Parade Cerpen Sastra yang diadakan oleh Penerbit LovRinz
Menulis cerpen sastra? Wow. Kesannya mewah banget buat saya. Penulis moody yang sering menulis semaunya. Baru gercep kalau ada bau-bau uangnya. Ahaha. Namun setelah 'dijerumuskan' teman curhat, Dyah Prameswarie ke lomba menulis cerpen sastra yang diadakan oleh Penerbit Lovrinz, saya merasa mendapat pencerahan. Pematerinya keren, isinya daging semua.
Menulis cerpen sastra, ternyata tak seseram yang dibayangkan. Tak harus mendakik-dakik dengan kosakata yang tak lazim digunakan. Sastra menggunakan bahasa yang efektif dan efisien, demikian tutur Pringadi Abdi Surya dalam sesi pertama mentoring yang diadakan Rabu malam kemarin (10 Agustus 2022). Karena bahasa selalu merengkuh realitas, sementara sastra memuat kebenaran di dalamnya. Karya sastra adalah pencerminan dari realitas.
Pringadi menjelaskan bahwa tugas penulis bukanlah menyampaikan kritik sosial, atau pesan-pesan tertentu, melainkan menyampaikan cerita dengan baik. Adapun pesan-pesan atau kritik sosial ditulis melalui karakter, sikap dan pilihan tokoh.
Namun jangan terjebak dalam bentuk KLISE. Ini sering terjadi ketika penulis berusaha menyampaikan pesan dengan akhir yang sama, contohnya kerap ditemukan dalam cerpen sastra Islami.
Cerpen sastra Islami ini sempat menduduki puncak cerpen sastra di Indonesia, yang dimotori oleh Majalah Annida dengan penulis-penulis seperti Helvy Tiana Rosa, Asma Nadia, Maimon Herawati, dkk.
Cerpen sastra merupakan hasil gagasan penulis setelah melihat fenomena di sekitarnya. Karena karya sastra adalah pencerminan dari realitas, begitu ujar Pringadi.
Sudah sepantasnya jika gagasan dalam menulis cerpen harus memiliki akar lokalitas yang kuat, lalu diobservasi, dan melakukan riset mendalam, melihat teori dan kaidah berbahasa yang benar, baru kemudian dituangkan dalam bentuk cerita. Sebab, kenyataan terlalu rumit, ceritalah yang memberinya bentuk.
Tahapan menulis cerpen sastra
Apa Cerpen Sastra itu?
Pringadi juga menjelaskan, sebuah cerpen akan memiliki nilai sastra jika :
1. Mempunyai nilai kebenaran,
2. Memiliki kontribusi positif terhadap bahasa, tidak merusak kaidah bahasa.
3. Sensitif terhadap bunyi, dan unsur-unsur keindahan.
4. Memiliki nilai seni, kebaruan dan bersifat otentik (yang menjadi ciri khas penulis).
Tema
Pringadi juga menuturkan bahwa menjadi penulis artinya kita harus peka terhadap lingkungan, fenomena sosial yang terjadi agar bisa diobservasi lebih dalam hingga bisa mengeksekusinya menjadi sebuah cerita.
Komentar
Posting Komentar
Terima kasih sudah memberi komentar terbaik. Ditunggu kunjungan berikutnya.
Salam hangat ... :)