di kampung halamannya, Desa Kekandere, Nangapanda, Nusa Tenggara Timur. Meskipun pada saat itu, ada tawaran untuk menjadi nakes di tempat ia praktik kerja lapangan saat kuliah.

 

Dibayar Seikhlasnya

 



Memberikan layanan kesehatan bagi siapa saja yang membutuhkan
(Foto : Instagram Theresia Dwiaudina)

Sudah menjadi rahasia umum, biaya yang dikeluarkan saat menempuh pendidikan di bidang kesehatan amat tinggi, tidak sebanding dengan honor yang ia terima saat bekerja di lapangan.

“Sebagai tenaga honorer di sana, saya tidak dibayar. Kalau ada pekerjaan tertentu, baru dibayar. Itu pun seikhlasnya,” ujarnya seperti yang dikutip dalam salah satu wawancara.

Dinny menyadari, hidup bukan melulu tentang uang, ada nilai-nilai lain yang layak untuk diperjuangkan. Karenanya Dinny tetap semangat menjalani hari-harinya sebagai nakes.Membantu memeriksa dan mendata ibu hamil di desa-desa di sekitarnya, juga membantu memperbaiki kesehatan masyarakat di sekitarnya.

Hingga akhirnya, di tahun berikutnya pada tahun 2017, ia mendapatkan kesempatan menjadi bidan di Desa Uzuzozo, sebuah desa terpencil yang sulit dijangkau dan enggan disinggahi oleh nakes lainnya.

Sulitnya medan tempuh, dan minimnya fasilitas kesehatan, menjadi tantangan tersendiri bagi Dinny. Sebagai satu-satunya nakes yang bertugas di Desa Uzuzozo, ia hanya menerima gaji bulanan sekitar 1 juta perbulan, namun ia tak menyerah.

“Saya tergerak ingin menjadi bidan di sini untuk membantu masyarakat karena fasilitas yang minim, ditambah dengan akses sulit ke faskes,” ujar gadis manis usia 28 tahun ini.

Bayangkan saja, hanya ada satu faskes yang didirikan di sana. Sementara jarak tempuh antara faskes yang didirikan di Desa Uzuzozo ke desa-desa lainnya sekitar 13-15 KM, dengan medan yang sulit. Faskes itu pun hanya berupa bangunan kecil yang disebut puskesmas, dengan fasilitas dan alat-alat kesehatan yang minim.

 

Tantangan Sebagai Nakes di Daerah Terpencil

 



Bahkan saat tengah jalan harus siap memberikan layanan kesehatan
(Foto : Instagram Theresia Dwiaudina)

Desa Uzuzozo sendiri, baru terbentuk pada tahun 2007. Merupakan desa terluar dan terbelakang di wilayah selatan Kecamatan Nangapanda, Kabupaten Ende. Untuk memasuki desa tersebut, harus melewati jalan setapak yang berbatu dan menanjak, juga menuruni Lembah dan melewati sungai kecil.

Begitu ekstrim medan tempuh yang harus dilalui Dinny, namun itu tak menyurutkan langkahnya. Dengan mengendarai motor, Dinny tetap menyapa masyarakat untuk membina kesehatan.

Meskipun berprofesi sebagai bidan, lingkup kerja Dinny tidak hanya terbatas pada kesehatan ibu dan anak, namun ia juga aktif memberikan penyuluhan dan meningkatkan  kepedulian masyarakat tentang pentingnya menjaga kesehatan pribadi dan lingkungan.

Hingga tidak mengherankan jika dalam kesehariannya ia kerap dimintai tolong untuk memeriksa kesehatan dan memberi obat, meskipun saat sedang di jalan. Ia pun tak segan-segan mengunjungi rumah pasien-pasien yang sedang sakit dan sulit untuk berobat langsung di puskesmas.

Sulitnya medan tempuh menuju puskesmas, membuat kesadaran masyarakat dalam menjaga kesehatan, khususnya ibu hamil, amat rendah. Mereka enggan memeriksakan diri ke bidan, dan lebih mempercayai dukun beranak untuk membantu proses melahirkan.

Dinny, sebagai lulusan baru dari sekolah kesehatan menemukan tantangan lain untuk menguji keteguhannya. Bisakah ia menerapkan ilmu yang diperolehnya dengan susah payah, dan membuka wawasan orang-orang di sekitarnya?

 

Berkolaborasi dengan Dukun Beranak

 

Tak lelah mengedukasi ibu hamil dan anak-anak saat posyandu
 (Foto : Instagram Theresia Dwiaudina)

 

Menurunkan angka stunting pada anak-anak dan pemberian imunisasi di Desa Uzuzozo
 (Foto : Instagram Theresia Dwiaudina)


Ia amat menyadari tingginya kepercayaan masyarakat terhadap dukun beranak. Dari 10 ibu hamil, 9 orang memilih dukun beranak untuk membantu proses melahirkan. Ia masihlah orang baru yang belum mendapat tempat di hati ibu-ibu hamil. Alih-alih diterima, ia malah mendapat cibiran.

Dinny tak patah hati. Ia tetap mengedukasi ibu-ibu hamil tentang pentingnya melahirkan di faskes. Menggunakan motor kesayangan, ia berkeliling tak kenal lelah untuk memeriksa kondisi ibu-ibu hamil. Baik melalui wawancara, pemeriksaan fisik ibu hamil dan memeriksa kadar HB dalam darah.

Ia pun amat memahami pentingnya peran dukun beranak yang sudah eksis puluhan tahun di kampungnya. Tak ingin menimbulkan perselisihan yang tak perlu, Dinny memilih untuk bekerjasama dengan dukun beranak. Untuk memudahkan langkahnya, mula-mula ia mengunjungi dukun beranak senior yang sangat berpengaruh, yaitu Theresia Jija yang sudah berusia 76 tahun saat ini.

Dinny melakukan pendekatan dengan menanyakan kondisi kesehatan ibu-ibu hamil yang menjadi pasien Jija. Ia tidak secara frontal menyalahkan tindakan-tindakan yang dilakukan Jija, meskipun itu bisa berdampak bagi ibu hamil, seperti pijatan perut yang dilakukan pada ibu hamil.

Ia memilih pendekatan halus, dengan menyarankan kepada Jija agar memberikan pijatan di sekitar pinggang, untuk memberikan perasaan nyaman pada ibu hamil dan menghindari komplikasi pada janin.

Ia pun meminta dukun beranak untuk bersama-sama menangani proses melahirkan. Dinny menangani ibu melahirkan, dan dukun menangani anak saat dilahirkan. Kerjasama ini meringan kerja dukun beranak tanpa menutup mata pencahariannya.

Kolaborasi ini juga salah satu cara Dinny untuk mengedukasi tanpa menggurui. Ia mengenalkan sarung tangan, dan perlengkapan lainnya untuk membantu menekan angka kematian ibu melahirkan. Sejauh ini belum ada kasus ibu melahirkan yang meninggal.

Berbagai macam pengalaman di lapangan dialami Dinny. Ia pernah ditelpon dini hari untuk membantu ibu yang sudah mengalami kontraksi di desa yang jauh dari kediamannya.

Meski sudah bergegas menggunakan mobil pick up dari puskesmas, karena kondisi yang kritis, dengan menggunakan alat-alat kesehatan yang selalu dibawanya,  Dinny terpaksa membantu proses melahirkan di tengah perjalanan. Di tepi Sungai, dengan beralas terpal dan cahaya gawai yang dibawa, Dinny berjuang menyelamatkan pasiennya.

Pengalaman-pengalaman seru seperti ini menambah pengalaman batin Dinny. Ia semakin termotivasi untuk mengedukasi pentingnya pemeriksaan kehamilan pada ibu-ibu hamil sejak awal. Untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan.

 

Mendapatkan penghargaan SATU Indonesia Awards 2023 dari PT. ASTRA Internasional di Bidang Kesehatan

 


Tak disangka mendapatkan anugrah SATU IndonesiaAwards dari PT. ASTRA
(Foto : Instagram Theresia Dwiaudina)

Selain kegiatan rutin bulanan memeriksa ibu-ibu hamil, Dinny juga giat menurunkan angka stunting yang sangat tinggi di desanya.  Pola makan yang buruk sebagai salah satu pemicu tingginya angka stunting.

Untuk menekan kondisi tersebut, selain mengedukasi para ibu, tentang pentingnya memberikan makanan yang baik dan sehat tiga kali sehari, Dinny juga menggunakan anggaran desa untuk memberikan makanan sehat berupa bubur kacang hijau dll kepada anak-anak yang datang ke posyandu.

Pejuangan Dinny membuahkan hasil yang membahagiakan. Itu dapat dilihat dari meningkatnya kepercayaan ibu hamil terhadap faskes dan memilih faskes untuk membantu proses melahirkan. Juga dengan menurunnya angka stunting yang dialami anak-anak di sana.

Maka tidak heran, jika PT ASTRA Internasional memberikan apresiasi berupa penghargaan SATU Indonesia Awards kepada Theresia Dwiaudina Sari Putri, sebagai pemenang di ajang bergengsi yang diperuntukkan bagi kaum muda yang berprestasi dan memberikan kontribusi positif bagi bangsa dan masyarakat.

 

Harapan Dinny

Ketika diwawancarai Dinny mengungkapkan harapannya, “Harapannya semoga masih terus ada perhatian dari lintas-lintas terkait untuk cangkupan pelayanan kesehatan di desa-desa terpencil. Apalagi sekarang fokusnya ada pada kesehatan ibu dan anak. Jadi kalau bisa usaha yang kecil-kecil di komunitas yang kecil agar tercapai cakupan yang lebih besar agar tercapai kesejahteraan ibu dan anak. Perhatiannya lebih banyak lagi pada desa terpencil.”

Selamat ya, Dinny. Perjuangan masih panjang. Jangan kenal lelah memberikan yang terbaik bagi sesama. Semangat…!

 

 

 

 

 

Jumat, 11 Oktober 2024

Elmi Sumarni Ismau, Pejuang Kesetaraan Hak Disabilitas Kupang

Elmi Sumarni Ismau, Pejuang Kesetaraan Hak Disabilitas (Foto : Instagram Elmi Sumarni Ismau)

Menjadi penyandang disabilitas tak pernah ada dalam bayangan Elmi. Perempuan hebat kelahiran Kupang 31 tahun silam ini. Namun kecelakaan berat yang dialaminya di tahun 2010 mengharuskannya menjalani amputasi dan kehilangan kedua kakinya. Kenyataan pahit yang mampu meluluhlantakkan semua mimpi, termasuk mimpi Elmi Sumarni Ismau. 

Enggan terpuruk terlalu lama, Elmi yang selalu memiliki karakter ceria dan optimis, dengan dukungan orang-orang terdekatnya mulai menjalani takdirnya dengan lapang dada. Penerimaan diri ini membuatnya lebih siap untuk menjalani hari-hari dengan lebih baik. Siap merajut mimpi-mimpi menjadi manusia yang lebih baik dan menginspirasi. 

Awal Perjuangan Elmi


Meski menjadi penyandang disabilitas, pada mulanya Elmi masih merasa asing dengan isu disabilitas. Ketertarikannya akan isu seputar disabilitas muncul sejak ia menjalani masa-masa kuliah. Kesenjangan hak yang dialami teman-teman disabilitas, khususnya di NTT membuatnya tertarik untuk mendalami masalah ini. 

Elmi menginginkan perubahan yang lebih baik. Ia tak ingin penyandang disabilitas hanya meraih rasa belas kasihan. Namun ia menginginkan kesetaraan hak bagi penyandang disabilitas, baik akses, fasilitas maupun kesempatan untuk berkarya. Untuk mewujudkan keinginannya, Elmi mulai bergabung dengan Youth Action Forum pada tahun 2019. 

Forum ini merupakan program sosial bagi anak muda yang ingin melakukan perubahan positif bagi komunitasnya. Berada di lingkungan yang kondusif dan memiliki aura positif, membuat Elmi semakin berkembang. Ia pun bermimpi untuk mendirikan sebuah organisasi yang bergerak untuk memperjuangkan kesetaraan hak disabilitas.

Dengan dukungan teman-teman baik, di hari kasih sayang pada tanggal 14 Februari 2020, ia beserta kelima orang teman disabilitas dan satu orang non disabilitas mendirikan Gerakan Advokasi Transformasi Disabilitas untuk Inklusi (GARAMIN). 

 Bersama GARAMIN Menuju Kesetaraan Hak Disabilitas 

Bersama GARAMIN, aktif mengedukasi masyarakat (Foto : Ig Elmi)

Perjuangan Elmi dan teman-teman GARAMIN tentu tidak mudah. Jauh sebelum mewujudkan kesetaraan hak disabilitas, terlebih dahulu ia harus mengubah mindset masyarakat terhadap penyandang disabilitas. Termasuk mengubah cara pandang penyandang disabilitas terhadap dirinya sendiri.

Menjadi penyandang disabilitas bukan berarti hidup harus di bawah belas kasihan orang lain, kan? Apalagi lantas merasa tidak memiliki kemampuan apa-apa. Penyandang disabilitas juga merupakan pribadi yang utuh, lengkap dengan segala macam kelebihan dan kekurangan masing-masing.

Cara pandang inilah yang ingin disusupkan Elmi ke benak penyandang disabilitas khususnya, dan masyarakat pada umumnya. Lulusan Akademi Pekerjaan Sosial ini tahu, jalan yang ia tempuh tidaklah mudah, tetapi ia dan teman-temannya memilih untuk memulainya dari titik ini.

Salah satunya dengan aktif mengadakan kegiatan literasi. Elmi dan GARAMIN membuka pelatihan jurnalisme yang diikuti penyandang disabilitas, agar penyandang disabilitas mampu menulis dan menumbuhkan potensi terbaiknya. 

Dari 200 peserta yang mendaftar untuk mengikuti pelatihan jurnalisme, Elmi hanya memilih 35 orang peserta yang lolos seleksi. Kemudian memilih peserta dengan tulisan terbaik untuk mendapatkan apresiasi, berupa penghargaan, sertifikat, serta kesempatan untuk memublikasikan tulisannya di situs resmi GARAMIN. 

Bersama GARAMIN, Elmi juga sering mengadakan diskusi-diskusi dan sosialisasi dengan masyarakat sekitar. Ia menampung segala keluhan dan kesulitan yang diutarakan penyandang disabilitas dan orang-orang terdekatnya, lalu memberikan solusi untuk isu terkait. 

Menjalin Kerjasama Dengan Pemerintah

Menjalin kerjasama dengan pemerintah (Foto : Ig Elmi)

Minimnya sarana dan prasarana membuat Elmi dan teman-teman GARAMIN sering mengalami kendala dalam menjalankan program-programnya. Begitu pula dengan akses informasi yang terbatas, khususnya bagi tuna netra dan tuna wicara. 

Menyadari kesenjangan dan kesulitan yang terjadi bagi penyandang disabilitas, tak lepas dari minimnya informasi yang diterima pemerintah, Elmi beserta GARAMIN berinisiatif menjalin kerjasama dengan pemerintah. 

Ia menjembatani isu seputar disabilitas dan menyampaikan ide-ide kepada pemerintah terkait, sehingga pemerintah mampu mengakomodasi ide tersebut. Kerjasama ini tidak saja membantu dan memudahkan penyandang disabilitas ketika beraktivitas, melainkan juga turut menyukseskan program-program pemerintah. 

Seperti ketika pemerintah sedang gencar melalukan vaksinasi Covid, GARAMIN turut aktif memberikan edukasi dan dorongan kepada penyandang disabilitas, agar mau mengikuti program pemerintah. Tidak mudah mengedukasi masyarakat terkait program ini, namun Elmi dan kawan-kawan tetap gigih mendukung program pemerintah demi kebaikan bersama. 

Begitu pula saat terjadi badai Seroja yang melanda NTT pada tanggal 4 April 2021 silam, Elmi beserta teman-teman GARAMIN terjun dalam upaya penyelamatan korban, khususnya penyandang disabilitas. 
Selain mendata, organisasi ini juga aktif mencari bantuan donasi dan terjun langsung memberi bantuan ke lapangan. 

Meraih Penghargaan SATU Indonesia Awards 2021 

Perjuangan Elmi Sumarni Ismau dan teman-teman GARAMIN untuk membela hak kaum disabilitas, membawa perubahan yang signifikan dalam masyarakat. Kini, penyandang disabilitas lebih mudah mendapatkan akses di bidang pendidikan, kesehatan, maupun kesempatan dalam berkarya. 

Peran aktifnya di masa pandemi Covid, menjadi nilai tambah sehingga membuat Elmi terpilih sebagai Pejuang Tanpa Pamrih di Masa Pandemi Covid-19, dan berhasil meraih penghargaan dari SATU Indonesia Awards 2021. 

Mimpi Membangun Desa Inklusi 

Mewujudkan mimpi membangun desa inklusi (Foto : Ig Elmi) 

Perjuangan ini belum usai. Masih banyak kerja yang harus Elmi tuntaskan, termasuk mewujudkan mimpi membangun desa inklusi di Oelomin, Kupang, Nusa Tenggara Timur.

Yaitu sebuah desa dimana fasilitas umum ramah disabilitas, dan teman-teman disabilitas memiliki kesempatan untuk berpartisifasi dalam perencanaan, penganggaran dana desa dan kegiatan lainnya. Bukan hal yang mustahil, dengan bantuan seluruh elemen masyarakat, mimpi ini suatu saat bisa diwujudkan. 

Semangat ya, Elmi.

Jumat, 03 November 2023

Anjani Sekar Arum, Lestarikan Budaya Bantengan Melalui Batik Bantengan

 

Anjani Sekar Arum, melestarikan budaya melalui batik (Foto : Instagram anjanigaleribatik)

Indonesia kaya akan khasanah budaya dan warisan leluhur. Salah satunya adalah seni membatik. Batik sendiri merupakan seni dua dimensi yang lahir sebagai wujud ekspresi dari kondisi sosial dan budaya masyarakat setempat. Karenanya, wajar, bila batik setiap daerah memiliki ciri khas tersendiri.

Sebagai seorang penggiat seni atau seniman, Anjani Sekar Arum ingin mengangkat citra Batik Bantengan dan melestarikan budaya agar tak hilang digerus jaman. 

Bantengan sendiri merupakan salah satu budaya yang tumbuh sejak jaman Singasari, berupa seni olah tubuh pencak silat yang umumnya dipelajari masyarakat di sekitar lereng pegunungan Jawa, seperti Bromo, Tengger, Welirang, Arjuno, Anjasmoro, Kawirang, termasuk wilayah Batu.

Di Batu, budaya Bantengan tumbuh subur di daerah Bumiaji. Adapun sosok yang terus menghidupkan budaya Bantengan di tengah-tengah  masyarakat adalah Agus Tubrun, ayah dari Anjani  Sekar Arum. 

Darah Seni Yang Mengalir

Hasil karya batik tulis di geleri milik Anjani (Foto : Instagram anjanibatikgaleri)


Sebagai putri dari penggiat budaya dan seni, darah seni yang mengalir di nadinya begitu kental. Terutama seni lukis. Bakat ini menurun dari sang ayah dan pamannya juga dikenal sebagai pelukis, sementara neneknya adalah penari.

Anjani yang tumbuh dalam budaya seni  yang kental, memilih meneruskan pendidikan di Jurusan Seni dan Desain, Fakultas Sastra di Universitas Negeri Malang. Semenjak menjadi mahasiswa ia selalu memasukkan budaya Bantengan ke dalam tugas-tugas karya seninya. 

Ia yang tumbuh dan besar dalam budaya Bantengan, menjadikan Bantengan sebagai ciri khasnya dalam berkarya. Ia seolah-olah tak terpisahkan dari Bantengan. Hingga namanya dikenal sebagai Anjani Bantengan di lingkungan kampusnya. 

Ia bahkan sengaja mempelajari secara khusus seni membatik di Solo dan Jogjakarta agar bisa lebih leluasa mengenalkan Bantengan ke berbagai lapisan masyarakat seluruh tanah air

Semangat Anjani mengenalkan Budaya Bantengan melalui seni batik semakin kuat sejak lulus dari bangku kuliah. Tahun 2014 ia pun mendirikan sanggar batik dan galeri dengan motif Bantengan, sebagai ciri khas sanggarnya. Berlokasi tak jauh dari alun-alun Kota Batu. 

Pada pameran pertama yang diadakan secara sederhana, mengangkat tema khas batik tulis motif Bnatengan. Dalam pameran ini ia berhasil menjual seluruh karya seni membatiknya yang dikumpulkan sejak masih menjadi mahasiswa. Karya batiknya yang indah dengan motif Batik Bantengan didaulat sebagai batik khas Kota Batu oleh Dewanti Rumpoko, istri dari Walikota Batu periode 2007-2017, Eddy Rumpoko.

Sanggar dan galeri ini terus berkembang, hingga pada tahun 2018, ia memindahkan sanggarnya ke lokasi yang lebih luas  di desa Bumiaji. Perpindahan galeri Anjani dari pusat kota ke desa asal Bantengan, yaitu Bumiaji membawa dampak positif bagi perkembangan pariwisata di daerah tersebut. 

Redupnya Wisata Petik Apel yang selama ini menjadi ikon di desa Bumiaji, mendapatkan angin segar dengan adanya galeri dan sanggar batik Bantengan milik Anjani. Mewakili budaya khas Kota Batu dalam wujud karya seni batik tulis.

Anjani pun tak segan-segan menularkan ilmu yang dimilikinya kepada generasi muda, khususnya anak-anak yang memiliki bakat dan keinginan untuk melestarikan budaya bangsa, khususnya Batik Bantengan. 

Tahun 2017, Anjani bekerja sama dengan Dinas Pendidikan di Kota Batu, untuk mengenalkan Batik Bantengan ke sekolah-sekolah berakreditasi A dan terpilih untuk mengajarkan cara membuat batik dengan motif Bantengan. 

Sanggar Batik Tulis Andhaka

Sanggar batik tulis Anjani (Foto : Instagram anjanibatik galeri)

Rasa prihatin serta rasa takut Anjani akan hilangnya sebuah di budaya di masyarakat yang makin labil ini, membuatnya bertekad untuk melahirkan generasi penerus. 

Ia tahu tantangan untuk mengenalkan dan melestarikan seni Batik Bantengan tidaklah mudah. Dibutuhkan kegigihan untuk tetap mempertahankan motif yang menjadi ciri khas Bantengan. 

Ciri khas motif Batik Bantengan yaitu : kepala banteng, monyet, cemeti, bunga 7 rupa, dan alat kesenian. 

Menurut Anjani, mengajari generasi muda merupakan salah satu cara untuk melestarikan budaya bangsa. Di samping itu, melalui sanggar ini, anak-anak yang belajar dan membuat Batik Bantengan mendapatkan tambahan penghasilan melalui hasil penjualan Batik Bantengan yang dibandrol dengan harga yang lumayan tinggi. 

Karena yang dijual Anjani, bukanlah hanya sehelai kain batik bercorak, melainkan sebuah proses. 

Meraih Penghargaan SATU Indonesia

Anjani Sekar Arum meraih penghargaan SATU Indonesia Award 2017


Upaya melestarikan budaya melalui sanggar batiknya, ternyata berimbas positif meningkatkan ekonomi para pembatik muda asuhannya. 

Dari sekitar 58 pembatik anak yang tergabung, ada sekitar 45 anak yang rutin dan konsisten belajar membatik. Tiap bulan rata-rata menghasilkan 45 helai kain batik yang dipasarkan dengan kisaran harga 300-700 ribu rupiah. 

Hal ini dikarenakan keuntungan penjualan batik hanya diserahkan 10% untuk sanggar. Itu pun digunakan untuk membeli pewarna, kain mori dan keperluan membatik, selebihnya menjadi milik pembatik anak itu sendiri. 

Dengan bagi hasil yang sangat menguntungkan bagi pembatik anak di sanggarnya, membuat semangat untuk berkarya tumbuh dengan sendirinya. Harapan Anjani, anak-anak asuhannya kelak tumbuh menjadi duta Batik Bantengan hingga menembus mancanegara dan mampu berdiri sendiri. 

Upaya Anjani meningkatkan perekonomian masyarakat dan melestarikan budaya di sekitarnya, khususnya anak-anak yang tergabung dalam sanggar batik tulis asuhannya mendapat apresiasi dari PT Astra Internasional di bidang kewirausahaan. Ia meraih penghargaan SATU Indonesia Award pada tahun 2017.

Meski tak ada keuntungan ekonomi untuk dirinya pribadi, namun Anjani mampu membawa perubahan ekonomi di sekitarnya. Ini merupakan kepuasan tersendiri bagi perempuan cantik yang juga berprofesi sebagai guru di salah satu sekolah negeri. 

Barakallah Anjani.....







Museum Geologi Bandung, Wisata Edukasi Murah Meriah

Museum Geologi Bandung, wisata edukasi murah meriah (dok.pri) Liburan  paling asyik jika diisi dengan acara jalan-jalan bareng keluarga. Ngg...