Selasa, 15 Oktober 2024

Theresia Dwiaudina Sari Putri, Pejuang Kesehatan Ibu dan Anak dari Desa Uzuzozo

 

Theresia Dwiaudina Sari Putri, Pejuang kesehatan ibu dan anak Desa uzuzozo
 (Foto : Instagram Theresia Dwiaudina)

Setiap hari adalah hari baik yang harus disongsong dengan penuh semangat dan rasa bahagia. Salah satunya dengan membantu sesama. Menolong ibu-ibu yang melahirkan, mengobati pasien, atau sekadar menyapa masyarakat di sepanjang jalan.

Adalah Theresia Dwiaudina Sari Putri,yang menjalani hari-hari sebagai tenaga kerja kesehatan di desa terpencil, Desa Uzuzozo, Kabupaten Ende, Nusa Tenggara Timur.

Berawal dari keinginan ayahnya, yang menginginkan salah satu anaknya ada yang berkecimpung di dunia kesehatan. Dinny, begitu nama panggilannya, memilih untuk meneruskan pendidikan ke Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan di Surabaya.

Sebagai sulung dari empat bersaudara, ia tentu tak ingin memberatkan orangtuanya. Mengingat biaya kuliah di fakultas kedokteran sangat tinggi, dengan berbagai pertimbangan, ia mengambil jurusan Kebidanan D3.

"Biaya kuliah di kedokteran sangat mahal," tuturnya ketika melakukan wawancara langsung dengan penulis.

Pilihan ini disesuaikan dengan kemampuan ayahnya, Kanis Sari, yang berprofesi sebagai PNS, dan ibunya, Herlin Kaleka, yang menjadi petani. Selain agar bisa cepat lulus, Dinny menyadari keberadaan bidan amat diperlukan di daerahnya.

Kesungguhan Dinny menuntut ilmu membuatnya lulus dengan cepat sesuai target. Selepas lulus kuliah di tahun 2016, Dinny memilih pulang dan menjadi tenaga kesehatan honorer di kampung halamannya, Desa Kekandere, Nangapanda, Nusa Tenggara Timur. Meskipun pada saat itu, ada tawaran untuk menjadi nakes di tempat ia praktik kerja lapangan saat kuliah.

 

Dibayar Seikhlasnya

 



Memberikan layanan kesehatan bagi siapa saja yang membutuhkan
(Foto : Instagram Theresia Dwiaudina)

Sudah menjadi rahasia umum, biaya yang dikeluarkan saat menempuh pendidikan di bidang kesehatan amat tinggi, tidak sebanding dengan honor yang ia terima saat bekerja di lapangan.

“Sebagai tenaga honorer di sana, saya tidak dibayar. Kalau ada pekerjaan tertentu, baru dibayar. Itu pun seikhlasnya,” ujarnya seperti yang dikutip dalam salah satu wawancara.

Dinny menyadari, hidup bukan melulu tentang uang, ada nilai-nilai lain yang layak untuk diperjuangkan. Karenanya Dinny tetap semangat menjalani hari-harinya sebagai nakes.Membantu memeriksa dan mendata ibu hamil di desa-desa di sekitarnya, juga membantu memperbaiki kesehatan masyarakat di sekitarnya.

Hingga akhirnya, di tahun berikutnya pada tahun 2017, ia mendapatkan kesempatan menjadi bidan di Desa Uzuzozo, sebuah desa terpencil yang sulit dijangkau dan enggan disinggahi oleh nakes lainnya.

Sulitnya medan tempuh, dan minimnya fasilitas kesehatan, menjadi tantangan tersendiri bagi Dinny. Sebagai satu-satunya nakes yang bertugas di Desa Uzuzozo, ia hanya menerima gaji bulanan sekitar 1 juta perbulan, namun ia tak menyerah.

“Saya tergerak ingin menjadi bidan di sini untuk membantu masyarakat karena fasilitas yang minim, ditambah dengan akses sulit ke faskes,” ujar gadis manis usia 28 tahun ini.

Bayangkan saja, hanya ada satu faskes yang didirikan di sana. Sementara jarak tempuh antara faskes yang didirikan di Desa Uzuzozo ke desa-desa lainnya sekitar 13-15 KM, dengan medan yang sulit. Faskes itu pun hanya berupa bangunan kecil yang disebut puskesmas, dengan fasilitas dan alat-alat kesehatan yang minim.

 

Tantangan Sebagai Nakes di Daerah Terpencil

 



Bahkan saat tengah jalan harus siap memberikan layanan kesehatan
(Foto : Instagram Theresia Dwiaudina)

Desa Uzuzozo sendiri, baru terbentuk pada tahun 2007. Merupakan desa terluar dan terbelakang di wilayah selatan Kecamatan Nangapanda, Kabupaten Ende. Untuk memasuki desa tersebut, harus melewati jalan setapak yang berbatu dan menanjak, juga menuruni Lembah dan melewati sungai kecil.

Begitu ekstrim medan tempuh yang harus dilalui Dinny, namun itu tak menyurutkan langkahnya. Dengan mengendarai motor, Dinny tetap menyapa masyarakat untuk membina kesehatan.

Meskipun berprofesi sebagai bidan, lingkup kerja Dinny tidak hanya terbatas pada kesehatan ibu dan anak, namun ia juga aktif memberikan penyuluhan dan meningkatkan  kepedulian masyarakat tentang pentingnya menjaga kesehatan pribadi dan lingkungan.

Hingga tidak mengherankan jika dalam kesehariannya ia kerap dimintai tolong untuk memeriksa kesehatan dan memberi obat, meskipun saat sedang di jalan. Ia pun tak segan-segan mengunjungi rumah pasien-pasien yang sedang sakit dan sulit untuk berobat langsung di puskesmas.

Sulitnya medan tempuh menuju puskesmas, membuat kesadaran masyarakat dalam menjaga kesehatan, khususnya ibu hamil, amat rendah. Mereka enggan memeriksakan diri ke bidan, dan lebih mempercayai dukun beranak untuk membantu proses melahirkan.

Dinny, sebagai lulusan baru dari sekolah kesehatan menemukan tantangan lain untuk menguji keteguhannya. Bisakah ia menerapkan ilmu yang diperolehnya dengan susah payah, dan membuka wawasan orang-orang di sekitarnya?

 

Berkolaborasi dengan Dukun Beranak

 

Tak lelah mengedukasi ibu hamil dan anak-anak saat posyandu
 (Foto : Instagram Theresia Dwiaudina)

 

Menurunkan angka stunting pada anak-anak dan pemberian imunisasi di Desa Uzuzozo
 (Foto : Instagram Theresia Dwiaudina)


Ia amat menyadari tingginya kepercayaan masyarakat terhadap dukun beranak. Dari 10 ibu hamil, 9 orang memilih dukun beranak untuk membantu proses melahirkan. Ia masihlah orang baru yang belum mendapat tempat di hati ibu-ibu hamil. Alih-alih diterima, ia malah mendapat cibiran.

Dinny tak patah hati. Ia tetap mengedukasi ibu-ibu hamil tentang pentingnya melahirkan di faskes. Menggunakan motor kesayangan, ia berkeliling tak kenal lelah untuk memeriksa kondisi ibu-ibu hamil. Baik melalui wawancara, pemeriksaan fisik ibu hamil dan memeriksa kadar HB dalam darah.

Ia pun amat memahami pentingnya peran dukun beranak yang sudah eksis puluhan tahun di kampungnya. Tak ingin menimbulkan perselisihan yang tak perlu, Dinny memilih untuk bekerjasama dengan dukun beranak. Untuk memudahkan langkahnya, mula-mula ia mengunjungi dukun beranak senior yang sangat berpengaruh, yaitu Theresia Jija yang sudah berusia 76 tahun saat ini.

Dinny melakukan pendekatan dengan menanyakan kondisi kesehatan ibu-ibu hamil yang menjadi pasien Jija. Ia tidak secara frontal menyalahkan tindakan-tindakan yang dilakukan Jija, meskipun itu bisa berdampak bagi ibu hamil, seperti pijatan perut yang dilakukan pada ibu hamil.

Ia memilih pendekatan halus, dengan menyarankan kepada Jija agar memberikan pijatan di sekitar pinggang, untuk memberikan perasaan nyaman pada ibu hamil dan menghindari komplikasi pada janin.

Ia pun meminta dukun beranak untuk bersama-sama menangani proses melahirkan. Dinny menangani ibu melahirkan, dan dukun menangani anak saat dilahirkan. Kerjasama ini meringan kerja dukun beranak tanpa menutup mata pencahariannya.

Kolaborasi ini juga salah satu cara Dinny untuk mengedukasi tanpa menggurui. Ia mengenalkan sarung tangan, dan perlengkapan lainnya untuk membantu menekan angka kematian ibu melahirkan. Sejauh ini belum ada kasus ibu melahirkan yang meninggal.

Berbagai macam pengalaman di lapangan dialami Dinny. Ia pernah ditelpon dini hari untuk membantu ibu yang sudah mengalami kontraksi di desa yang jauh dari kediamannya.

Meski sudah bergegas menggunakan mobil pick up dari puskesmas, karena kondisi yang kritis, dengan menggunakan alat-alat kesehatan yang selalu dibawanya,  Dinny terpaksa membantu proses melahirkan di tengah perjalanan. Di tepi Sungai, dengan beralas terpal dan cahaya gawai yang dibawa, Dinny berjuang menyelamatkan pasiennya.

Pengalaman-pengalaman seru seperti ini menambah pengalaman batin Dinny. Ia semakin termotivasi untuk mengedukasi pentingnya pemeriksaan kehamilan pada ibu-ibu hamil sejak awal. Untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan.

 

Mendapatkan penghargaan SATU Indonesia Awards 2023 dari PT. ASTRA Internasional di Bidang Kesehatan

 


Tak disangka mendapatkan anugrah SATU IndonesiaAwards dari PT. ASTRA
(Foto : Instagram Theresia Dwiaudina)

Selain kegiatan rutin bulanan memeriksa ibu-ibu hamil, Dinny juga giat menurunkan angka stunting yang sangat tinggi di desanya.  Pola makan yang buruk sebagai salah satu pemicu tingginya angka stunting.

Untuk menekan kondisi tersebut, selain mengedukasi para ibu, tentang pentingnya memberikan makanan yang baik dan sehat tiga kali sehari, Dinny juga menggunakan anggaran desa untuk memberikan makanan sehat berupa bubur kacang hijau dll kepada anak-anak yang datang ke posyandu.

Pejuangan Dinny membuahkan hasil yang membahagiakan. Itu dapat dilihat dari meningkatnya kepercayaan ibu hamil terhadap faskes dan memilih faskes untuk membantu proses melahirkan. Juga dengan menurunnya angka stunting yang dialami anak-anak di sana.

Maka tidak heran, jika PT ASTRA Internasional memberikan apresiasi berupa penghargaan SATU Indonesia Awards kepada Theresia Dwiaudina Sari Putri, sebagai pemenang di ajang bergengsi yang diperuntukkan bagi kaum muda yang berprestasi dan memberikan kontribusi positif bagi bangsa dan masyarakat.

 

Harapan Dinny

Ketika diwawancarai Dinny mengungkapkan harapannya, “Harapannya semoga masih terus ada perhatian dari lintas-lintas terkait untuk cangkupan pelayanan kesehatan di desa-desa terpencil. Apalagi sekarang fokusnya ada pada kesehatan ibu dan anak. Jadi kalau bisa usaha yang kecil-kecil di komunitas yang kecil agar tercapai cakupan yang lebih besar agar tercapai kesejahteraan ibu dan anak. Perhatiannya lebih banyak lagi pada desa terpencil.”

Selamat ya, Dinny. Perjuangan masih panjang. Jangan kenal lelah memberikan yang terbaik bagi sesama. Semangat…!

 

 

 

 

 

Jumat, 11 Oktober 2024

Elmi Sumarni Ismau, Pejuang Kesetaraan Hak Disabilitas Kupang

Elmi Sumarni Ismau, Pejuang Kesetaraan Hak Disabilitas (Foto : Instagram Elmi Sumarni Ismau)

Menjadi penyandang disabilitas tak pernah ada dalam bayangan Elmi. Perempuan hebat kelahiran Kupang 31 tahun silam ini. Namun kecelakaan berat yang dialaminya di tahun 2010 mengharuskannya menjalani amputasi dan kehilangan kedua kakinya. Kenyataan pahit yang mampu meluluhlantakkan semua mimpi, termasuk mimpi Elmi Sumarni Ismau. 

Enggan terpuruk terlalu lama, Elmi yang selalu memiliki karakter ceria dan optimis, dengan dukungan orang-orang terdekatnya mulai menjalani takdirnya dengan lapang dada. Penerimaan diri ini membuatnya lebih siap untuk menjalani hari-hari dengan lebih baik. Siap merajut mimpi-mimpi menjadi manusia yang lebih baik dan menginspirasi. 

Awal Perjuangan Elmi


Meski menjadi penyandang disabilitas, pada mulanya Elmi masih merasa asing dengan isu disabilitas. Ketertarikannya akan isu seputar disabilitas muncul sejak ia menjalani masa-masa kuliah. Kesenjangan hak yang dialami teman-teman disabilitas, khususnya di NTT membuatnya tertarik untuk mendalami masalah ini. 

Elmi menginginkan perubahan yang lebih baik. Ia tak ingin penyandang disabilitas hanya meraih rasa belas kasihan. Namun ia menginginkan kesetaraan hak bagi penyandang disabilitas, baik akses, fasilitas maupun kesempatan untuk berkarya. Untuk mewujudkan keinginannya, Elmi mulai bergabung dengan Youth Action Forum pada tahun 2019. 

Forum ini merupakan program sosial bagi anak muda yang ingin melakukan perubahan positif bagi komunitasnya. Berada di lingkungan yang kondusif dan memiliki aura positif, membuat Elmi semakin berkembang. Ia pun bermimpi untuk mendirikan sebuah organisasi yang bergerak untuk memperjuangkan kesetaraan hak disabilitas.

Dengan dukungan teman-teman baik, di hari kasih sayang pada tanggal 14 Februari 2020, ia beserta kelima orang teman disabilitas dan satu orang non disabilitas mendirikan Gerakan Advokasi Transformasi Disabilitas untuk Inklusi (GARAMIN). 

 Bersama GARAMIN Menuju Kesetaraan Hak Disabilitas 

Bersama GARAMIN, aktif mengedukasi masyarakat (Foto : Ig Elmi)

Perjuangan Elmi dan teman-teman GARAMIN tentu tidak mudah. Jauh sebelum mewujudkan kesetaraan hak disabilitas, terlebih dahulu ia harus mengubah mindset masyarakat terhadap penyandang disabilitas. Termasuk mengubah cara pandang penyandang disabilitas terhadap dirinya sendiri.

Menjadi penyandang disabilitas bukan berarti hidup harus di bawah belas kasihan orang lain, kan? Apalagi lantas merasa tidak memiliki kemampuan apa-apa. Penyandang disabilitas juga merupakan pribadi yang utuh, lengkap dengan segala macam kelebihan dan kekurangan masing-masing.

Cara pandang inilah yang ingin disusupkan Elmi ke benak penyandang disabilitas khususnya, dan masyarakat pada umumnya. Lulusan Akademi Pekerjaan Sosial ini tahu, jalan yang ia tempuh tidaklah mudah, tetapi ia dan teman-temannya memilih untuk memulainya dari titik ini.

Salah satunya dengan aktif mengadakan kegiatan literasi. Elmi dan GARAMIN membuka pelatihan jurnalisme yang diikuti penyandang disabilitas, agar penyandang disabilitas mampu menulis dan menumbuhkan potensi terbaiknya. 

Dari 200 peserta yang mendaftar untuk mengikuti pelatihan jurnalisme, Elmi hanya memilih 35 orang peserta yang lolos seleksi. Kemudian memilih peserta dengan tulisan terbaik untuk mendapatkan apresiasi, berupa penghargaan, sertifikat, serta kesempatan untuk memublikasikan tulisannya di situs resmi GARAMIN. 

Bersama GARAMIN, Elmi juga sering mengadakan diskusi-diskusi dan sosialisasi dengan masyarakat sekitar. Ia menampung segala keluhan dan kesulitan yang diutarakan penyandang disabilitas dan orang-orang terdekatnya, lalu memberikan solusi untuk isu terkait. 

Menjalin Kerjasama Dengan Pemerintah

Menjalin kerjasama dengan pemerintah (Foto : Ig Elmi)

Minimnya sarana dan prasarana membuat Elmi dan teman-teman GARAMIN sering mengalami kendala dalam menjalankan program-programnya. Begitu pula dengan akses informasi yang terbatas, khususnya bagi tuna netra dan tuna wicara. 

Menyadari kesenjangan dan kesulitan yang terjadi bagi penyandang disabilitas, tak lepas dari minimnya informasi yang diterima pemerintah, Elmi beserta GARAMIN berinisiatif menjalin kerjasama dengan pemerintah. 

Ia menjembatani isu seputar disabilitas dan menyampaikan ide-ide kepada pemerintah terkait, sehingga pemerintah mampu mengakomodasi ide tersebut. Kerjasama ini tidak saja membantu dan memudahkan penyandang disabilitas ketika beraktivitas, melainkan juga turut menyukseskan program-program pemerintah. 

Seperti ketika pemerintah sedang gencar melalukan vaksinasi Covid, GARAMIN turut aktif memberikan edukasi dan dorongan kepada penyandang disabilitas, agar mau mengikuti program pemerintah. Tidak mudah mengedukasi masyarakat terkait program ini, namun Elmi dan kawan-kawan tetap gigih mendukung program pemerintah demi kebaikan bersama. 

Begitu pula saat terjadi badai Seroja yang melanda NTT pada tanggal 4 April 2021 silam, Elmi beserta teman-teman GARAMIN terjun dalam upaya penyelamatan korban, khususnya penyandang disabilitas. 
Selain mendata, organisasi ini juga aktif mencari bantuan donasi dan terjun langsung memberi bantuan ke lapangan. 

Meraih Penghargaan SATU Indonesia Awards 2021 

Perjuangan Elmi Sumarni Ismau dan teman-teman GARAMIN untuk membela hak kaum disabilitas, membawa perubahan yang signifikan dalam masyarakat. Kini, penyandang disabilitas lebih mudah mendapatkan akses di bidang pendidikan, kesehatan, maupun kesempatan dalam berkarya. 

Peran aktifnya di masa pandemi Covid, menjadi nilai tambah sehingga membuat Elmi terpilih sebagai Pejuang Tanpa Pamrih di Masa Pandemi Covid-19, dan berhasil meraih penghargaan dari SATU Indonesia Awards 2021. 

Mimpi Membangun Desa Inklusi 

Mewujudkan mimpi membangun desa inklusi (Foto : Ig Elmi) 

Perjuangan ini belum usai. Masih banyak kerja yang harus Elmi tuntaskan, termasuk mewujudkan mimpi membangun desa inklusi di Oelomin, Kupang, Nusa Tenggara Timur.

Yaitu sebuah desa dimana fasilitas umum ramah disabilitas, dan teman-teman disabilitas memiliki kesempatan untuk berpartisifasi dalam perencanaan, penganggaran dana desa dan kegiatan lainnya. Bukan hal yang mustahil, dengan bantuan seluruh elemen masyarakat, mimpi ini suatu saat bisa diwujudkan. 

Semangat ya, Elmi.

Jumat, 03 November 2023

Anjani Sekar Arum, Lestarikan Budaya Bantengan Melalui Batik Bantengan

 

Anjani Sekar Arum, melestarikan budaya melalui batik (Foto : Instagram anjanigaleribatik)

Indonesia kaya akan khasanah budaya dan warisan leluhur. Salah satunya adalah seni membatik. Batik sendiri merupakan seni dua dimensi yang lahir sebagai wujud ekspresi dari kondisi sosial dan budaya masyarakat setempat. Karenanya, wajar, bila batik setiap daerah memiliki ciri khas tersendiri.

Sebagai seorang penggiat seni atau seniman, Anjani Sekar Arum ingin mengangkat citra Batik Bantengan dan melestarikan budaya agar tak hilang digerus jaman. 

Bantengan sendiri merupakan salah satu budaya yang tumbuh sejak jaman Singasari, berupa seni olah tubuh pencak silat yang umumnya dipelajari masyarakat di sekitar lereng pegunungan Jawa, seperti Bromo, Tengger, Welirang, Arjuno, Anjasmoro, Kawirang, termasuk wilayah Batu.

Di Batu, budaya Bantengan tumbuh subur di daerah Bumiaji. Adapun sosok yang terus menghidupkan budaya Bantengan di tengah-tengah  masyarakat adalah Agus Tubrun, ayah dari Anjani  Sekar Arum. 

Darah Seni Yang Mengalir

Hasil karya batik tulis di geleri milik Anjani (Foto : Instagram anjanibatikgaleri)


Sebagai putri dari penggiat budaya dan seni, darah seni yang mengalir di nadinya begitu kental. Terutama seni lukis. Bakat ini menurun dari sang ayah dan pamannya juga dikenal sebagai pelukis, sementara neneknya adalah penari.

Anjani yang tumbuh dalam budaya seni  yang kental, memilih meneruskan pendidikan di Jurusan Seni dan Desain, Fakultas Sastra di Universitas Negeri Malang. Semenjak menjadi mahasiswa ia selalu memasukkan budaya Bantengan ke dalam tugas-tugas karya seninya. 

Ia yang tumbuh dan besar dalam budaya Bantengan, menjadikan Bantengan sebagai ciri khasnya dalam berkarya. Ia seolah-olah tak terpisahkan dari Bantengan. Hingga namanya dikenal sebagai Anjani Bantengan di lingkungan kampusnya. 

Ia bahkan sengaja mempelajari secara khusus seni membatik di Solo dan Jogjakarta agar bisa lebih leluasa mengenalkan Bantengan ke berbagai lapisan masyarakat seluruh tanah air

Semangat Anjani mengenalkan Budaya Bantengan melalui seni batik semakin kuat sejak lulus dari bangku kuliah. Tahun 2014 ia pun mendirikan sanggar batik dan galeri dengan motif Bantengan, sebagai ciri khas sanggarnya. Berlokasi tak jauh dari alun-alun Kota Batu. 

Pada pameran pertama yang diadakan secara sederhana, mengangkat tema khas batik tulis motif Bnatengan. Dalam pameran ini ia berhasil menjual seluruh karya seni membatiknya yang dikumpulkan sejak masih menjadi mahasiswa. Karya batiknya yang indah dengan motif Batik Bantengan didaulat sebagai batik khas Kota Batu oleh Dewanti Rumpoko, istri dari Walikota Batu periode 2007-2017, Eddy Rumpoko.

Sanggar dan galeri ini terus berkembang, hingga pada tahun 2018, ia memindahkan sanggarnya ke lokasi yang lebih luas  di desa Bumiaji. Perpindahan galeri Anjani dari pusat kota ke desa asal Bantengan, yaitu Bumiaji membawa dampak positif bagi perkembangan pariwisata di daerah tersebut. 

Redupnya Wisata Petik Apel yang selama ini menjadi ikon di desa Bumiaji, mendapatkan angin segar dengan adanya galeri dan sanggar batik Bantengan milik Anjani. Mewakili budaya khas Kota Batu dalam wujud karya seni batik tulis.

Anjani pun tak segan-segan menularkan ilmu yang dimilikinya kepada generasi muda, khususnya anak-anak yang memiliki bakat dan keinginan untuk melestarikan budaya bangsa, khususnya Batik Bantengan. 

Tahun 2017, Anjani bekerja sama dengan Dinas Pendidikan di Kota Batu, untuk mengenalkan Batik Bantengan ke sekolah-sekolah berakreditasi A dan terpilih untuk mengajarkan cara membuat batik dengan motif Bantengan. 

Sanggar Batik Tulis Andhaka

Sanggar batik tulis Anjani (Foto : Instagram anjanibatik galeri)

Rasa prihatin serta rasa takut Anjani akan hilangnya sebuah di budaya di masyarakat yang makin labil ini, membuatnya bertekad untuk melahirkan generasi penerus. 

Ia tahu tantangan untuk mengenalkan dan melestarikan seni Batik Bantengan tidaklah mudah. Dibutuhkan kegigihan untuk tetap mempertahankan motif yang menjadi ciri khas Bantengan. 

Ciri khas motif Batik Bantengan yaitu : kepala banteng, monyet, cemeti, bunga 7 rupa, dan alat kesenian. 

Menurut Anjani, mengajari generasi muda merupakan salah satu cara untuk melestarikan budaya bangsa. Di samping itu, melalui sanggar ini, anak-anak yang belajar dan membuat Batik Bantengan mendapatkan tambahan penghasilan melalui hasil penjualan Batik Bantengan yang dibandrol dengan harga yang lumayan tinggi. 

Karena yang dijual Anjani, bukanlah hanya sehelai kain batik bercorak, melainkan sebuah proses. 

Meraih Penghargaan SATU Indonesia

Anjani Sekar Arum meraih penghargaan SATU Indonesia Award 2017


Upaya melestarikan budaya melalui sanggar batiknya, ternyata berimbas positif meningkatkan ekonomi para pembatik muda asuhannya. 

Dari sekitar 58 pembatik anak yang tergabung, ada sekitar 45 anak yang rutin dan konsisten belajar membatik. Tiap bulan rata-rata menghasilkan 45 helai kain batik yang dipasarkan dengan kisaran harga 300-700 ribu rupiah. 

Hal ini dikarenakan keuntungan penjualan batik hanya diserahkan 10% untuk sanggar. Itu pun digunakan untuk membeli pewarna, kain mori dan keperluan membatik, selebihnya menjadi milik pembatik anak itu sendiri. 

Dengan bagi hasil yang sangat menguntungkan bagi pembatik anak di sanggarnya, membuat semangat untuk berkarya tumbuh dengan sendirinya. Harapan Anjani, anak-anak asuhannya kelak tumbuh menjadi duta Batik Bantengan hingga menembus mancanegara dan mampu berdiri sendiri. 

Upaya Anjani meningkatkan perekonomian masyarakat dan melestarikan budaya di sekitarnya, khususnya anak-anak yang tergabung dalam sanggar batik tulis asuhannya mendapat apresiasi dari PT Astra Internasional di bidang kewirausahaan. Ia meraih penghargaan SATU Indonesia Award pada tahun 2017.

Meski tak ada keuntungan ekonomi untuk dirinya pribadi, namun Anjani mampu membawa perubahan ekonomi di sekitarnya. Ini merupakan kepuasan tersendiri bagi perempuan cantik yang juga berprofesi sebagai guru di salah satu sekolah negeri. 

Barakallah Anjani.....







Rabu, 25 Oktober 2023

Bidan Hardinisa Syamitri, Hadirkan Senyum di Wajah Lansia

 

Bidan Hardinisa Syamitri, Hadirkan senyum di wajah lansia (Foto : IG Hardinisa S)

Kebayang nggak sih menjadi bidan di lokasi terpencil? Lokasi yang tak terjangkau listrik, apatah lagi sinyal telekomunikasi. Uwuw. Pastinya berasa di dunia lain kan ya... hehehe. Akan tetapi, itulah kenyataan  yang harus dihadapi oleh Bidan Hardinisa Syamitri.

Sebagai ASN, tentu saja ia tak bisa menolak saat di tempatkan di kampung kecil, hanya diisi sekitar 500 jiwa saja. Lokasi itu tepatnya bernama desa Jorong Luak Benga, Talang Anau, Kecamatan Gunung Omeh, Sumatra Barat  dan itu tentunya menjadi pengalaman tak terlupakan bagi Bidan Icha, demikian nama panggilannya.

Wajar saja jika kehadirannya pertama kali, tahun 2006 silam, mengalami penolakan dari masyarakat setempat yang tidak mengenal tenaga medis. Mereka hanya percaya pada dukun. Serta mengandalkan dukun beranak untuk membantu proses melahirkan. Namun perempuan kelahiran 2 Mei 1984 itu tidak patah semangat. Ia memaklumi kondisi masyarakat yang kurang wawasan dan belum tersentuh dunia luar.

Untuk meraih hati dan agar bisa tetap melaksanakan bakti sebagai tenaga medis, Icha, demikian nama panggilannya, merangkul dukun-dukun beranak. Ia mulai menjalin kerja sama dan  mendampingi saat ada warga setempat yang hendak melahirkan.

Tindakannya ini tidak serta merta mengalihkan kepercayaan warga dari dukun ke bidan, namun Icha tetap semangat mendampingi pada dukun beranak, sambil terus memberikan informasi penting terkait  proses melahirkan, agar ibu dan anak selamat saat melahirkan.

Kepercayaan masyarakat mulai tumbuh ketika dalam satu proses kelahiran bayi yang diikutinya bayi yang lahir tidak menangis. Di tengah kebingungan yang melanda dukun beranak dan keluarga ibu yang melahirkan, Bidan Icha melakukan tindakan sesuai ilmu medis yang dipelajarinya, alhamdulillah, bayi itu bisa menangis.

Kepercayaan masyarakat pun tumbuh dan mulai mengikuti arahan Bidan Icha terkait masalah kesehatan yang terjadi di masyarakat. Sebagai tenaga medis yang mengemban tugas dari dinas kesehatan setempat sangatlah wajar jika Icha tak jemu-jemu memberikan penyuluhan kesehatan pada masyarakat.

Membentuk Seroja Untuk Lansia

Hardinisa Syamitri, membentuk Seroja untuk lansia (foto : IG Hardinisa S)

 

Semenjak mendapat kepercayaan masyarakat, Icha mulai memperhatikan kesehatan masyarakat secara lebih luas, tidak hanya yang berkaitan dengan ibu hamil dan melahirkan, dan pengobatan secara medis, Icha juga memperhatikan keberadaan para lansia yang keberadaannya cukup banyak di tengah masyarakat.

Ia menyadari eratnya para lansia dengan berbagai penyakit degeneratif seperti stroke, rematik, hipertensi dan lain sebagainya.  Icha  pun tergerak untuk mencegah sedini mungkin penyakit itu menyerang lansia yang berada di desanya.

Ia tak ingin para lansia yang ada di sekitarnya kehilangan semangat dan menjadi beban keluarga. Ia ingin melihat kebahagiaan di wajah para lansia, salah satunya dengan aktif memberikan motivasi dan memberikan kegiatan yang bermanfaat bagi lansia.

Icha kemudian membentuk perkumpulan orang lanjut usia yang diberi nama Perkumpulan Seroja (Sehat Rohani Jasmani). Agar menarik dan tidak menyulitkan serta mudah dilaksanakan para lansia, ia mengemas kegiatan rutin lansia dengan kegiatan olahraga senam pagi untuk lansia. Kegiatan yang tidak membutuhkan biaya, dan termasuk olahraga ringan, namun bermanfaat besar bagi para lansia.

Menurut para peneliti dari British Journal of Sports Medicine pada tahun 2014, orang lanjut usia yang aktif berolahraga terbukti lebih sehat dan memiliki risiko yang lebih kecil terhadap penyakit kronis.

Dengan mengadakan senam lansia, Icha berharap, para lansia yang aktif dalam kegiatan ini menjadi lebih sehat, menghambat proses penuaan, mendapat kesegaran jasmani, terpeliharanya daya tahan dan kekuatan otot, melancarkan peredaran darah, serta menumbuhkan rasa bahagia dan pikiran yang sehat dan terjaga.

Menerbitkan senyum di wajah lansia

 

Bidan Hardinisa Syamitri bersama Titik Puspa (Foto IG Hardinisa S)

Sejak berdirinya Seroja, dari 200 lansia yang ada di desa, sebanyak 120 lansia sudah mengikuti program yang diadakan Bidan Icha. Kegiatan itu terus berlangsung, bahkan ketika pindah tugas ke desa tetangga, Jorong Talang Anau, Icha juga membentuk perkumpulan Seroja untuk para lansia.

Semangat Icha yang ingin menghadirkan senyum di wajah para lansia di desa terpencil ini mendapatkan perhatian dari PT ASTRA Internasional, hingga memberikan apresiasi SATU Indonesia Awards di tahun 2013 silam untuk kategori kesehatan.

Jumat, 20 Oktober 2023

Elsa Maharrani, Memberdayakan Ibu-Ibu Rumah Tangga Melalui Menjahit

 

Elsa Maharrani, memberdayakan ibu rumah tangga melalui menjahit (foto : Elsa M)


Berwirausaha bukanlah hal yang baru bagi Elsa Maharrani, perempuan kelahiran Padang , 5 Maret 1990. Terlahir sebagai anak kedua dari 10 bersaudara, membuat Elsa berpikir untuk segera mandiri. Ia ingin kuliah dengan biaya sendiri. Tak ingin memberatkan orangtuanya yang bekerja sebagai PNS.

Karena itu semenjak menjadi mahasiswa di Fakultasi Kesehatan Masyarakat Universitas Andalas, ia memutuskan untuk berjualan. Dengan mengusung konsep palugada (apa yang lu mau, gue ada) perlahan sosok Elsa tumbuh menjadi sosok wirausaha muda yang tangguh dan pandai membaca peluang pasar.

Pengalaman berjualan ini terus tumbuh dalam jiwanya, mengalir di nadinya. Ia menikmati jatuh bangun usaha yang dijalaninya. Begitupun setelah menikah. Ia tetap mencoba merintis berbagai jenis usaha. Sehingga akhirnya memilih menjual produk muslimah dengan brand-brand ternama dari Jakarta.

 Lahirnya Brand Maharrani Hijab

Lahirnya Maharrani Hijab tak lepas dari dukungan suami Elsa (Foto : Elsa Maharrani)

Setelah cukup lama menjual produk brand-brand ternama, pada tahun 2019 Elsa memutuskan untuk memproduksi sendiri busana-busana muslimah dengan mengangkat khasanah cara berpakaian wanita muslimah minang, seperti baju kurung, basiba dll. Keinginannya ini mendapat dukungan penuh dari suaminya, Fajri Gufran Zainal.

Ia pun mulai memasarkan produk Maharrani Hijab, brand yang diambil dari nama Elsa sendiri. Produk yang mementingkan kualitas jahitan, bahan serta desain yang menarik ini segera mendapat sambutan hangat dari pasar yang dibidik Elsa, yaitu kelas menengah yang memiliki penghasilan baik.

Dari usaha yang awalnya hanya dengan satu penjahit, kini berkembang hingga 60 orang yang menjadi team Maharrani Hijab. Dari mulai desain, pemotong, penjahit dan lain-lainnya. Mulai dari tamatan SD hingga sarjana S2 menjadi bagian dari team Maharrani Hijab.

Visi dan Misi Maharrani Hijab

Memberdayakan ibu-ibu rumah tangga dengan menjahit (Foto : Elsa M)

Setiap usaha pastilah memiliki tantangan tersendiri. Pun demikian dengan Elsa. Sebagai wirausahawati muda, ibu dari Faguza Abdullah dan Anisa Dini Zakiyah ini pun menghadapi berbagai kendala dalam mengembangkan bisnisnya. Beruntung Elsa memiliki suami yang selalu mensuport, bahkan turut membangun konsep usaha yang dimiliki Elsa.

“Setiap ada kendala,  saya kembalikan ke misi dan visi utama, yaitu menjadi manusia yang bermanfaat bagi banyak orang. Jadi kalau ada masalah, ya kembalikan lagi ke visi utama tadi yaitu Alloh,” tuturnya pada penulis.

Diawali dengan visi dan misi ini, Elsa kemudian menggerakkan ibu-ibu rumah tangga di sekitar rumahnya untuk menjadi mitranya. Ibu-ibu rumah tangga yang  bisa menjahit, namun  tidak berpenghasilan tetap mulai tertarik untuk menjadi mitra penjahit.

Dengan menjadi mitra jahit,  mereka menerima orderan menjahit yang diberikan Elsa dan bisa dikerjakan di rumah. Selain bisa mengerjakan orderan di sela waktu luang,  juga memiliki kesempatan mendapatkan penghasilan yang lumayan, bahkan bisa di atas UMR Kota Padang, sesuai dengan banyaknya baju yang bisa mereka jahit setiap harinya.

Sementara ibu-ibu yang tidak memiliki kemampuan menjahit, pelan-pelan mulai tertarik untuk belajar menjahit. Ketekunan mereka akan membuat kemampuan mereka meningkat dengan sendirinya, sehingga bisa menjadi mitra jahit.

Untuk menentukan kualitas dan kelayakan hasil jahitan mereka, Elsa turun tangan langsung mengecek dan memutuskan, apakah  mereka sudah bisa atau belum, menerima orderan menjahit gamis, mukena, hijab dan aneka produk Maharrani Hijab.

Wirausaha yang ditekuni Elsa ini membawa perubahan positif bagi lingkungan di sekitarnya. Terutama di masa pandemi lalu, saat banyak tulang punggung yang kehilangan pekerjaan, namun orderan menjahit meningkat. Otomatis menambah pemasukan bagi keluarga mitra jahit.

Produk Maharrani Hijab dengan desain-desain cantik dan bahan pilihan ini tidak hanya digemari di berbagai wilayah di Indonesia, melainkan juga diminati di negeri jihan, Malaysia.

Perubahan yang Elsa bawa menjadi angin segar yang menumbuhkan harapan masyarakat di sekitarnya. Kampung tempat Elsa berdiam kini dikenal sebagai Kampung Menjahit Maharrani.

Gerakan Sosial Maharrani Hijab

 

Gerakan sosial Maharrani bersama PT Astra Internasional (Foto : Elsa M)

Selain meningkatkan ekonomi masyarakat, Elsa juga memfasilitasi teamnya, terutama ibu-ibu,dengan mengadakan pelayanan kesehatan khusus ibu dan perempuan secara gratis.

Menyadari kebutuhan jasmani saja tidaklah cukup, secara rutin Elsa juga mengadakan pengajian-pengajian di rumahnya untuk meningkatkan kualitas ruhiyah mitranya.

Kegiatan sosial yang dilakukan Elsa tidak sebatas di lingkungan rumahnya saja, melainkan juga dengan mendirikan Rumah Quran Serambi Minang yang setidaknya menampung 200 santri mulai dari anak-anak hingga mahasiswa.

Menariknya, Elsa tidak hanya tergerak untuk memberdayakan ibu-ibu rumah tangga di sekitarnya, ia pun melangkah lebih jauh dengan merangkul kaum yang terbuang, yakni narapidana yang tengah menjalani masa hukuman.

Elsa ingin membangkitkan kembali harapan para narapidana dan mengembalikan harga diri mereka agar bisa bangkit saat kembalike tengah masyarakat dengan memberikan pekerjaan membuat pouch atau tas produk Maharrani dan masker.

Harapan Elsa, seiring meningkatnya omset penjualan MaharraniHijab, semakin banyak pula pouch-pouch yang dihasilkan narapidana, dan meningkat pula rasa percaya diri dan penghasilan mereka.

Atas dedikasinya ini, tidak heran jika Elsa mendapatkan berbagai penghargaan. Salah satunya meraih penghargaan SATU Indonesia Awards 2020. Sebagai bentuk apresiasi PT ASTRA Internasional bagi sosok-sosok muda yang gigih membawa perubahan positif bagi masyarakat di sekitarnya.

Barakallah, Kak Elsa.... Semoga Allah memberkahi rezekimu dan melapangkan urusan dunia dan akhiratmu. Aamiin...

 

 

Museum Geologi Bandung, Wisata Edukasi Murah Meriah

Museum Geologi Bandung, wisata edukasi murah meriah (dok.pri) Liburan  paling asyik jika diisi dengan acara jalan-jalan bareng keluarga. Ngg...