![]() |
Theresia Dwiaudina Sari Putri, Pejuang kesehatan ibu dan anak Desa uzuzozo (Foto : Instagram Theresia Dwiaudina) |
Setiap hari adalah hari baik
yang harus disongsong dengan penuh semangat dan rasa bahagia. Salah satunya
dengan membantu sesama. Menolong ibu-ibu yang melahirkan, mengobati pasien,
atau sekadar menyapa masyarakat di sepanjang jalan.
Adalah Theresia Dwiaudina
Sari Putri,yang menjalani hari-hari sebagai tenaga kerja kesehatan di desa
terpencil, Desa Uzuzozo, Kabupaten Ende, Nusa Tenggara Timur.
Berawal dari keinginan
ayahnya, yang menginginkan salah satu anaknya ada yang berkecimpung di dunia kesehatan.
Dinny, begitu nama panggilannya, memilih untuk meneruskan pendidikan ke Sekolah
Tinggi Ilmu Kesehatan di Surabaya.
Sebagai sulung dari empat
bersaudara, ia tentu tak ingin memberatkan orangtuanya. Mengingat biaya kuliah
di fakultas kedokteran sangat tinggi, dengan berbagai pertimbangan, ia
mengambil jurusan Kebidanan D3.
"Biaya kuliah di
kedokteran sangat mahal," tuturnya ketika melakukan wawancara langsung
dengan penulis.
Pilihan ini disesuaikan
dengan kemampuan ayahnya, Kanis Sari, yang berprofesi sebagai PNS, dan ibunya,
Herlin Kaleka, yang menjadi petani. Selain agar bisa cepat lulus, Dinny
menyadari keberadaan bidan amat diperlukan di daerahnya.
Kesungguhan Dinny menuntut
ilmu membuatnya lulus dengan cepat sesuai target. Selepas lulus kuliah di tahun
2016, Dinny memilih pulang dan menjadi tenaga kesehatan honorer di kampung
halamannya, Desa Kekandere, Nangapanda, Nusa Tenggara Timur. Meskipun pada saat
itu, ada tawaran untuk menjadi nakes di tempat ia praktik kerja lapangan saat
kuliah.
Dibayar
Seikhlasnya
Sudah menjadi rahasia umum,
biaya yang dikeluarkan saat menempuh pendidikan di bidang kesehatan amat tinggi,
tidak sebanding dengan honor yang ia terima saat bekerja di lapangan.
“Sebagai tenaga honorer di
sana, saya tidak dibayar. Kalau ada pekerjaan tertentu, baru dibayar. Itu pun
seikhlasnya,” ujarnya seperti yang dikutip dalam salah satu wawancara.
Dinny menyadari, hidup bukan
melulu tentang uang, ada nilai-nilai lain yang layak untuk diperjuangkan.
Karenanya Dinny tetap semangat menjalani hari-harinya sebagai nakes.Membantu
memeriksa dan mendata ibu hamil di desa-desa di sekitarnya, juga membantu memperbaiki
kesehatan masyarakat di sekitarnya.
Hingga akhirnya, di tahun
berikutnya pada tahun 2017, ia mendapatkan kesempatan menjadi bidan di Desa
Uzuzozo, sebuah desa terpencil yang sulit dijangkau dan enggan disinggahi oleh
nakes lainnya.
Sulitnya medan tempuh, dan
minimnya fasilitas kesehatan, menjadi tantangan tersendiri bagi Dinny. Sebagai
satu-satunya nakes yang bertugas di Desa Uzuzozo, ia hanya menerima gaji
bulanan sekitar 1 juta perbulan, namun ia tak menyerah.
“Saya tergerak ingin menjadi
bidan di sini untuk membantu masyarakat karena fasilitas yang minim, ditambah
dengan akses sulit ke faskes,” ujar gadis manis usia 28 tahun ini.
Bayangkan saja, hanya ada
satu faskes yang didirikan di sana. Sementara jarak tempuh antara faskes yang
didirikan di Desa Uzuzozo ke desa-desa lainnya sekitar 13-15 KM, dengan medan
yang sulit. Faskes itu pun hanya berupa bangunan kecil yang disebut puskesmas,
dengan fasilitas dan alat-alat kesehatan yang minim.
Tantangan
Sebagai Nakes di Daerah Terpencil
|
Bahkan saat tengah jalan
harus siap memberikan layanan kesehatan |
Desa Uzuzozo sendiri, baru
terbentuk pada tahun 2007. Merupakan desa terluar dan terbelakang di wilayah
selatan Kecamatan Nangapanda, Kabupaten Ende. Untuk memasuki desa tersebut,
harus melewati jalan setapak yang berbatu dan menanjak, juga menuruni Lembah
dan melewati sungai kecil.
Begitu ekstrim medan tempuh
yang harus dilalui Dinny, namun itu tak menyurutkan langkahnya. Dengan
mengendarai motor, Dinny tetap menyapa masyarakat untuk membina kesehatan.
Meskipun berprofesi sebagai
bidan, lingkup kerja Dinny tidak hanya terbatas pada kesehatan ibu dan anak,
namun ia juga aktif memberikan penyuluhan dan
meningkatkan kepedulian masyarakat tentang pentingnya menjaga
kesehatan pribadi dan lingkungan.
Hingga tidak mengherankan
jika dalam kesehariannya ia kerap dimintai tolong untuk memeriksa kesehatan dan
memberi obat, meskipun saat sedang di jalan. Ia pun tak segan-segan mengunjungi
rumah pasien-pasien yang sedang sakit dan sulit untuk berobat langsung di
puskesmas.
Sulitnya medan tempuh menuju
puskesmas, membuat kesadaran masyarakat dalam menjaga kesehatan, khususnya ibu
hamil, amat rendah. Mereka enggan memeriksakan diri ke bidan, dan lebih
mempercayai dukun beranak untuk membantu proses melahirkan.
Dinny, sebagai lulusan baru
dari sekolah kesehatan menemukan tantangan lain untuk menguji keteguhannya.
Bisakah ia menerapkan ilmu yang diperolehnya dengan susah payah, dan membuka
wawasan orang-orang di sekitarnya?
Berkolaborasi
dengan Dukun Beranak
|
||
|
Ia amat menyadari tingginya kepercayaan masyarakat terhadap dukun beranak. Dari 10 ibu hamil, 9 orang memilih dukun beranak untuk membantu proses melahirkan. Ia masihlah orang baru yang belum mendapat tempat di hati ibu-ibu hamil. Alih-alih diterima, ia malah mendapat cibiran.
Dinny tak patah hati. Ia
tetap mengedukasi ibu-ibu hamil tentang pentingnya melahirkan di faskes.
Menggunakan motor kesayangan, ia berkeliling tak kenal lelah untuk memeriksa
kondisi ibu-ibu hamil. Baik melalui wawancara, pemeriksaan fisik ibu hamil dan memeriksa
kadar HB dalam darah.
Ia pun amat memahami
pentingnya peran dukun beranak yang sudah eksis puluhan tahun di kampungnya.
Tak ingin menimbulkan perselisihan yang tak perlu, Dinny memilih untuk
bekerjasama dengan dukun beranak. Untuk memudahkan langkahnya, mula-mula ia
mengunjungi dukun beranak senior yang sangat berpengaruh, yaitu Theresia Jija
yang sudah berusia 76 tahun saat ini.
Dinny melakukan pendekatan
dengan menanyakan kondisi kesehatan ibu-ibu hamil yang menjadi pasien Jija. Ia
tidak secara frontal menyalahkan tindakan-tindakan yang dilakukan Jija,
meskipun itu bisa berdampak bagi ibu hamil, seperti pijatan perut yang dilakukan
pada ibu hamil.
Ia memilih pendekatan halus,
dengan menyarankan kepada Jija agar memberikan pijatan di sekitar pinggang,
untuk memberikan perasaan nyaman pada ibu hamil dan menghindari komplikasi pada
janin.
Ia pun meminta dukun beranak
untuk bersama-sama menangani proses melahirkan. Dinny menangani ibu melahirkan,
dan dukun menangani anak saat dilahirkan. Kerjasama ini meringan kerja dukun
beranak tanpa menutup mata pencahariannya.
Kolaborasi ini juga salah
satu cara Dinny untuk mengedukasi tanpa menggurui. Ia mengenalkan sarung
tangan, dan perlengkapan lainnya untuk membantu menekan angka kematian ibu
melahirkan. Sejauh ini belum ada kasus ibu melahirkan yang meninggal.
Berbagai macam pengalaman di
lapangan dialami Dinny. Ia pernah ditelpon dini hari untuk membantu ibu yang
sudah mengalami kontraksi di desa yang jauh dari kediamannya.
Meski sudah bergegas
menggunakan mobil pick up dari puskesmas, karena kondisi yang kritis, dengan
menggunakan alat-alat kesehatan yang selalu dibawanya, Dinny terpaksa
membantu proses melahirkan di tengah perjalanan. Di tepi Sungai, dengan beralas
terpal dan cahaya gawai yang dibawa, Dinny berjuang menyelamatkan pasiennya.
Pengalaman-pengalaman seru
seperti ini menambah pengalaman batin Dinny. Ia semakin termotivasi untuk
mengedukasi pentingnya pemeriksaan kehamilan pada ibu-ibu hamil sejak awal.
Untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan.
Mendapatkan
penghargaan SATU Indonesia Awards 2023 dari PT. ASTRA Internasional di Bidang
Kesehatan
|
Selain kegiatan rutin bulanan memeriksa ibu-ibu hamil, Dinny juga giat menurunkan angka stunting yang sangat tinggi di desanya. Pola makan yang buruk sebagai salah satu pemicu tingginya angka stunting.
Untuk menekan kondisi
tersebut, selain mengedukasi para ibu, tentang pentingnya memberikan makanan
yang baik dan sehat tiga kali sehari, Dinny juga menggunakan anggaran desa
untuk memberikan makanan sehat berupa bubur kacang hijau dll kepada anak-anak
yang datang ke posyandu.
Pejuangan Dinny membuahkan
hasil yang membahagiakan. Itu dapat dilihat dari meningkatnya kepercayaan ibu
hamil terhadap faskes dan memilih faskes untuk membantu proses melahirkan. Juga
dengan menurunnya angka stunting yang dialami anak-anak di sana.
Maka tidak heran, jika PT
ASTRA Internasional memberikan apresiasi berupa penghargaan SATU Indonesia
Awards kepada Theresia Dwiaudina Sari Putri, sebagai pemenang di ajang
bergengsi yang diperuntukkan bagi kaum muda yang berprestasi dan memberikan
kontribusi positif bagi bangsa dan masyarakat.
Harapan Dinny
Ketika diwawancarai Dinny
mengungkapkan harapannya, “Harapannya semoga masih terus ada perhatian dari
lintas-lintas terkait untuk cangkupan pelayanan kesehatan di desa-desa
terpencil. Apalagi sekarang fokusnya ada pada kesehatan ibu dan anak. Jadi
kalau bisa usaha yang kecil-kecil di komunitas yang kecil agar tercapai cakupan
yang lebih besar agar tercapai kesejahteraan ibu dan anak. Perhatiannya lebih
banyak lagi pada desa terpencil.”
Selamat ya, Dinny.
Perjuangan masih panjang. Jangan kenal lelah memberikan yang terbaik bagi sesama.
Semangat…!