Ide ini mengendap selama 2 tahun. Selama itukah? Ya. Karena ide ini
menarik, ide ini selalu menggeliat mencari bentuk. Hingga akhirnya
muncullah sebagai sebuah Percikan yang dimuat di Majalah Gadis Edisi.13.
Selamat membaca....
Sepasang Mata Coklat
Oleh : Liza P Arjanto
Sudah beberapa hari ini sepasang mata coklat itu mengikuti Wina. Wina
tahu betul, warna bola mata lelaki itu, karena ia pernah berpapasan dengannya tepat
di depan gerbang. Sepasang mata yang bersinar ramah dan sebuah senyum yang
mengembang sempurna ke arahnya. Meski merasa heran, Wina membalasnya dengan
anggukan kepala kecil.
Biasanya pemilik mata itu hanya
mengikutinya dengan tatapan hangat. Namun kali ini, pemilik mata itu mengikuti langkahnya. Sungguh tak nyaman
rasanya. Wina mempercepat ayunan langkah kakinya.
Jarak antara sekolah
dan rumahnya tak terlalu jauh. SMA Negri favorit itu memang berada di
tengah perumahan tempat tinggalnya.
Sehingga ia selalu berjalan kaki setiap pulang dan berangkat sekolah. Biasanya semua terasa menyenangkan. Tapi tidak kali ini. Perjalanan pulang sekolah
membuat dadanya berdebar.
Jika saja Lovi tidak sakit, keluh Wina. Lovi adalah sahabatnya. Meski
tidak sekelas, mereka selalu pulang sekolah berbarengan. Kehadiran Lovi akan
membantunya mengurangi rasa cemas yang muncul saat ini.
Satu belokan lagi. Rumah Wina ada di
ujung jalan. Ia melirik ke arah belakang. Tak ada siapapun. Rasa heran memenuhi dadanya, ketika ia menyadari lelaki
tua bermata coklat itu tak lagi membuntutinya. Secara otomatis ia merapikan
poni yang menutupi keningnya, gerakan yang selalu dilakukannya bila ia merasa
lega.
*
“ Hei, Wina, lelaki tua itu
mengikuti kita.” Lovi berbisik ke arah Wina. Wina menoleh ke belakang. Lelaki
itu tengah menatapnya, dan tersenyum.
“ Kamu mengenalnya?” Lovi bertanya
heran. Lebih heran lagi ketika melihat Wina menggelengkan kepalanya. Sudah tiga hari Lovi tak masuk sekolah. Wina
pernah mengunjunginya sekali, namun tak pernah bercerita tentang keanehan ini.
“Ia selalu mengikutiku, Lovi.” Keluh
Wina.
“Kamu sungguh-sungguh tidak
mengenalnya?” tanya Lovi lagi. Langkah lelaki tua semakin dekat.
Wina menggeleng kuat-kuat.
“ Tapi aku seperti pernah melihat
sepasang mata yang mirip dengannya.” Ujar Wina pelahan. Lovi menatap lekat
sahabatnya.
“ Sungguh?”
Kali ini dilihatnya kepala Wina
mengangguk.
“Aku seperti mengenalnya.” Wina
balas menatap Lovi yang terheran-heran. Inilah yang mengganggu pikirannya
selama beberapa hari ini. Mata itu mengingatkannya pada seseorang. Seseorang
yang selalu membuat hatinya terasa hangat.
“Mungkin ia kakekmu yang hilang.”
Bisik Lovi lagi. Wina melotot ke arahnya. Diliriknya jarak kakek itu hanya
beberapa langkah di belakang mereka.
“Runi...”
Suara lelaki tua itu membuat Wina dan Lovi menghentikan
langkah. Mereka saling berpandangan. Selang sekian detik kemudian, lelaki tua
itu berdiri di hadapan Wina.
“Runi, mengapa kamu menghindariku?” Sepasang mata coklat itu
menatap penuh tanya ke arah Wina. Pertanyaan itu membuat Wina ternganga.
“Kek, temanku ini namanya Wina. Bukan Runi.” Lovi berusaha
menekan tawanya yang nyaris meledak. Namun ekspresi wajah Wina membuatnya tak
tega.
“ Wina?” Kakek tua itu memiringkan kepala dengan kerutan
yang semakin dalam pada keningnya. “ Bukan Runi?” Wajah tua itu terlihat
bingung.
“ Siapa Runi, Kek?” tanya Lovi penasaran. Diliriknya Wina
tampak salah tingkah ditatap sedemikian rupa. Terlebih ketika kakek itu
menunjuk ke arah Wina.
Sebuah bayangan berseragam putih abu bergegas mendekat.
“ Runi. Seruni adalah nama nenekku.” Sebuah suara dengan
napas memburu tiba-tiba menjawab.
Jose. Dada Wina berdebar. Sosok jangkung ketua OSIS itu
berdiri tepat di sebelah lelaki tua yang tampak kebingungan. Kemiripan di
antara mereka kian nyata.
“ Mungkin kakekku
teringat masa mudanya. Ia menderita Alzeihemer. Pikun. Tak banyak yang bisa
diingatnya. Salah satunya adalah
kenangannya tentang nenekku.” Jose tersenyum. “ Wajahmu mirip dengan nenekku
ketika muda. Terutama ponimu itu. Mungkin itu sebabnya kakekku selalu pergi seorang diri dan membuntutimu.
Rumah kami tak jauh dari sini.”
Wina tertegun. Ia menatap Lovi yang tersenyum simpul ke arahnya.
Lovi menyadari pipi Wina tampak
lebih merah dari biasanya. Karena kini ada dua pasang mata coklat yang menatap
Wina dengan tatapan hangat.
Tamat.
Jadi inget masa remaja, aku penggemar Percikan.
BalasHapus((( masa remaja))) 😂
Wkwkwk... dulu itu ketua Osis wajib banget yang ok segala-gala ya?
Hapus