Pohon Belimbing Wuluh Rofa
Oleh
: Liza P Arjanto
Wajah Rofa bersungut-sungut. Ia
sebal sekali. Tiap hari ia harus menyapu daun belimbing yang rontok di halaman depan. Ia tak habis
pikir, mengapa ibu menanam pohon belimbing. Bukankah ibu bisa menanam pohon
palem atau tanaman hias lainnya yang tidak banyak merontokkan daun. Atau paling
tidak ibu bisa menanam pohon mangga yang berbuah lebat seperti milik Angga.
Bukankah rasanya akan lebih sedap bila memetik buah dari kebun sendiri?
“ Wah, Rofa rajin sekali ya...
Pagi-pagi sudah menyapu halaman.” Sebuah suara mengagetkan Rofa. “Eh, Rena...
Ada apa?” Tanya Rofa sambil tersipu menerima pujian yang dilontarkan temannya
itu. Rena adalah teman sekelasnya. Rumahnya tak jauh dari rumah Rofa.
“Eng, boleh minta bunga belimbing
wuluh tidak?” tanya Rena kemudian. Mata beningnya melirik ke batang pohon yang
sarat dengan buah belimbing bewarna hijau kekuningan yang bergelantungan.
Beberapa tangkai bunga mungil merah menyembul dari batang pohon.
Rofa menatap Rena dengan wajah
heran.
“Bunganya?
Untuk apa sih, Ren? Bukan buahnya? “
Rena
menggeleng.
“Kata
mamaku, bunga belimbing wuluh bisa
digunakan untuk obat batuk. Apa lagi untuk anak kecil, seperti Caca, adikku. Ia
sedang diserang batuk.”
“Oh...”
Rofa manggut-manggut. Tangannya langsung bergerak memetik beberapa tangkai
bunga belimbing.
“
Eh, kayaknya sudah cukup deh.” Rena menghentikan gerakan Rofa. “ Tiga tangkai
saja kata Mamaku. Keren ya, kamu punya pohon belimbing. Kata Mamaku, bukan
hanya bunganya yang bermanfaat, tapi daun dan buahnya juga.”
“Oh,
ya?” Rofa merasa senang.
“
Hihihi... kamu lucu deh. Punya pohon tapi nggak tahu manfaatnya. Oya, makasih
ya.” Rena tertawa sambil berlalu. Rofa
menjadi malu bukan main. Ia berjanji akan mencari manfaat lain dari pohon
belimbing yang selama ini sering membuatnya kesal.
Sepeninggal Rena. Rofa menatap pohon
belimbing dengan perasaan takjub. Selama ini ia hanya tahu manfaat belimbing
wuluh untuk keperluan ibu memasak. Selain untuk membuat sayur asem terasa lebih
sedap, juga sering digunakan ibu untuk membersihkan ayam dan ikan. Kata ibu,
biar amis dan baunya berkurang.
*
Anehnya, keesokan harinya, rasa
kesal itu kembali muncul. Dengan langkah malas Rofa bersiap-siap menyapu
halaman. Ia membayangkan tumpukan daun-daun belimbing yang rontok memenuhi
halaman. Namun, alangkah terkejutnya ia ketika mendapati halaman depan rumahnya
telah bersih. Bukankah Ibu sedang sibuk di dapur? Lantas siapa yang menyapu
halaman? Mata Rofa menjelajahi sudut rumahnya. Kemudian matanya terpaku melihat
sosok kakek-kakek yang tengah menikmati sarapan di pojok teras rumahnya.
Kakek itu setua kakeknya yang
tinggal kota lain. Kurus dan tampak lusuh. Tak jauh dari kakek itu tampak
sebuah karung goni yang tak kalah kumalnya. Mungkinkah ia salah satu dari
pemulung yang sering mencari barang-barang tak terpakai di tempat sampah
sekitar rumahnya? Apakah kakek itu yang telah menyapu halaman?
“Rofa...”
Terdengar suara Ibu memanggilnya.
Rofa bergegas menghampiri ibu di dapur.
“Nak,
coba berikan ini pada kakek pemulung itu. Jangan lupa bilang terimakasih.” Ujar
Ibu seraya menyerahkan selembar uang limaribuan.
“Untuk apa, Bu? Kan kakek itu bukan
pengemis.?” Tanya Rofa keheranan.
“ Tadi kakek itu sudah membantu
menyapu halaman. Memberi kakek itu jauh lebih baik daripada memberi kepada
pengemis yang kerjanya hanya meminta-minta. Lagi pula, bukankah karena kakek
itu sudah menyapu, hari ini Rofa tidak perlu lagi menyapu rontokan daun-daun
belimbing itu.” Ujar Ibu sambil tersenyum.
Dengan langkah riang ia menghampiri
kakek itu. Dilihatnya kakek itu tengah duduk melamun sambil menatap buah-buah
yang bergelantungan di pohon belimbing. Rupanya ia telah menyelesaikan makannya
sejak tadi.
“Kek, ini... Terimakasih ya.” Rofa
menyodorkan uang pemberian ibunya. Kakek itu tersentak kaget. Lalu
menggerak-gerakkan tangannya menolak pemberian Rofa.
“Oh, tidak usah, Den. Kalau boleh
kakek mau buah belimbingnya saja. Boleh?”
“Tentu saja boleh, Kek. Kakek boleh
mengambil sebanyak yang Kakek mau.” Jawab Ibu yang tiba-tiba berada di belakang
Rofa.
***
Kakek
itu tersenyum girang. Dengan penuh antusias ia memetik buah belimbing wuluh dan
memasukkannya ke dalam kantong keresek besar yang ibu berikan. Sambil memetik
belimbing, kakek itu bercerita tentang cucunya yang akan berulang tahun minggu
depan. Kakek itu ingin sekali membelikan sebuah boneka untuk cucu kesayangannya
itu.
“Lantas belimbing ini akan Kakek
apakan?” Tanya Ibu.
“Dijual. Katanya ada rumah makan
yang selalu membutuhkan belimbing wuluh untuk dimasak bersama ayam. Engg... apa
ya mana masakan itu?” tanya Kakek itu sambil berpikir keras.
“Garang Asem.” Jawab Ibu .
“Ya.
Garang Asem...” Ujar Kakek itu bersemangat. “ Mudah-mudahan harga jualnya bisa
lebih tinggi daripada di jual ke pasar. Eh, tidak apa-apa saya minta sebanyak
ini, Bu?” tanyanya kemudian menunjuk ke arah kantong kresek yang kini penuh
dengan belimbing wuluh segar dan besar-besar.
Ibu tersenyum. “ Tidak apa-apa.
Mudah-mudahan bisa membantu Kakek membeli boneka untuk cucu Kakek. Dan uangnya
ambil saja, Kek. “
Rofa yang sedari tadi hanya mendengarkan
percakapan ibu dan kakek pemulung , sontak menyodorkan kembali selembar uang
yang sejak tadi digenggamnya. Rofa melihat mata kakek pemulung itu
berkaca-kaca. Berulangkali ia mendengar kakek itu berterima kasih. Rasa haru
memenuhi hatinya.
Sejak hari itu Rofa berjanji untuk
merawat dan menyayangi pohon belimbing dengan sepenuh hati. Meskipun ia harus
menyapu daun-daun yang berguguran setiap hari. Selesai
Komentar
Posting Komentar
Terima kasih sudah memberi komentar terbaik. Ditunggu kunjungan berikutnya.
Salam hangat ... :)