Senin, 09 Oktober 2023

Risna Hasanudin, Merajut Asa Perempuan dan Anak-anak di Tanah Papua

 

Risna Hasanudin, Merajut Asa Perempuan dan Anak-anak di Tanah Papua (Foto : IG Risna Hasanudin)

Papua selalu memiliki daya tarik tersendiri bagi Risna Hasanudin, seorang pejuang literasi yang memilih untuk concern pada dunia pendidikan dan perempuan, khususnya di Papua.

Ketertarikan Risna pada Papua berawal dari kegiatannya sebagai aktivis organisasi intra kampus, dimana Papua sering menjadi tema diskusi, karena banyak sekali konflik dan masalah yang terjadi di Papua.

“Saya punya keinginan sederhana waktu itu, untuk melihat Papua dengan cara yang berbeda,” tuturnya kepada penulis saat diwawancarai, Kamis 5 Oktober 2023.

Keinginannya ini terealisasi ketika seorang teman kuliah yang mengetahui aktivitasnya sebagai aktivis kampus, memberikan link untuk mengikuti tes program PSP3 (Pemuda Penggerak Sarjana di Pedesaan) dari Kementerian Pemuda dan Olahraga. Alhamdulillah, lolos dan ditempatkan di desa Kobrey, Manokwari Selatan.

Ketika menjejakkan langkah di tanah Papua, ia mulai menyadari, ekspektasinya semasa kuliah dan diskusi-diskusi panjang yang diikutinya berbalik 180 derajat.

“Ternyata konflik yang terjadi banyak dan sangat kompleks dan tidak semenyeramkan yang dikatakan. Sekali pun memang ada berbagai kondisi yang mengharuskan kita ekstra hati-hati dalam berkegiatan dan beraktivitas,” jelasnya kemudian.

Relawan asal Banda Naira, Maluku, 1 Oktober 1988 ini menceritakan, meski pun konflik yang terjadi di Papua sangat banyak dan kompleks, namun di daerah penempatannya, desa Kobrey, Manokwari Selatan yang menempati posisi kepala burung di pulau Papua, konflik antara masyarakat adat dan pemerintah tidak nampak.

Salah satu konflik yang sering terjadi adalah ketika ada gelombang penerimaan ASN, mereka tidak bisa memenuhi syarat karena tingkat pendidikan yang rendah. Karena selama ini mereka memandang rendah dan tidak mementingkan pendidikan formal, sehingga kalah bersaing dengan para pendatang.

Faktor yang menyebabkan masyarakat Papua tidak mementingkan pendidikan formal berasal dari faktor internal dan ekternal. Misalnya budaya patriaki yang mewajibkan perempuan untuk tidak mengenyam bangku sekolah. Sementara faktor eksternal, kondisi pendidikan yang tidak konseptual dan selaras dengan kondisi Papua.  

Kondisi ini menyebabkan masyarakat Papua, khususnya kaum perempuan mengalami kesulitan saat mengikuti kegiatan-kegiatan di desa. Mereka tidak bisa membaca, menulis, berhitung, bahkan tidak bisa membuat tanda tangan sendiri.

Sebagai sarjana lulusan FKIP Universitas Pattimura Maluku, Risna memilih pendidikan dan perempuan sebagai batu loncatan perjuangannya di Papua. Ia ingin memberikan pengetahuan sesuai kebutuhan mereka. Seperti membuat tanda tangan, dan mengajari mama-mama membaca Alkitab, dan berhitung.

Tentunya bukan hal yang mudah bagi Risna untuk memulainya. Mengingat tingginya kecurigaan penduduk setempat kepada pendatang dan rendahnya dukungan terhadap pendidikan, khususnya perempuan, juga tingkat keamanan yang rendah, membuat Risna perlu memikirkan strategi yang matang.

Setelah memahami kondisi di lapangan, Risna meminta diri kepada teman-teman sesama relawan PSP3, untuk berbaur di tengah-tengah masyarakat. Ia kemudian meminta izin kepada kepala desa, untuk tinggal di rumah penduduk, bukan di sekretariat Dispora lagi.

Berbaur, Merajut Asa Perempuan dan Anak-anak di Tanah Papua

Berbaur, merajut asa di tanah Papua ( Foto : IG Risna Hasanudin)

 

Berbaur menjadi pilihan Risna agar dapat menyentuh hati perempuan-perempuan Papua. Tekatnya semakin kuat saat menyadari banyaknya pernikahan dini yang diikuti tingginya tingkat kematian ibu dan anak, serta angka stunting. Kurang gizi.

“Saya sering mengajak ngobrol dan mereka kan suka ngobrol. Mendengarkan curhat-curhat, apa saja yang mereka rasakan soal ilmu pengetahuan. Saya posisinya hanya mendengar saja apa yang mereka ceritakan tanpa mencela apa yang mereka kerjakan dan utarakan,” ujarnya.

Perempuan yang tetap mengenakan hijab dalam menjalani aktivitasnya ini juga menjelaskan bahwa selain mengajak mengobrol, makan dan minum kopi bersama, ia pun kerap turun ke kebun saat panen tiba, seperti  saat panen coklat.

Kebiasaan setempat yang sering mengadakan pesta dan makan-makan pun menjadi ajang untuk bersosialisasi dan berbaur. Mereka menghormati keberadaannya dengan menyediakan makanan halal yang bisa dimakannya.

Risna pun tak segan-segan membantu saat mereka membutuhkan pertolongan, tanpa bayaran, seperti mengetik permohonan bantuan-bantuan  di kantor bupati.  

Mendirikan  Rumah Cerdas Perempuan Arfak 

Risna Hasanudin, membangun Rumah Cerdas Perempuan Arfak (Foto: IG Risna Hasanudin)

 

Akhirnya setelah berhasil meraih hati mama-mama dan anak-anak di desa Kobrey, September 2014,  Risna mendirikan rumah belajar (Rumah Cerdas Perempuan Arfak Papua Barat ). Konsentrasi utamanya adalah mengajarkan membaca, menulis, dan berhitung.

Ia mendirikan PAUD, mengajari anak-anak membaca peta dan sejarah Indonesia. Selama 2 tahun Risna menjalankan program PSP3, kemudian lanjut tanpa sokongan pemerintah selama 2 tahun, 3 tahun kemudian melibatkan LSM.

Ia mengembangkan program pada layanan publik pendidikan dan mutu  pendidikan, terutama satuan pendidikan PAUD/TK, SD, SMP, SMA, juga tenaga pendidikan. Karena ada daerah-daerah tertentu yang kekurangan guru, guru yang jarang mengajar dan masyarakat yang pola pikirnya masih rendah terkait masalah pendidikan.

Selain itu ia memberikan pelatihan tentang usaha kecil, untuk meningkatkan kesejahteraan keluarga sekaligus melestarikan budaya asli Papua dalam merajut noken. Program ini diberi nama Rumah Cerdas Komunitas Perempuan Arfak (RCKPA) pada tahun 2019. 

Berdirinya Rumah Noken

 

Hasil kreativitas Rumah Noken (Foto : IG Risna Hasanudin)

Sejak tahun tahun 2019, hingga saat ini, Risna fokus pada literasi perempuan dan pangan. Konflik yang berawal di Surabaya hingga menimbulkan kerusuhan di Papua, membuatnya harus berhati-hati saat berinteraksi dengan mahasiswa saat itu.

Ia mengajak mahasiswa untuk ngobrol dan ngopi, terjun langsung ke asrama mahasiswa untuk mendengarkan suara hati mereka, juga memberikan bantuan nonlitigasi terhadap mahasiswa yang membutuhkan bantuan hukum,seperti pengacara, serta bantuan moral.

Dengan para mahasiswa inilah, Risna kemudian membangun kegiatan-kegiatan kepemudaan tentang sosial budaya, pangan, perempuan dan konservasi.

Kolaborasi dengan mahasiswa ini kemudian mengembangkan program-program RCKPA menjadi Rumah Noken, agar bisa menjadi wadah yang bisa merangkul semua komunitas perempuan Papua berbagai suku dengan memberdayakan para pengrajut noken. Lalu membantu menyalurkan hasil kreativitas pengrajut noken ke NGO.

NGO sendiri, sebagaimana yang kita ketahui, merupakan organisasi nirlaba dengan basis kepentingan sipil dan lingkungan, yang beroperasi secara independen tanpa adanya campur tangan pemerintah, untuk melayani kebutuhan sosial masyarakat.

“Saya ingin menonjolkan sisi identitas kebudayaan mereka agar tidak hilang. Dan bagian kampanye kami soal penggunaan kantong sampah yang ramah lingkungan,” jelasnya kemudian.

Meski pun awal perjuangannya cukup berat, karena karakter budaya setempat yang gemar berpesta dan menganggap rendah pendidikan, namun ia berhasil menjalankan program-program yang telah dicanangkannya, hingga saat ini, memasuki 8 tahun masa perjuangan. Dan hingga saat ini, ia masih berada di Papua. 

Meraih SATU Indonesia Awards 2015

Risna Hasanudin, raih penghargaan SATU Indonesia Awards 2015 di bidang Pendidikan (Foto : Ig Risna Hasanudin) 


Keberhasilan program yang dijalankan Risna tak lepas dari kedekatan yang dilakukannya kepada mama-mama dan anak-anak Papua. Hal ini terlihat jelas di laman media sosial, Instagram, yang kerap diunggah Risna.

Ia tidak saja berhasil menghapus buta baca tulis  dan memberdayakan perempuan Papua, namun juga menjadikan dirinya sebagai bagian dari masyarakat setempat.

Maka tak mengherankan jika Risna didaulat menjadi salah satu peraih penghargaan SATU Indonesia Awards 2015, di bidang Pendidikan,  yang diberikan oleh PT. Astra Internasional, kepada pemuda yang berhasil membawa perubahan bagi masyarakat.

Barakallah Risna, semoga semua lelah dan peluhmu menjadi jalan meraih ridho Illahi. Bukankah ketika kita mencintai dan menyayangi yang ada di bumi, maka yang di langit pun akan menyayangi dan mencintai kita? 

 

Kamis, 05 Oktober 2023

Triana Rahmawati, Pendamping Orang Dengan Masalah Kejiwaan

Triana Rahmawati, Pendamping Orang Dengan Masalah Kejiwaan  (Foto : IG Triana Rahmawati)

 

Tak mudah menjalani hidup menjadi orang dengan masalah kejiwaan (ODMK). Stigma buruk yang melekat, membuat mereka tersisih dalam kehidupan. Mereka layaknya sampah yang mengganggu pemandangan. Kondisi ini membuat Triana Rahmawati prihatin.  

Dalam sebuah wawancara bersama Republika, Jumat (6/1/2023), ia menyebutkan, bahwa sebagai anak sosiologi, yang berdekatan dengan rumah sakit jiwa dan tempat-tempat rehabilitasi, muncul keinginan dari dalam hatinya untuk berkontribusi bagi orang lain, sebagai orang yang belajar sosiologi.

Gadis kelahiran Palembang, 15 Juli 1992 ini  amat menyadari, ia tidak mungkin mewujudkan keinginannya untuk berbagi kasih dan kepedulian kepada ODMK seorang diri, hasilnya tidak akan maksimal. Maka ia pun bersama teman-temannya memulainya dengan mengikuti Program Kreativitas Mahasiswa-Pengabdian Masyarakat UNS.

Mereka mengabdi pada Griya PMI dan menginisiasi untuk melakukan pendampingan ODMK. Sepekan 3-4 kali mereka mengunjungi dan berinteraksi dengan ODMK di Griya PMI. Mulanya hanya 10 relawan yang terlibat, jumlah itu terus bertambah, sehingga menjadi 50 relawan yang bergabung untuk mendampingi ODMK.

Mendirikan Griya Schizofren

 

Peduli ODMK dengan memberikan pendampingan (Foto: IG Triana Rahmawati)

Hingga akhirnya, pada Oktober 2014, Tria dan teman-temannya mendirikan Griya Schizofren, sebagai oase bagi penderita ODMK di tengah ketidakpedulian masyarakat terhadap keberadaan mereka.

Griya Schizofren, lahir dari kegelisahannya melihat kenyataan semakin meningginya angka orang yang mengalami gangguan kejiwaan, namun tidak diimbangi dengan meningkatnya kepedulian masyarakat, bahkan keluarga, terhadap ODMK.

Griya adalah sebuah wadah atau  rumah bagi pemuda atau relawan  yang memiliki kepedulian terhadap orang-orang yang hidup dengan gangguan kejiwaan. Sedangkan Schizofren merupakan singkatan Social, Humanity and Friendly.

Dengan mendirikan Griya Schizofren ini, Tria, dkk,  memberikan ruang interaksi untuk masyarakat di luar ODMK  dengan ODMK. Menjadi sarana bagi orang-orang, terlebih pemuda, untuk memberikan perhatian dan kasih sayang yang tulus kepada ODMK.

Ia amat memahami stigma negatif yang melekat pada ODMK, dan menganggap mereka gila. Mengedukasi masyarakat sebagai salah satu gerakan kepedulian yang dilakukan Tria, agar masyarakat lebih terbuka dan peduli terhadap ODMK di sekitar mereka.

“ODMK dengan masalah kejiwaan apa pun, mereka hanya butuh ditemani,” ujarnya. Bahkan ada satu keluarga yang menitipkan anggota keluarganya yang ODMK, hanya agar ODMK tersebut bisa beraktivitas dan memiliki teman. Agar kesehatan mental penderita ODMK dapat berangsur membaik.

Bagi Tria, mendampingi para ODMK merupakan panggilan hati. Selain itu membutuhkan kesabaran dan keikhlasan tersendiri. Sejauh ini, sudah ada 200 ODMK yang terjaring, baik dari dalam maupun luar kota Solo. Banyaknya jumlah ODMK ini tentunya memerlukan relawan pendamping dalam jumlah yang berimbang.

Pendampingan ini dilakukan dengan mengadakan kegiatan di antaranya dengan melakukan aktivitas mengobrol,bernyanyi, menggambar, origami, sholat berjamaah, atau berbuka puasa saat Ramadhan.

Peran Pemuda bagi ODMK

 

Triana Rahmawati, mendampingi ODMK (Foto : IG Triana Rahmawati)

Griya Schizofren merangkul berbagai kalangan, khususnya pemuda untuk turut berpartisipasi dalam kepedulian terhadap sesama ini. Karena ada tiga poin penting yang dimiliki oleh para pemuda agar bisa membawa perubahan yang lebih baik bagi lingkungan, masyarakat dan negara.

Tiga poin penting yang dimiliki para pemuda, yaitu :

Bio power

Dengan memiliki  bio power  ini pemuda bisa terus bergerak, berinovasi, berkontribusi dan berdaya guna.

Self leadership

Pemuda harus mau berjalan, menjadi penggerak dan memimpin

Skill adaptif

Pemuda memiliki kemampuan beradaptasi yang baik sehingga bisa berkembang dan menciptakan peluang-peluang yang lebih baik untuk masa depan.

Seiring waktu, gerakan kepedulian terhadap ODMK Tria memberikan dampak positif yang signifikan terhadap lingkungan. Maka tak heran ia pun terpilih sebagai salah satu peraih penghargaan  Semangat Astra Terpadu Untuk (SATU) Indonesia Awards 2017.

Penghargaan ini merupakan salah satu bentuk apresiasi PT Astra Internasional, untuk generasi muda, baik individu maupun kelompok, yang memiliki kepeloporan dan melakukan perubahan untuk berbagi dengan masyarakat sekitarnya di berbagai bidang.

Seperti bidang Kesehatan, Pendidikan,Lingkungan, Kewirausahaan, dan Teknologi, serta satu kategori kelompok yang mewakili lima bidang tersebut.

Selamat Tria...

Teruslah berbagi kasih dan peduli. Teruslah bergerak dan menginspirasi!

 

Referensi :

republika.com

SATU Indonesia

Sabtu, 30 September 2023

SRI IRDAYATI, Mencetak Generasi Milyuner Masa Depan

 

Sri Irdayati, mencetak generasi milyuner masa depan (Foto : viva.co.id)

Jika ada orang yang terinspirasi dari salah satu tokoh kartun, maka salah satu diantaranya adalah Sri Irdayati. Sumber inspirasinya adalah Richie Rich, tokoh kartun anak kaya raya putra milyuner Amerika Serikat yang cerdas mengelola saham, namun tak kehilangan masa kanak-kanaknya. 

Ketika itu, sebagai mahasiswa Jurusan Manajemen Fakultas Ekonomi Universitas Diponegoro, Semarang, Jawa Tengah, ia pun menyadari bahwa status suatu negara di mata dunia tergantung kepada kondisi ekonomi masyarakat di negara tersebut. Negara disebut maju, atau tertinggal, tergantung pendapatan perkapita masyarakatnya. 

Kondisi ini tentu tak lepas dari perkembangan dunia usaha. Semakin banyak peluang usaha yang tercipta, maka kondisi ekonomi masyarakat akan semakin membaik. Yang menjadi tantangan, apakah masyarakat siap meraih atau, bahkan, menciptakan peluang bisnis? 

Menurut Irda, demikian perempuan kelahiran Pemangkat, 6 Juli 1985 ini disebut, masa kanak-kanak merupakan masa yang tepat untuk mengenalkan dunia usaha kepada anak. Dengan mengenal dunia usaha sejak dini, anak akan berkembang menjadi pribadi yang mandiri, tidak tergantung kepada sempitnya lapangan kerja yang tersedia kelak. 

Maka ia pun mulai mengenalkan dan menawarkan program pendidikan kewirausahaan pada sekolah-sekolah dasar, namun sayangnya hampir seluruh sekolah menolak program tersebut. Dengan alasan, bahwa anak-anak belum pantas mengenal bisnis, dan harus fokus belajar, agar tidak menjadi matre. 

Meski demikian Irda menolak untuk menyerah. “Dunia usaha dan manajemen perlu diajarkan meski kepada siswa sekolah dasar,” ujarnya. Ia ingin anak-anak Indonesia lebih percaya diri dan memahami dunia usaha sejak dini. Bersama tiga temannya, Irda membawa konsep dan idenya pada ajang lomba Innovatif Entrepreneurship Challenge pada tahun 2007 yang diadakan di ITB, Bandung. 

Ide mendapat apresiasi dari tim juri hingga meraih juara 1 dan mendapatkan hadiah sebesar 15 juta Berbekal kemenangan tersebut, serta serta surat yang dikeluarkan rektorat UNDIP, Irda dan kawan-kawan semakin giat menawarkan program kewirausahaan ke sekolah-sekolah. 

Dalam pelatihan kewirausahaan pada anak-anak usia sekolah dasar ini, Irda tidak hanya mengenalkan konsep usaha, melainkan melibatkan anak-anak sejak awal merintis usaha.

Sebagai contoh, ketika ia menyiapkan sebuah usaha manik-manik, ia meminta peserta didik untuk membeli bahan, membuat produk, memikirkan strategi pemasaran dan menjual produk tersebut. Selanjutnya menghitung keuntungan dalam neraca keuangan. 

Diskusi-diskusi dalam pelatihan menjadi ajang untuk mengeluarkan ide dan mengajarkan anak didik untuk lebih kritis dan pandai mempertimbangkan penting tidaknya mengeluarkan modal untuk suatu barang. 

Dengan pelatihan di masa kanak-kanak ini, ia berharap anak-anak didiknya akan tumbuh menjadi pebisnis yang tangguh, pantang menyerah dan selalu inovatif. Yang dilakukan Irda adalah mengubah minset satu generasi, yaitu mencetak milyuner-milyuner masa depan yang bermanfaat bagi diri sendiri, keluarga, lingkungan masyarakat sekitar dan negara. 

Ini tentu bukan perjalanan yang mudah dan singkat, melainkan memerlukan waktu yang amat panjang. 

Mencetak Generasi Milyuner Masa Depan

Sri Irdayati, mencetak generasi milyuner masa depan (Foto : SATU Indonesia)

Demi kelangsungan idenya, pasca lulus kuliah, ia memboyong ide tersebut dengan membuka kelas bisnis di rumah kontrakannya bersama suami, yang berlokasi di Kelurahan Kelapa Gading Barat, Kelapa Gading, Jakarta Utara. 

Ia membuka kelas bisnis gratis untuk anak-anak usia sekolah dasar. Agar anak-anak asuhnya bersemangat dan memiliki minset positif, ia pun menggunakan predikat BOS, Bakal Orang Sukses, kepada mereka. 

Dengan bimbingan serta energi positif yang selalu disalurkan pada anak asuh, harapannya kelak membawa kemajuan pada perekonomian bangsa. Meski pun belum terlihat dalam dekat, namun dalam jangka panjang, saat anak-anak asuhnya beranjak dewasa, mereka memiliki kemandirian finansial dan memberikan kontribusi positif bagi masyarakat. 

Adalah hal yang pantas, jika kegigihan Irda mengantarkannya sebagai penerima apresiasi SATU Indonesia Awards 2010. Astra concern terhadap aksi generasi muda yang mampu membawa perubahan menuju hal baik bagi masyarakat sekitarnya. 

Semoga langkah baik Irda menjadi inspirasi bagi kita untuk memberikan kontribusi bagi bangsa dan negara melalui hal-hal baik yang dapat kita lakukan dalam bermasyarakat.

Minggu, 24 September 2023

Ratna Indah Kurniawati, Jangan Ada Kusta di Antara Kita

 

Ratna Indah Kurniawati, jangan ada kusta di antara kita (foto : dok. Ratna Indah) 

Tak seorang pun ingin mengalami penyakit kusta. Penyakit yang disebabkan oleh Mycrobacterium Leprae ini tidak hanya bisa menyebabkan penyitasnya mengalami cacat tubuh, melainkan juga menghancurkan rasa percaya diri dan kesempatan untuk menjalani kehidupan yang normal sebagai manusia.

Sayangnya, penyakit kusta ini banyak menyerang  negara beriklim tropis, termasuk Indonesia. Dari data Kementrian Kesehatan tahun 2012 menunjukkan bahwa masih ada 14 provinsi di Indonesia yang belum berhasil melakukan eliminasi kusta. Di Jawa Timur, misalnya, jumlah kasus kusta baru pada tahun 2012 mencapai angka 4.807 jiwa.

Tingginya angka tersebut salah satunya adalah dikarenakan pola hidup masyarakat yang kurang memperhatikan sanitasi atau kesehatan lingkungan, juga pengabaian masyarakat terhadap gejala awal penyakit kusta.

Bercak pada kulit merupakan gejala awal kusta yang kerap diabaikan. (Foto : dok. Ratna Indah) 


Hal ini dituturkan oleh pakar kesehatan kulit Fakultas Kedokteran UGM, Prof HardyantoSoebono, Sp.KK(K) kepada Liputan Berita Universitas Gajah Mada (26/1/2015), “Kebanyakan datang sudah terlambat, mengalami kecacatan maupun kelumpuhan syaraf. Mereka tidak tahu kalau terkena lepra. Dikira hanya kurap atau panu saja.”

Pada tahap awal kusta memang hanya ditandai dengan munculnya kelainan warna kulit, lalu kulit akan mengalami penonjolan, mati rasa dan mudah terluka, namun tidak mengalami rasa sakit. Pada kondisi lanjut, penyitas kusta bisa mengalami cacat anggota tubuh tanpa mengalami rasa sakit.

Kondisi ini terasa mengerikan, ditambah minimnya informasi yang sampai kepada masyarakat. Sebagai tenaga kesehatan yang bertugas di Puskesmas Grati Pasuruan,  Ratna Indah Kurniawati,  amat memahami stigma buruk dan penolakan masyarakat terhadap penyitas kusta.

“Meski penyebaran kusta melalui pernapasan, namun penularan kusta mengalami masa inkubasi selama 2 tahun. Tergantung daya tahan tubuh. Jika gejala awal langsung diobati, maka penyitas kusta sudah dinyatakan aman.”ujarnya dalam sebuah wawancara di stasiun TV swasta.

Namun, tidak mudah mengubah stigma buruk yang sudah terlanjur melekat di masyarakat. Penyitas kusta tetap dianggap bagian yang harus disingkirkan keberadaannya di tengah masyarakat.

Jangan Ada Kusta di Antara Kita

Ratna Indah Kurniawati mengobati dan memberdayakan penyitas kusta (dok. Ratna Indah) 


Berawal dari rasa prihatin melihat penolakan masyarakat terhadap penyitas kusta, pengucilan keluarga, juga hilangnya rasa percaya diri yang dialami penyitas kusta, membuat Ratna bertekad untuk mengubah kondisi tersebut.

Ratna tidak hanya memberikan penyuluhan kepada masyarakat, baik untuk mencegah, mengenali gejala dini serta mengobati pasien kusta. Ia pun memberikan motivasi, pendampingan, serta memberikan kesempatan untuk mengembangkan potensi diri melalui komunitas Kelompok Perawatan Diri (KPD) yang dibentuknya.

Kegiatan ini tidak berjalan mulus tentunya. Penolakan demi penolakan dialami saat memperjuangkan hak penyitas kusta agar dapat kembali ke tengah masyarakat. Penolakan dari masyarakat terlihat jelas saat Ratna menggunakan fasilitas umum untuk mengadakan pertemuan.  

Penolakan juga datang dari penyitas kusta sendiri, yang sudah terlanjur kehilangan rasa percaya diri. Sikap masyarakat dan stigma yang melekat, membuat mereka malu untuk kembali berbaur. Mereka merasa tidak memiliki nilai di tengah masyarakat.  

Penolakan paling berat bagi Ratna, adalah saat suaminya sendiri, Miftahul Ulum, memintanya memilih antara pekerjaan (sebagai tenaga kesehatan yang bertugas mendampingi penyitas kusta) atau keluarga (karena mengkhawatirkan dua buah hati mereka).

Ratna Indah Kurniawati memberikan informasi kepada masyarakat dalam berbagai kesempatan. (Foto. Dok. Ratna Indah) 


Tanpa mengenal lelah, perempuan kelahiran 23 April 1980 ini melakukan pendekatan dari rumah ke rumah. Juga melalui pengajian dan pertemuan desa, untuk memberikan informasi yang benar tentang kusta yang harus mereka ketahui. Termasuk kepada keluarga dan suaminya sendiri.

Kesabarannya ini membuahkan hasil. Ratna mendapatkan dukungan penuh dari suami untuk tetap berkiprah dan memberikan pendampingan. Bahkan tak segan memberikan fasilitas pendukung agar penyitas kusta dapat kembali bangkit, baik secara mental, maupun ekonomi.

Berdaya secara ekonomi  dan sosial

Ratna Indah Kurniawati, tak lelah mengedukasi masyarakat  tentang penyakit kusta (Foto: dok. Ratna Indah) 


Tingginya angka penyitas kusta di wilayah Grati Pasuruan, menimbulkan masalah tersendiri jika tidak diberikan jalan untuk berdaya. Tercatat pada tahun 2010 saja sebanyak 400 pasien kusta yang ia tangani. Tidak cukup hanya melalui mendampingan untuk mengembalikan kesehatan fisik dan mental, melainkan harus diberi kesempatan untuk berdaya.

Ibu dari dua anak ini pun kemudian memberikan berbagai macam pelatihan. Dari 400 pasien kusta, ada 50 orang yang sudah mentas dan diberdayakan. Mulai dari menjahit, menyulam, ternak jangkrik, ternak ayam, dan kambing.


Bahkan, kini, ada beberapa mantan penderita kusta yang mandiri secara ekonomi dan memiliki mini pom bensin di beberapa tempat.

Kegigihan Ratna memperjuangkan hak penyitas kusta agar berdaya di masyarakat,  mendapat perhatian dari berbagai pihak. Hingga berbagai dukungan datang untuk membantu proses pemberdayaan ini.

Keinginan Ratna sangat sederhana, ia hanya ingin tak ada kusta di antara kita. Agar masyarakat tumbuh dan berkembang dengan iklim yang yang saling mendukung dan berdaya tanpa ada stigma buruk yang membayangi masyarakat.

Maka amat pantas jika Ratna mendapatkan penghargaan bergengsi sebagai Penerima Semangat ASTRA Terpadu Untuk (SATU) Indonesia 2011.

Semangat Ratna, untuk menciptakan hari-hari yang indah, hingga tak ada kusta di antara kita.


Referensi :

https://ugm.ac.id/id/berita/9668-kenali-kusta-sejak-dini/












Museum Geologi Bandung, Wisata Edukasi Murah Meriah

Museum Geologi Bandung, wisata edukasi murah meriah (dok.pri) Liburan  paling asyik jika diisi dengan acara jalan-jalan bareng keluarga. Ngg...