Selasa, 15 Oktober 2024

Theresia Dwiaudina Sari Putri, Pejuang Kesehatan Ibu dan Anak dari Desa Uzuzozo

 

Theresia Dwiaudina Sari Putri, Pejuang kesehatan ibu dan anak Desa uzuzozo
 (Foto : Instagram Theresia Dwiaudina)

Setiap hari adalah hari baik yang harus disongsong dengan penuh semangat dan rasa bahagia. Salah satunya dengan membantu sesama. Menolong ibu-ibu yang melahirkan, mengobati pasien, atau sekadar menyapa masyarakat di sepanjang jalan.

Adalah Theresia Dwiaudina Sari Putri,yang menjalani hari-hari sebagai tenaga kerja kesehatan di desa terpencil, Desa Uzuzozo, Kabupaten Ende, Nusa Tenggara Timur.

Berawal dari keinginan ayahnya, yang menginginkan salah satu anaknya ada yang berkecimpung di dunia kesehatan. Dinny, begitu nama panggilannya, memilih untuk meneruskan pendidikan ke Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan di Surabaya.

Sebagai sulung dari empat bersaudara, ia tentu tak ingin memberatkan orangtuanya. Mengingat biaya kuliah di fakultas kedokteran sangat tinggi, dengan berbagai pertimbangan, ia mengambil jurusan Kebidanan D3.

"Biaya kuliah di kedokteran sangat mahal," tuturnya ketika melakukan wawancara langsung dengan penulis.

Pilihan ini disesuaikan dengan kemampuan ayahnya, Kanis Sari, yang berprofesi sebagai PNS, dan ibunya, Herlin Kaleka, yang menjadi petani. Selain agar bisa cepat lulus, Dinny menyadari keberadaan bidan amat diperlukan di daerahnya.

Kesungguhan Dinny menuntut ilmu membuatnya lulus dengan cepat sesuai target. Selepas lulus kuliah di tahun 2016, Dinny memilih pulang dan menjadi tenaga kesehatan honorer di kampung halamannya, Desa Kekandere, Nangapanda, Nusa Tenggara Timur. Meskipun pada saat itu, ada tawaran untuk menjadi nakes di tempat ia praktik kerja lapangan saat kuliah.

 

Dibayar Seikhlasnya

 



Memberikan layanan kesehatan bagi siapa saja yang membutuhkan
(Foto : Instagram Theresia Dwiaudina)

Sudah menjadi rahasia umum, biaya yang dikeluarkan saat menempuh pendidikan di bidang kesehatan amat tinggi, tidak sebanding dengan honor yang ia terima saat bekerja di lapangan.

“Sebagai tenaga honorer di sana, saya tidak dibayar. Kalau ada pekerjaan tertentu, baru dibayar. Itu pun seikhlasnya,” ujarnya seperti yang dikutip dalam salah satu wawancara.

Dinny menyadari, hidup bukan melulu tentang uang, ada nilai-nilai lain yang layak untuk diperjuangkan. Karenanya Dinny tetap semangat menjalani hari-harinya sebagai nakes.Membantu memeriksa dan mendata ibu hamil di desa-desa di sekitarnya, juga membantu memperbaiki kesehatan masyarakat di sekitarnya.

Hingga akhirnya, di tahun berikutnya pada tahun 2017, ia mendapatkan kesempatan menjadi bidan di Desa Uzuzozo, sebuah desa terpencil yang sulit dijangkau dan enggan disinggahi oleh nakes lainnya.

Sulitnya medan tempuh, dan minimnya fasilitas kesehatan, menjadi tantangan tersendiri bagi Dinny. Sebagai satu-satunya nakes yang bertugas di Desa Uzuzozo, ia hanya menerima gaji bulanan sekitar 1 juta perbulan, namun ia tak menyerah.

“Saya tergerak ingin menjadi bidan di sini untuk membantu masyarakat karena fasilitas yang minim, ditambah dengan akses sulit ke faskes,” ujar gadis manis usia 28 tahun ini.

Bayangkan saja, hanya ada satu faskes yang didirikan di sana. Sementara jarak tempuh antara faskes yang didirikan di Desa Uzuzozo ke desa-desa lainnya sekitar 13-15 KM, dengan medan yang sulit. Faskes itu pun hanya berupa bangunan kecil yang disebut puskesmas, dengan fasilitas dan alat-alat kesehatan yang minim.

 

Tantangan Sebagai Nakes di Daerah Terpencil

 



Bahkan saat tengah jalan harus siap memberikan layanan kesehatan
(Foto : Instagram Theresia Dwiaudina)

Desa Uzuzozo sendiri, baru terbentuk pada tahun 2007. Merupakan desa terluar dan terbelakang di wilayah selatan Kecamatan Nangapanda, Kabupaten Ende. Untuk memasuki desa tersebut, harus melewati jalan setapak yang berbatu dan menanjak, juga menuruni Lembah dan melewati sungai kecil.

Begitu ekstrim medan tempuh yang harus dilalui Dinny, namun itu tak menyurutkan langkahnya. Dengan mengendarai motor, Dinny tetap menyapa masyarakat untuk membina kesehatan.

Meskipun berprofesi sebagai bidan, lingkup kerja Dinny tidak hanya terbatas pada kesehatan ibu dan anak, namun ia juga aktif memberikan penyuluhan dan meningkatkan  kepedulian masyarakat tentang pentingnya menjaga kesehatan pribadi dan lingkungan.

Hingga tidak mengherankan jika dalam kesehariannya ia kerap dimintai tolong untuk memeriksa kesehatan dan memberi obat, meskipun saat sedang di jalan. Ia pun tak segan-segan mengunjungi rumah pasien-pasien yang sedang sakit dan sulit untuk berobat langsung di puskesmas.

Sulitnya medan tempuh menuju puskesmas, membuat kesadaran masyarakat dalam menjaga kesehatan, khususnya ibu hamil, amat rendah. Mereka enggan memeriksakan diri ke bidan, dan lebih mempercayai dukun beranak untuk membantu proses melahirkan.

Dinny, sebagai lulusan baru dari sekolah kesehatan menemukan tantangan lain untuk menguji keteguhannya. Bisakah ia menerapkan ilmu yang diperolehnya dengan susah payah, dan membuka wawasan orang-orang di sekitarnya?

 

Berkolaborasi dengan Dukun Beranak

 

Tak lelah mengedukasi ibu hamil dan anak-anak saat posyandu
 (Foto : Instagram Theresia Dwiaudina)

 

Menurunkan angka stunting pada anak-anak dan pemberian imunisasi di Desa Uzuzozo
 (Foto : Instagram Theresia Dwiaudina)


Ia amat menyadari tingginya kepercayaan masyarakat terhadap dukun beranak. Dari 10 ibu hamil, 9 orang memilih dukun beranak untuk membantu proses melahirkan. Ia masihlah orang baru yang belum mendapat tempat di hati ibu-ibu hamil. Alih-alih diterima, ia malah mendapat cibiran.

Dinny tak patah hati. Ia tetap mengedukasi ibu-ibu hamil tentang pentingnya melahirkan di faskes. Menggunakan motor kesayangan, ia berkeliling tak kenal lelah untuk memeriksa kondisi ibu-ibu hamil. Baik melalui wawancara, pemeriksaan fisik ibu hamil dan memeriksa kadar HB dalam darah.

Ia pun amat memahami pentingnya peran dukun beranak yang sudah eksis puluhan tahun di kampungnya. Tak ingin menimbulkan perselisihan yang tak perlu, Dinny memilih untuk bekerjasama dengan dukun beranak. Untuk memudahkan langkahnya, mula-mula ia mengunjungi dukun beranak senior yang sangat berpengaruh, yaitu Theresia Jija yang sudah berusia 76 tahun saat ini.

Dinny melakukan pendekatan dengan menanyakan kondisi kesehatan ibu-ibu hamil yang menjadi pasien Jija. Ia tidak secara frontal menyalahkan tindakan-tindakan yang dilakukan Jija, meskipun itu bisa berdampak bagi ibu hamil, seperti pijatan perut yang dilakukan pada ibu hamil.

Ia memilih pendekatan halus, dengan menyarankan kepada Jija agar memberikan pijatan di sekitar pinggang, untuk memberikan perasaan nyaman pada ibu hamil dan menghindari komplikasi pada janin.

Ia pun meminta dukun beranak untuk bersama-sama menangani proses melahirkan. Dinny menangani ibu melahirkan, dan dukun menangani anak saat dilahirkan. Kerjasama ini meringan kerja dukun beranak tanpa menutup mata pencahariannya.

Kolaborasi ini juga salah satu cara Dinny untuk mengedukasi tanpa menggurui. Ia mengenalkan sarung tangan, dan perlengkapan lainnya untuk membantu menekan angka kematian ibu melahirkan. Sejauh ini belum ada kasus ibu melahirkan yang meninggal.

Berbagai macam pengalaman di lapangan dialami Dinny. Ia pernah ditelpon dini hari untuk membantu ibu yang sudah mengalami kontraksi di desa yang jauh dari kediamannya.

Meski sudah bergegas menggunakan mobil pick up dari puskesmas, karena kondisi yang kritis, dengan menggunakan alat-alat kesehatan yang selalu dibawanya,  Dinny terpaksa membantu proses melahirkan di tengah perjalanan. Di tepi Sungai, dengan beralas terpal dan cahaya gawai yang dibawa, Dinny berjuang menyelamatkan pasiennya.

Pengalaman-pengalaman seru seperti ini menambah pengalaman batin Dinny. Ia semakin termotivasi untuk mengedukasi pentingnya pemeriksaan kehamilan pada ibu-ibu hamil sejak awal. Untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan.

 

Mendapatkan penghargaan SATU Indonesia Awards 2023 dari PT. ASTRA Internasional di Bidang Kesehatan

 


Tak disangka mendapatkan anugrah SATU IndonesiaAwards dari PT. ASTRA
(Foto : Instagram Theresia Dwiaudina)

Selain kegiatan rutin bulanan memeriksa ibu-ibu hamil, Dinny juga giat menurunkan angka stunting yang sangat tinggi di desanya.  Pola makan yang buruk sebagai salah satu pemicu tingginya angka stunting.

Untuk menekan kondisi tersebut, selain mengedukasi para ibu, tentang pentingnya memberikan makanan yang baik dan sehat tiga kali sehari, Dinny juga menggunakan anggaran desa untuk memberikan makanan sehat berupa bubur kacang hijau dll kepada anak-anak yang datang ke posyandu.

Pejuangan Dinny membuahkan hasil yang membahagiakan. Itu dapat dilihat dari meningkatnya kepercayaan ibu hamil terhadap faskes dan memilih faskes untuk membantu proses melahirkan. Juga dengan menurunnya angka stunting yang dialami anak-anak di sana.

Maka tidak heran, jika PT ASTRA Internasional memberikan apresiasi berupa penghargaan SATU Indonesia Awards kepada Theresia Dwiaudina Sari Putri, sebagai pemenang di ajang bergengsi yang diperuntukkan bagi kaum muda yang berprestasi dan memberikan kontribusi positif bagi bangsa dan masyarakat.

 

Harapan Dinny

Ketika diwawancarai Dinny mengungkapkan harapannya, “Harapannya semoga masih terus ada perhatian dari lintas-lintas terkait untuk cangkupan pelayanan kesehatan di desa-desa terpencil. Apalagi sekarang fokusnya ada pada kesehatan ibu dan anak. Jadi kalau bisa usaha yang kecil-kecil di komunitas yang kecil agar tercapai cakupan yang lebih besar agar tercapai kesejahteraan ibu dan anak. Perhatiannya lebih banyak lagi pada desa terpencil.”

Selamat ya, Dinny. Perjuangan masih panjang. Jangan kenal lelah memberikan yang terbaik bagi sesama. Semangat…!

 

 

 

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih sudah memberi komentar terbaik. Ditunggu kunjungan berikutnya.
Salam hangat ... :)

Museum Geologi Bandung, Wisata Edukasi Murah Meriah

Museum Geologi Bandung, wisata edukasi murah meriah (dok.pri) Liburan  paling asyik jika diisi dengan acara jalan-jalan bareng keluarga. Ngg...