Tangan Monik bergerak lincah meronce
manik-manik yang berkilauan ditimpa sinar matahari pagi. Sementara mulutnya tak
henti menerangkan pada teman yang duduk paling dekat dengannya cara merangkai
manik-manik itu. Sesaat ia akan menikmati rasa kagum yang muncul di mata
teman-temannya. Lalu mendengarkan pujian tentang betapa terampilnya ia membuat
aneka gelang dan gantungan kunci. Namun itu hanya sesaat.
Ia tahu, mereka tak pernah menyukai
dirinya. Mereka hanya terpaksa mendengarkan kalimatnya demi kesopanan dan
menjaga perasaannya. Monik tahu itu. Ia bisa merasakan semua itu. Sebentar lagi
satu persatu temannya yang tadi bergerombol akan pamit. Pada akhirnya ia akan
duduk sendiri. Hanya sendiri saja, bersama kotak manik-maniknya.
“Sorry, Mon, aku ke kantin dulu ya.
Jangan lupa, gantungan kuncinya buat aku.” Pamit Febby sambil bergegas
meninggalkan Monik yang terus meronce. Monik mengangguk pelan. Ia sudah biasa
dengan semua itu.
Sekali waktu ia pernah bertanya pada
Febby, mengapa teman-teman menjauhi dan menghindarinya. Febby hanya mengatakan,
karena ia dianggap aneh. Ia menjadi anak aneh karena selalu membawa kotak
manik-manik kemana pun ia pergi. Ia dianggap aneh, karena ia tidak bisa pergi kemana-mana
tanpa pengawalan mama. Kecuali saat sekolah. Bahkan ketika study tour, mama
akan duduk di sebelahnya.
Monik menghela napas. Air mata
membayangi bola matanya. Ditatapnya gerombolan teman-teman sekolahnya yang
tertawa ceria. Mereka berkelompok-kelompok. Mereka tertawa bahagia. Kecuali
dirinya. Tiba-tiba ia merasa sunyi.
Perlahan ia membereskan kotak
manik-maniknya. Ia tak ingin terlihat semakin aneh bila menangis tanpa sebab.
Hanya ada satu ruangan yang akan memeluknya dan membuatnya damai. Bekas ruang
ekstrakurikuler PMR. Ia tak sengaja menemukan ruangan itu saat hendak mencari
seseorang. Sejak saat itu ia sering bersembunyi di sana bila ia ingin sendiri.
Akan tetapi kali ini ia keliru. Di dalam ruangan itu ada sosok bertubuh
jangkung yang tengah asyik menulis. Koko, desisnya dalam hati. Kenapa ketua
kelasnya itu ada di sini? Ia merasa heran sekaligus gugup. Ia memutuskan segera
berbalik ketika kotak manik-maniknya terjatuh dan berhasil membuat Koko
terlonjak kaget. Wajah Monik memerah.
“Maaf, Ko. Kupikir nggak ada
siapa-siapa di sini.” Dengan gugup Monik meminta maaf seraya memunguti
manik-maniknya yang berceceran di lantai. Perasaannya campur aduk terlebih
ketika Koko tersenyum maklum.
“Nggak apa-apa. Emang kamu biasa
menyendiri di sini ya?”ujar cowok berambut jambul itu. Ia menutup buku
catatannya dan langsung membantu Monik mengumpulkan manik-maniknya.”Kalo gitu
aku yang harus minta maaf karena membuatmu kaget.”
Monik menggelengkan kepalanya. Degup di
dadanya semakin kencang. Inginnya ia segera berlari meninggalkan ruangan itu.
Tapi itu tak mungkin. Tak mungkin ia pergi tanpa kotak manik-manik miliknya.
Dengan keringat yang berembun di ujung hidungnya, ia menabahkan hati menghadapi
cowok baik hati yang diam-diam mencuri perhatiannya sejak pertama bertemu.
Semakin banyak butiran manik yang
terkumpul semakin bertambah rasa percaya diri Monik. Pelahan ia perasaan nyaman
melingkupi dirinya. Dan ketika semua manik berhasil terkumpul, ia bisa menatap
wajah ganteng di hadapannya.
“Kamu mau aku buatkan gantungan kunci,
Ko?” tanyanya dengan mata penuh harap.
“Oh, mau dong. Kamu, kan, pintar membuat
gantungan kunci unik.” Senyum di wajah Koko membuat debur di dada Monik kian
kencang. Namun Monik bisa mengatasinya dengan meronce manik-manik. Kali ini
untuk Koko. Sesuatu menjadi gantungan kunci yang spesial, janji Monik dalam
hati.
*
Ternyata membuat gantungan kunci yang
spesial itu tak mudah. Berulang kali Monik membuat gantungan kunci, hasilnya
selalu biasa saja di matanya. Monik memang tak pernah mengurai lagi rangkaian
manik yang diikat benang nilon itu. Sebab itu di meja belajarnya kini dipenuhi
gantungan kunci aneka warna dan bentuk.
Menurut mama, gantungan kunci buatannya
itu bagus-bagus. Akan tetapi tak cukup bagus untuk Koko, bantah Monik dalam
hati, setiap kali mama berkomentar soal gantungan kunci yang terus bertambah
setiap hari.
Di sekolah pun setiap kali ada
kesempatan, ia akan menyendiri membuat gantungan kunci. Bila dulu ia masih
berusaha menyapa teman-temannya dan membuatkan mereka gantungaan kunci, pin,
atau gelang, kini ia disibukkan dengan membuat gantungan kunci untuk Koko.
Hal itu pula yang membuat ia -sebisa
mungkin- menghindari Koko. Agak sulit
tentunya mengingat mereka berada di kelas yang sama. Untungnya ia terbiasa
dianggap tidak ada di kelas. Kehadirannya atau ketidakhadirannya tak akan
mempengaruhi suasana kelas. Sehingga ia memutuskan
hanya ingin berbicara pada Koko bila gantungan kunci itu sudah selesai ia buat.
Sayangnya, meski sudah berhari-hari ia
belum juga berhasil membuat sesuatu yang spesial untuk Koko. Gantungan kunci
yang dibuatnya, selalu biasa-biasa saja di matanya.
Monik menatap gantungan kunci kesekian
yang telah selesai ia buat. Selalu saja ada yang terasa kurang. Lalu
pandangannya beralih ke arah kotak manik-manik. Ada perasaan kesal yang
menyeruak. Tidak pernah ia merasa sekesal ini. Ia telah membongkar tabungannya
untuk membeli berbagai manik. Bermacam-macam warna. Tetap saja ia merasa
manik-manik yang dimilikinya kurang banyak.
“Hai... kamu di sini ternyata.” Seruan
Febby mengagetkan Monik.
“Iiya... kamu mencari aku?”
“Iya, aku dan Koko mencari kamu.” Febby
menatap Monik dengan pandangan sungguh-sungguh.
Mendengar nama Koko disebut, Monik langsung
merasa gugup. Cepat-cepat ia mengambil satu butiran manik merah dan memasukkan
benang nilon ke dalam lubang di tengah butiran. Secercah cahaya memantul dan
menimbulkan kilau indah di mata Monik. Monik tersenyum ia sudah merasa tenang.
Jemarinya terus bergerak.
“Tumben mencariku. Ada apa sih?”
tanyanya santai.
Febby memperhatikan sejenak jari Monik
yang bergerak lincah, kemudian menjelaskan dengan bersemangat.
“Mon, sebentar lagi,kan, perayaan hari
besar.. Di sekolah kita akan ada bazar. Koko mengusulkan agar kelas kita
membuka stand khusus. Kamu dan teman-teman boleh menjual hasil kreativitas di
stand kelas, tetapi keuntungannya akan disumbangkan pada yayasan disabilitas.
Gimana?”
Tangan Monik tertahan. Ia terkejut
mendengar uraian Febby.
“Serius, Feb? Kamu dengar dari mana?”
Tangannya kembali bergerak.
Febby memonyongkan bibirnya.
“Kamu sih kabur-kaburan melulu setiap
jam kosong dan jam istirahat. Jadi kudet.”
Monik tertawa kecil.
“Jangan cuma senyum-senyum. Kamu setuju
enggak? Sayang kan kalo gantungan kunci dan segala macam pernik yang kamu buat
mubazir?”
Ingatan Monik melayang ke meja
belajarnya yang penuh dengan aneka gantungan kunci. Sesuatu melintasi
pikirannya.
“Kapan diadakan bazar?” tanyanya kemudian.
“Dua minggu lagi.” Jawab Febby. “Bisa?”
Monik menganggukkan kepalanya pelan.
**
Monik memasukkan gantungan kunci
terakhirnya ke dalam kotak dengan perasaan puas. Tak sia-sia selama dua minggu
ini ia bekerja keras membuat gantungan kunci. Ia memang gagal membuat gantungan
kunci spesial untuk Koko. Sebagai gantinya ia membuatkan 1000 buah gantungan
kunci yang akan disumbangkannya untuk acara bazar di sekolahnya.
Ia membayangkan ekspresi terkejut di
wajah cowok yang berdiam di relung hatinya itu. Ia tahu, ia tak mungkin bisa
bersama Koko. Di sana sudah ada Febby yang diam-diam selalu Koko pandang dengan
tatapan penuh arti. Ia juga pernah
menemukan selembar kertas yang tertinggal di ruang ekskul, ruang tempat ia
menemukan Koko yang tengah serius menulis. Kertas yang telah mengungkapkan
perasaan terdalam Koko pada Febby. Kenyataan pahit yang membuatnya kesulitan
meronce gantungan kunci spesial untuk Koko, meski pun ia telah berusaha
sungguh-sungguh.
Monik menarik napas dalam-dalam. Ada
rasa lega setelah sekian lama ia mencoba mengingkari kenyataan itu. Mengingkari
rasa nyeri yang menghunjam setiap kali ingatannya melayang pada cowok bermata
teduh itu.
Namun ada sebuah alasan lain yang ia tutup
rapat-rapat. Sebuah rahasia yang menghantui seumur hidupnya.
Monik memejamkan mata, mengusir kabut
yang membayangi bola matanya. Setitik air jatuh menimpa kotak manik-manik yang
telah kosong. Sesaat Monik merasa gamang. Tubuhnya terasa amat letih. Pikirannya
mendadak kosong. Pelahan kesadarannya pun lesap.
Ketika membuka mata, dilihatnya kerut di
kening mama bertambah dalam. Meski tersenyum, ia tahu, mama mencoba
menyembunyikan kesedihan terdalamnya.
“Aku kambuh lagi ya, Ma?”
Mama menggangguk pelan.
Mata Monik berkabut. Epilepsi. Serupa
hantu yang membayangi kehidupannya. Membuat ia merasa tak pantas untuk siapa pun.
Termasuk Koko. Sekuat tenaga ia menahan air matanya agar tak tumpah di depan
mama. Mama menggenggam tangannya erat.
“Jadilah gadis kuat, Nak. Mama yakin,
kamu bisa. Sebab hidup tak pernah bertambah mudah. Tapi kamu akan jadi
pemenangnya.”
Airmata Monik pun luruh. Akan tetapi di
dalam dadanya sebentuk hati baru telah terbentuk, jauh lebih kuat dari
sebelumnya. Tamat.