Jumat, 20 Oktober 2023

Elsa Maharrani, Memberdayakan Ibu-Ibu Rumah Tangga Melalui Menjahit

 

Elsa Maharrani, memberdayakan ibu rumah tangga melalui menjahit (foto : Elsa M)


Berwirausaha bukanlah hal yang baru bagi Elsa Maharrani, perempuan kelahiran Padang , 5 Maret 1990. Terlahir sebagai anak kedua dari 10 bersaudara, membuat Elsa berpikir untuk segera mandiri. Ia ingin kuliah dengan biaya sendiri. Tak ingin memberatkan orangtuanya yang bekerja sebagai PNS.

Karena itu semenjak menjadi mahasiswa di Fakultasi Kesehatan Masyarakat Universitas Andalas, ia memutuskan untuk berjualan. Dengan mengusung konsep palugada (apa yang lu mau, gue ada) perlahan sosok Elsa tumbuh menjadi sosok wirausaha muda yang tangguh dan pandai membaca peluang pasar.

Pengalaman berjualan ini terus tumbuh dalam jiwanya, mengalir di nadinya. Ia menikmati jatuh bangun usaha yang dijalaninya. Begitupun setelah menikah. Ia tetap mencoba merintis berbagai jenis usaha. Sehingga akhirnya memilih menjual produk muslimah dengan brand-brand ternama dari Jakarta.

 Lahirnya Brand Maharrani Hijab

Lahirnya Maharrani Hijab tak lepas dari dukungan suami Elsa (Foto : Elsa Maharrani)

Setelah cukup lama menjual produk brand-brand ternama, pada tahun 2019 Elsa memutuskan untuk memproduksi sendiri busana-busana muslimah dengan mengangkat khasanah cara berpakaian wanita muslimah minang, seperti baju kurung, basiba dll. Keinginannya ini mendapat dukungan penuh dari suaminya, Fajri Gufran Zainal.

Ia pun mulai memasarkan produk Maharrani Hijab, brand yang diambil dari nama Elsa sendiri. Produk yang mementingkan kualitas jahitan, bahan serta desain yang menarik ini segera mendapat sambutan hangat dari pasar yang dibidik Elsa, yaitu kelas menengah yang memiliki penghasilan baik.

Dari usaha yang awalnya hanya dengan satu penjahit, kini berkembang hingga 60 orang yang menjadi team Maharrani Hijab. Dari mulai desain, pemotong, penjahit dan lain-lainnya. Mulai dari tamatan SD hingga sarjana S2 menjadi bagian dari team Maharrani Hijab.

Visi dan Misi Maharrani Hijab

Memberdayakan ibu-ibu rumah tangga dengan menjahit (Foto : Elsa M)

Setiap usaha pastilah memiliki tantangan tersendiri. Pun demikian dengan Elsa. Sebagai wirausahawati muda, ibu dari Faguza Abdullah dan Anisa Dini Zakiyah ini pun menghadapi berbagai kendala dalam mengembangkan bisnisnya. Beruntung Elsa memiliki suami yang selalu mensuport, bahkan turut membangun konsep usaha yang dimiliki Elsa.

“Setiap ada kendala,  saya kembalikan ke misi dan visi utama, yaitu menjadi manusia yang bermanfaat bagi banyak orang. Jadi kalau ada masalah, ya kembalikan lagi ke visi utama tadi yaitu Alloh,” tuturnya pada penulis.

Diawali dengan visi dan misi ini, Elsa kemudian menggerakkan ibu-ibu rumah tangga di sekitar rumahnya untuk menjadi mitranya. Ibu-ibu rumah tangga yang  bisa menjahit, namun  tidak berpenghasilan tetap mulai tertarik untuk menjadi mitra penjahit.

Dengan menjadi mitra jahit,  mereka menerima orderan menjahit yang diberikan Elsa dan bisa dikerjakan di rumah. Selain bisa mengerjakan orderan di sela waktu luang,  juga memiliki kesempatan mendapatkan penghasilan yang lumayan, bahkan bisa di atas UMR Kota Padang, sesuai dengan banyaknya baju yang bisa mereka jahit setiap harinya.

Sementara ibu-ibu yang tidak memiliki kemampuan menjahit, pelan-pelan mulai tertarik untuk belajar menjahit. Ketekunan mereka akan membuat kemampuan mereka meningkat dengan sendirinya, sehingga bisa menjadi mitra jahit.

Untuk menentukan kualitas dan kelayakan hasil jahitan mereka, Elsa turun tangan langsung mengecek dan memutuskan, apakah  mereka sudah bisa atau belum, menerima orderan menjahit gamis, mukena, hijab dan aneka produk Maharrani Hijab.

Wirausaha yang ditekuni Elsa ini membawa perubahan positif bagi lingkungan di sekitarnya. Terutama di masa pandemi lalu, saat banyak tulang punggung yang kehilangan pekerjaan, namun orderan menjahit meningkat. Otomatis menambah pemasukan bagi keluarga mitra jahit.

Produk Maharrani Hijab dengan desain-desain cantik dan bahan pilihan ini tidak hanya digemari di berbagai wilayah di Indonesia, melainkan juga diminati di negeri jihan, Malaysia.

Perubahan yang Elsa bawa menjadi angin segar yang menumbuhkan harapan masyarakat di sekitarnya. Kampung tempat Elsa berdiam kini dikenal sebagai Kampung Menjahit Maharrani.

Gerakan Sosial Maharrani Hijab

 

Gerakan sosial Maharrani bersama PT Astra Internasional (Foto : Elsa M)

Selain meningkatkan ekonomi masyarakat, Elsa juga memfasilitasi teamnya, terutama ibu-ibu,dengan mengadakan pelayanan kesehatan khusus ibu dan perempuan secara gratis.

Menyadari kebutuhan jasmani saja tidaklah cukup, secara rutin Elsa juga mengadakan pengajian-pengajian di rumahnya untuk meningkatkan kualitas ruhiyah mitranya.

Kegiatan sosial yang dilakukan Elsa tidak sebatas di lingkungan rumahnya saja, melainkan juga dengan mendirikan Rumah Quran Serambi Minang yang setidaknya menampung 200 santri mulai dari anak-anak hingga mahasiswa.

Menariknya, Elsa tidak hanya tergerak untuk memberdayakan ibu-ibu rumah tangga di sekitarnya, ia pun melangkah lebih jauh dengan merangkul kaum yang terbuang, yakni narapidana yang tengah menjalani masa hukuman.

Elsa ingin membangkitkan kembali harapan para narapidana dan mengembalikan harga diri mereka agar bisa bangkit saat kembalike tengah masyarakat dengan memberikan pekerjaan membuat pouch atau tas produk Maharrani dan masker.

Harapan Elsa, seiring meningkatnya omset penjualan MaharraniHijab, semakin banyak pula pouch-pouch yang dihasilkan narapidana, dan meningkat pula rasa percaya diri dan penghasilan mereka.

Atas dedikasinya ini, tidak heran jika Elsa mendapatkan berbagai penghargaan. Salah satunya meraih penghargaan SATU Indonesia Awards 2020. Sebagai bentuk apresiasi PT ASTRA Internasional bagi sosok-sosok muda yang gigih membawa perubahan positif bagi masyarakat di sekitarnya.

Barakallah, Kak Elsa.... Semoga Allah memberkahi rezekimu dan melapangkan urusan dunia dan akhiratmu. Aamiin...

 

 

Minggu, 15 Oktober 2023

Alvinia Christiany,dkk Membangun Jembatan Asa bagi Anak Autis

Alvinia Christiany, Membangun jembatan asa bagi anak autis (Foto : IG Teman Autis)

 

Minimnya informasi tentang autis di awal tahun 2000-an,  membuat saya memantapkan hati membawa Rofa  ke klinik tumbuh kembang di kota. Menempuh jarak yang lumayan jauh, demi mengikis kekhawatiran bahwa anak saya menderita autis.

Kekhawatiran ini muncul melihat tumbuh kembang si adik yang berbeda dengan kedua kakaknya. Ia tak mau bicara, enggan menatap mata orang yang diajak bicara, selalu menyendiri dan menyusun mobil-mobilan dengan urutan yang teratur. Ia seolah memiliki dunia sendiri dan nyaman berada di dalamnya.

Setelah konsultasi dengan dua dokter spesialis dan psikolog, alhamdulillah, ternyata anak saya hanya mengalami keterlambatan bicara, delay speech. Bukan autis, seperti kekhawatiran saya. Namun demikian, Rofa tetap harus menjalani terapi wicara.

Untuk mengejar ketinggalan tumbuh kembangnya, secara rutin saya membawa Rofa ke klinik tumbuh kembang dua kali dalam sepekan untuk menjalani terapi wicara dan terapi motorik. Di klinik itulah saya melihat langsung anak-anak yang menderita autisme.

Anak-anak yang fisiknya tumbuh pesat namun terjebak dalam dunianya sendiri. Tak mau bicara, tak mau berinteraksi dengan anak-anak lainnya dan sering tantrum saat merasa terganggu atau keinginannya tak dipenuhi.

Tidak sedikit anak-anak penyandang autisme juga merupakan anak-anak down syndrome. Kondisi inilah yang menyulitkan anak-anak itu tumbuh dan berkembang. Butuh waktu yang sangat panjang hanya untuk sebuah pencapaian kecil.

Anak-anak yang menjalani terapi di klinik tumbuh kembang hanyalah sedikit dari sekian banyak penyandang autisme yang berada di tengah masyarakat. Mereka beruntung memiliki orangtua yang peduli pada proses tumbuh kembang anaknya.

Bukan hanya memiliki kepedulian, orangtua mereka juga MAMPU  secara materi, mengeluarkan biaya untuk menjalani terapi-terapi yang tidak murah dalam waktu yang panjang.

Sayangnya, jauh lebih banyak anak-anak penyandang autisme yang tidak mendapatkan kasih sayang dari lingkungan terdekat,  sarana terapi yang dibutuhkan. Alih-alih dipedulikan, anak-anak autisme tumbuh tersisih di masyarakat dan dianggap memiliki gangguan jiwa.

Padahal, autisme merupakan gangguan neurologis, bukan penyakit. Dengan kebutuhan dan penanganan yang berbeda-beda. Namun, masyarakat cenderung melekatkan stigma negatif bagi penyandang autisme.

Stigma buruk ini terus tumbuh di tengah masyarakat. Tak jarang autis menjadi istilah untuk meledek orang lain. “Dasar autis!” “Autis lu, gak mau gaul.” Dsb.

Kondisi ini menumbuhkan rasa prihatin dalam diri Alvinia Christiany, Ratih Hadiwinoto, dan Jessica Christina. Mereka ingin mengubah stigma buruk yang terlanjur melekat pada anak-anak penyandang autisme dengan memberikan informasi yang benar pada masyarakat tentang autisme.

Light It Up Project

Light It Up Fun Walk di Car Free Day Sudirman (Foto : IG Teman Autis)

 

Untuk meningkatkan kesadaran dan kepedulian masyarakat, mereka membentuk komunitas Light It Up Project, dan menggelar dua kegiatan yaitu  Light It Up Fun Walk yang diadakan tanggal 30 Juli 2017 di Car Free Day Sudirman, dan Light It Up Gathering tanggal 10 Maret 2018 di Jakarta Selatan.

Meski harus merogoh kocek sendiri untuk pendanaan kegiatan komunitas, Alvinia dan teman-teman merasa terhibur melihat antusias masyarakat saat kegiatan itu berlangsung dan menumbuhkan harapan besar bagi Alvinia dkk.

Untuk memberikan kontribusi yang lebih besar dan nyata bagi penyandang autisme, Ratih yang menggagas Light It Up Project  menyusun ulang konsep komunitas, sehingga lahirlah  Teman Autis pada tahun 2018 dengan misi, visi dan kontribusi yang lebih jelas bagi masyarakat luas.

Teman Autis Menjalin Mitra dengan Berbagai Lembaga

 

Teman Autis bermitra dengan banyak lembaga  (Foto : IG Teman Autis)

Lahirnya Teman Autis ini menjadi jembatan komunikasi dan jalur informasi terintegrasi  yang tepercaya terkait autisme. Baik bagi orang tua dan pendamping anak autis, juga para ahli di bidangnya.

Teman Autis hadir dalam wujud website di alamat www.temanautis.com yang menyajikan berbagai informasi tepercaya tentang autisme.  Melalui website ini diharapkan masyarakat Indonesia, khususnya orang tua dan pendamping anak autis semakin meningkat kesadaran dan kepedulian terhadap autis.

Dalam perkembangannya, Teman Autis tidak saja menyajikan informasi mengenai autisme, melainkan juga memberikan dukungan dengan cara memberikan pelayanan diagnosa autisme dan konseling daring. Salah satunya dengan menyediakan platform yang mempertemukan klinik/fasilitas penunjang dengan orang tua dan anak autis.

Saat ini ada kurang lebih 100 lembaga yang menjadi mitra Teman Autis dan informasinya ditampilkan di website.  Mulai dari sekolah,tempat terapi, klinik dan komunitas yang menerima penangan anak autis.

Teman Autis, Jembatan bagi Orangtua dan Tenaga Ahli

 

Teman Autis membangun asa anak autis (Foto : IG Teman Autis)

Kehadiran Teman Autis ini tentunya memudahkan orang tua yang memiliki anak autis untuk memilih lokasi tempat terapi terdekat dari rumahnya, dan melakukan konseling daring dengan tenaga ahli di bidangnya.

Dengan adanya fasilitas konseling daring yang dikembangkan oleh Teman Autis, orangtua dan ahli dapat berkomunikasi terkait penanganan anak autis untuk mendapatkan informasi dan solusi yang dibutuhkan secara tepat dan cepat.

Untuk memudahkan masyarakat luas mencari informasi dan kegiatan-kegiatan yang sesuai dengan proses tumbuh kembang buah hatinya, Teman Autis hadir di Instagram dengan akun @Teman Autis.

Meraih SATU Indonesia Award 2022

 

Alvinia Christiany, meraih penghargaan SATU Indonesia Awards 2022 (Foto : ASTRA)

Kontribusi  Alvinia, dkk  dalam mengubah stigma negatif anak-anak autis di masyarakat mendapat perhatian dari PT Astra Internasional dengan memberikan penghargaan SATU Indonesia Award 2022. Penghargaan ini diberikan bagi kaum muda, baik secara pribadi maupun kelompok,  yang membawa perubahan yang lebih baik bagi masyarakat, bangsa dan negara.

Alvinia berharap dengan penghargaan yang berikan ini memudahkan Teman Autis menjalin kerjasama dan berkolaborasi dengan banyak mitra di seluruh Indonesia, sehingga bisa memberi manfaat dan menjangkau seluas-luasnya masyarakat.

Diharapkan dengan kolaborasi yang terjalin, anak-anak autis bisa tumbuh dan berkembang secara maksimal bersama orang tua atau pendampingnya. Dan kesadaran masyarakat tentang autisme tersebar ke seluruh lapisan masyarakat.

Good Job, Alviani!

 

 

 

.

Senin, 09 Oktober 2023

Risna Hasanudin, Merajut Asa Perempuan dan Anak-anak di Tanah Papua

 

Risna Hasanudin, Merajut Asa Perempuan dan Anak-anak di Tanah Papua (Foto : IG Risna Hasanudin)

Papua selalu memiliki daya tarik tersendiri bagi Risna Hasanudin, seorang pejuang literasi yang memilih untuk concern pada dunia pendidikan dan perempuan, khususnya di Papua.

Ketertarikan Risna pada Papua berawal dari kegiatannya sebagai aktivis organisasi intra kampus, dimana Papua sering menjadi tema diskusi, karena banyak sekali konflik dan masalah yang terjadi di Papua.

“Saya punya keinginan sederhana waktu itu, untuk melihat Papua dengan cara yang berbeda,” tuturnya kepada penulis saat diwawancarai, Kamis 5 Oktober 2023.

Keinginannya ini terealisasi ketika seorang teman kuliah yang mengetahui aktivitasnya sebagai aktivis kampus, memberikan link untuk mengikuti tes program PSP3 (Pemuda Penggerak Sarjana di Pedesaan) dari Kementerian Pemuda dan Olahraga. Alhamdulillah, lolos dan ditempatkan di desa Kobrey, Manokwari Selatan.

Ketika menjejakkan langkah di tanah Papua, ia mulai menyadari, ekspektasinya semasa kuliah dan diskusi-diskusi panjang yang diikutinya berbalik 180 derajat.

“Ternyata konflik yang terjadi banyak dan sangat kompleks dan tidak semenyeramkan yang dikatakan. Sekali pun memang ada berbagai kondisi yang mengharuskan kita ekstra hati-hati dalam berkegiatan dan beraktivitas,” jelasnya kemudian.

Relawan asal Banda Naira, Maluku, 1 Oktober 1988 ini menceritakan, meski pun konflik yang terjadi di Papua sangat banyak dan kompleks, namun di daerah penempatannya, desa Kobrey, Manokwari Selatan yang menempati posisi kepala burung di pulau Papua, konflik antara masyarakat adat dan pemerintah tidak nampak.

Salah satu konflik yang sering terjadi adalah ketika ada gelombang penerimaan ASN, mereka tidak bisa memenuhi syarat karena tingkat pendidikan yang rendah. Karena selama ini mereka memandang rendah dan tidak mementingkan pendidikan formal, sehingga kalah bersaing dengan para pendatang.

Faktor yang menyebabkan masyarakat Papua tidak mementingkan pendidikan formal berasal dari faktor internal dan ekternal. Misalnya budaya patriaki yang mewajibkan perempuan untuk tidak mengenyam bangku sekolah. Sementara faktor eksternal, kondisi pendidikan yang tidak konseptual dan selaras dengan kondisi Papua.  

Kondisi ini menyebabkan masyarakat Papua, khususnya kaum perempuan mengalami kesulitan saat mengikuti kegiatan-kegiatan di desa. Mereka tidak bisa membaca, menulis, berhitung, bahkan tidak bisa membuat tanda tangan sendiri.

Sebagai sarjana lulusan FKIP Universitas Pattimura Maluku, Risna memilih pendidikan dan perempuan sebagai batu loncatan perjuangannya di Papua. Ia ingin memberikan pengetahuan sesuai kebutuhan mereka. Seperti membuat tanda tangan, dan mengajari mama-mama membaca Alkitab, dan berhitung.

Tentunya bukan hal yang mudah bagi Risna untuk memulainya. Mengingat tingginya kecurigaan penduduk setempat kepada pendatang dan rendahnya dukungan terhadap pendidikan, khususnya perempuan, juga tingkat keamanan yang rendah, membuat Risna perlu memikirkan strategi yang matang.

Setelah memahami kondisi di lapangan, Risna meminta diri kepada teman-teman sesama relawan PSP3, untuk berbaur di tengah-tengah masyarakat. Ia kemudian meminta izin kepada kepala desa, untuk tinggal di rumah penduduk, bukan di sekretariat Dispora lagi.

Berbaur, Merajut Asa Perempuan dan Anak-anak di Tanah Papua

Berbaur, merajut asa di tanah Papua ( Foto : IG Risna Hasanudin)

 

Berbaur menjadi pilihan Risna agar dapat menyentuh hati perempuan-perempuan Papua. Tekatnya semakin kuat saat menyadari banyaknya pernikahan dini yang diikuti tingginya tingkat kematian ibu dan anak, serta angka stunting. Kurang gizi.

“Saya sering mengajak ngobrol dan mereka kan suka ngobrol. Mendengarkan curhat-curhat, apa saja yang mereka rasakan soal ilmu pengetahuan. Saya posisinya hanya mendengar saja apa yang mereka ceritakan tanpa mencela apa yang mereka kerjakan dan utarakan,” ujarnya.

Perempuan yang tetap mengenakan hijab dalam menjalani aktivitasnya ini juga menjelaskan bahwa selain mengajak mengobrol, makan dan minum kopi bersama, ia pun kerap turun ke kebun saat panen tiba, seperti  saat panen coklat.

Kebiasaan setempat yang sering mengadakan pesta dan makan-makan pun menjadi ajang untuk bersosialisasi dan berbaur. Mereka menghormati keberadaannya dengan menyediakan makanan halal yang bisa dimakannya.

Risna pun tak segan-segan membantu saat mereka membutuhkan pertolongan, tanpa bayaran, seperti mengetik permohonan bantuan-bantuan  di kantor bupati.  

Mendirikan  Rumah Cerdas Perempuan Arfak 

Risna Hasanudin, membangun Rumah Cerdas Perempuan Arfak (Foto: IG Risna Hasanudin)

 

Akhirnya setelah berhasil meraih hati mama-mama dan anak-anak di desa Kobrey, September 2014,  Risna mendirikan rumah belajar (Rumah Cerdas Perempuan Arfak Papua Barat ). Konsentrasi utamanya adalah mengajarkan membaca, menulis, dan berhitung.

Ia mendirikan PAUD, mengajari anak-anak membaca peta dan sejarah Indonesia. Selama 2 tahun Risna menjalankan program PSP3, kemudian lanjut tanpa sokongan pemerintah selama 2 tahun, 3 tahun kemudian melibatkan LSM.

Ia mengembangkan program pada layanan publik pendidikan dan mutu  pendidikan, terutama satuan pendidikan PAUD/TK, SD, SMP, SMA, juga tenaga pendidikan. Karena ada daerah-daerah tertentu yang kekurangan guru, guru yang jarang mengajar dan masyarakat yang pola pikirnya masih rendah terkait masalah pendidikan.

Selain itu ia memberikan pelatihan tentang usaha kecil, untuk meningkatkan kesejahteraan keluarga sekaligus melestarikan budaya asli Papua dalam merajut noken. Program ini diberi nama Rumah Cerdas Komunitas Perempuan Arfak (RCKPA) pada tahun 2019. 

Berdirinya Rumah Noken

 

Hasil kreativitas Rumah Noken (Foto : IG Risna Hasanudin)

Sejak tahun tahun 2019, hingga saat ini, Risna fokus pada literasi perempuan dan pangan. Konflik yang berawal di Surabaya hingga menimbulkan kerusuhan di Papua, membuatnya harus berhati-hati saat berinteraksi dengan mahasiswa saat itu.

Ia mengajak mahasiswa untuk ngobrol dan ngopi, terjun langsung ke asrama mahasiswa untuk mendengarkan suara hati mereka, juga memberikan bantuan nonlitigasi terhadap mahasiswa yang membutuhkan bantuan hukum,seperti pengacara, serta bantuan moral.

Dengan para mahasiswa inilah, Risna kemudian membangun kegiatan-kegiatan kepemudaan tentang sosial budaya, pangan, perempuan dan konservasi.

Kolaborasi dengan mahasiswa ini kemudian mengembangkan program-program RCKPA menjadi Rumah Noken, agar bisa menjadi wadah yang bisa merangkul semua komunitas perempuan Papua berbagai suku dengan memberdayakan para pengrajut noken. Lalu membantu menyalurkan hasil kreativitas pengrajut noken ke NGO.

NGO sendiri, sebagaimana yang kita ketahui, merupakan organisasi nirlaba dengan basis kepentingan sipil dan lingkungan, yang beroperasi secara independen tanpa adanya campur tangan pemerintah, untuk melayani kebutuhan sosial masyarakat.

“Saya ingin menonjolkan sisi identitas kebudayaan mereka agar tidak hilang. Dan bagian kampanye kami soal penggunaan kantong sampah yang ramah lingkungan,” jelasnya kemudian.

Meski pun awal perjuangannya cukup berat, karena karakter budaya setempat yang gemar berpesta dan menganggap rendah pendidikan, namun ia berhasil menjalankan program-program yang telah dicanangkannya, hingga saat ini, memasuki 8 tahun masa perjuangan. Dan hingga saat ini, ia masih berada di Papua. 

Meraih SATU Indonesia Awards 2015

Risna Hasanudin, raih penghargaan SATU Indonesia Awards 2015 di bidang Pendidikan (Foto : Ig Risna Hasanudin) 


Keberhasilan program yang dijalankan Risna tak lepas dari kedekatan yang dilakukannya kepada mama-mama dan anak-anak Papua. Hal ini terlihat jelas di laman media sosial, Instagram, yang kerap diunggah Risna.

Ia tidak saja berhasil menghapus buta baca tulis  dan memberdayakan perempuan Papua, namun juga menjadikan dirinya sebagai bagian dari masyarakat setempat.

Maka tak mengherankan jika Risna didaulat menjadi salah satu peraih penghargaan SATU Indonesia Awards 2015, di bidang Pendidikan,  yang diberikan oleh PT. Astra Internasional, kepada pemuda yang berhasil membawa perubahan bagi masyarakat.

Barakallah Risna, semoga semua lelah dan peluhmu menjadi jalan meraih ridho Illahi. Bukankah ketika kita mencintai dan menyayangi yang ada di bumi, maka yang di langit pun akan menyayangi dan mencintai kita? 

 

Museum Geologi Bandung, Wisata Edukasi Murah Meriah

Museum Geologi Bandung, wisata edukasi murah meriah (dok.pri) Liburan  paling asyik jika diisi dengan acara jalan-jalan bareng keluarga. Ngg...