Dalam sebuah kesempatan, saya mendapat kehormatan untuk menuliskan kisah
inspiratif mahasiswa berprestasi dari Universitas Ahmad Dahlan,
Yogyakarta. Saya masih mengingat dengan baik, betapa haru dan kagum
menyelimuti diri, saat mencoba menuliskan jejak-jejak prestasi mereka.
Prestasi yang mereka torehkan dengan kesungguhan dan menjadi persembahan
terindah. Bukan hanya bagi diri dan keluarga, melainkan bagi bangsa dan
negara.
Salah satu di antaranya, Dwi Titi Maesaroh, sosok inspiratif yang berhasil memesona saya, hingga saat ini. Ya, hingga saat ini.
Kisah yang saya tuliskan ini hanyalah salah satu dari kumpulan kisah inspiratif lainnya yang terdapat dalam buku yang berjudul : CAHAYA PRESTASI.
Cahaya Prestasi, Buku Yang Istimewa
Buku ini istimewa, menurut saya.
Ada beberapa alasan mengapa saya menyebut buku ini istimewa.
Pertama
Menyajikan kisah inspiratif para mahasiswa yang berprestasi dengan gaya bahasa yang menarik, indah sekaligus menyentuh. Berbeda dengan gaya penulisan kisah inspiratif pada umumnya. Sebuah buku inspiratif dengan cita rasa fiksi.
Kedua
Membaca kisah-kisah perjuangan para mahasiswa ini, akan membuat kita
belajar, bahwa hidup adalah perjuangan. Dan, tidak ada perjuangan yang
sia-sia.Selain itu, membuat kita optimis akan masa depan ibu pertiwi. Karena, ternyata, masih negeri ini masih memiliki generasi yang luar biasa dan membanggakan.
Ketiga
Ditulis oleh penulis-penulis keren yang sering mewarnai media massa nasional dengan karya-karyanya. Beberapa di antaranya bahkan pernah menjuarai ajang lomba-lomba memulis tingkat nasional.Yap. Buku ini ditulis oleh penulis-penulis keren : Nurhayati Pujiastuti, Ruwi Meita, Yulina Triharningsih, Saptorini, dan saya sendiri :)
Selamat menikmati, semoga bermanfaat...
(Oya, bagi yang berminat membaca isi buku ini secara lengkap bisa memesan buku ini melalui penulisnya lho.... ^_^)
Kumpulan kisah inspiratif mahasiswa UAD yang menggetarkan jiwa |
Menjemput Takdir di Tanah Papua
Kisah Dwi Titi Maesaroh
“Saat pertama kali saya masuk
universitas ini, saya tidak tahu, apa yang sebenarnya saya inginkan. Saya hanya
ingin kuliah, lulus, mendapatkan pekerjaan yang bagus dengan gaji bagus.
Menikah dan hidup bahagia selamanya.
Namun
kemudian, setelah begitu banyak pengalaman yang saya peroleh selama kuliah di
universitas ini, saya mulai menyadari, bahwa hidup tidak sesederhana itu. Hidup tidak cukup sekadar menjadi baik. Hidup
menuntut kita untuk semakin baik, dan semakin baik terus-menerus.
Life
is also not merely about ourselves.
It’s
not about how to get as much as possible
But,
how to give as much as possible.
Kita
hidup bukan untuk diri kita sendiri. Hidup bukan tentang bagaimana kita bisa
mendapatkan sebanyak-banyaknya. Akan tetapi, bagaimana kita bisa memberi
sebanyak-banyaknya.”
Aku diam sejenak, memberi jeda agar pidato yang telah kupersiapkan jauh-jauh hari,
tidak hanya menjadi untaian kata tanpa
bekas, larut dalam eforia prosesi wisuda.
Aku sendiri tak menyangka, bahwa pada akhirnya, aku akan
berdiri di sini, di hadapan para wisudawan –wisudawati, para
orangtua, serta pejabat dan dosen universitas, untuk menyampaikan pidato
sebagai wisudawati terbaik.
Kuedarkan pandanganku ke seluruh hadirin yang memenuhi aula
Universitas Ahmad Dahlan. Dan tatapankuku terpaku pada wajah teduh yang tengah
menatapku dengan sorot bangga. Ayah. Kurasakan rasa haru yang berdesakan dalam
dada.
*
Hari masih teramat gelap, saat ayah memboncengku dengan sepeda menuju mesjid. Masih kurasakan dinginnya hawa pedesaan menembus baju yang kukenakan sepanjang perjalanan yang sunyi itu. Sesekali aku akan memandang ke langit melihat taburan bintang di kejauhan, akankah kelak aku bisa meraihnya?
Hari masih teramat gelap, saat ayah memboncengku dengan sepeda menuju mesjid. Masih kurasakan dinginnya hawa pedesaan menembus baju yang kukenakan sepanjang perjalanan yang sunyi itu. Sesekali aku akan memandang ke langit melihat taburan bintang di kejauhan, akankah kelak aku bisa meraihnya?
Sesampainya di mesjid,
aku akan duduk diam mendengarkan ayah mengaji. Lantunan ayat suci dari bibir
ayah mengalun lembut melalui pengeras suara. Menyelusup lembut dalam hatiku, menimbulkan
rasa tenteram dan damai. Suara ayah pula yang membangunkan setiap jiwa yang
tengah tertidur untuk bangkit dan bergegas menghadap Sang Pencipta, hingga
waktu shubuh tiba. Ya, Ayahku adalah
imam mesjid dan muadzin di desa kami.
Ayahku bukanlah orang yang berpendidikan tinggi. Beliau
bahkan tak lulus SD, hanya pernah ikut
program kesetaraan. Namun, beliau sosok yang lembut dan guru yang mengajariku
mengaji, sholat dan menanamkan pentingnya menjalani hidup sebagai
sebaik-baiknya hamba di mata Allah Swt. Sedangkan ibuku, beliau adalah sosok
pekerja keras dan pantang menyerah. Ibu pula yang memberiku nama Dwi Titi
Maesaroh.
Sebuah nama yang beliau persiapkan jauh sebelum kelahiranku.
Meski kala itu, belum ada fasilitas USG untuk memastikan jenis kelaminku. Bapak
dan ibu baru mengetahui anaknya berjenis kelamin perempuan, setelah aku
benar-benar lahir pada hari selasa kliwon jam 7 pagi di rumah, tanpa bantuan bidan, di desa Kejobong,
Purbalingga pada tanggal 17 Januari 1989.
.
*
Tak ada yang paling kuinginkan dalam hidup, kecuali berhasil
menjalani setiap fase kehidupanku dengan baik. Ada kalanya aku mengalami
kegagalan, kekecewaan, dan terluka atas satu – dua peristiwa yang terjadi.
Namun aku bersyukur telah menjalani fase kehidupan di universitas dengan baik,
meski tak sempurna.
Kutatap haru piagam-piagam penghargaan yang kuperoleh.
Termasuk penghargaan yang kudapat di negeri jiran, sebagai pemakalah dalam 1st International Conference di
Universiti Sains Malaysia” tahun 2011.
Kenangan tentang Ames, menyeruak. Aku menghirup udara
sebanyak-banyaknya. Mencari jejak kota impian itu dalam hatiku. Ames merupakan
kota yang sangat indah. Di sana tak ada gedung tinggi yang membuat kepalaku
terlalu mendongak untuk melihat puncaknya. Tak ada jalanan macet yang membuatku
sakit kepala. Pepohonan dan rerumputan
yang menghijau, rumah-rumah dan bangunan yang tertata rapi dengan aksitertur
yang khas. Pemandangan siang dengan langit biru tersaput awan, dan malam bertabur
bintang. Kenangan yang terhimpun selama memperoleh beasiswa IELSP Cohort 9 Kementerian Dalam
Negeri AS dan belajar bahasa Inggris
selama 8 minggu di Iowa State University
di tahun 2011.
Aku pun tak henti-hentinya bersyukur atas kesempatan
mengikuti seleksi mawapres mewakili kampus, aku menduduki peringkat 8 dalam 16 besar
finalis mawapres nasional 2011, sebuah ajang
puncak bagi seluruh mahasiswa terbaik dari seluruh Indonesia. Satu kesempatan
yang hanya bisa kuperoleh karena kebesaran Allah Swt semata, karena aku sadar,
aku bukanlah mahasiswa terbaik UAD, apalagi mahasiswa terbaik di Indonesia.
Ingatanku melayang ke masa lalu. Pada rumah sederhana kami
yang berlantai tanah. Ujar mbok yang merawatku dulu, aku menjadi gadis yang
pintar dan berprestasi, karena ketika bayi, kepalaku kerap terbentur tanah.
Entahlah.
Juga pada saat belajar dengan menggunakan sentir. Lampu
minyak tanah. Asapnya membumbung menghitamkan dinding dan langit-langit rumah. Bila
terlalu lama belajar, hidungku pun menjadi hitam karena jelaganya.
Aku pun teringat akan ayahku. He is strong man. Ia yang sanggup mengangkut dua ember besar
dari sumber air untuk mengisi tempayan di rumah kami. Ia akan berjalan terus
tanpa henti di jalan yang terus mendaki sepanjang 800 meter. Ia pun terus
berjalan meski harus melewati jurang kecil yang dihubungkan oleh jembatan bambu
kecil.
Aku mencoba seperti ayah. Membawa air dengan ember ternyata
tak semudah yang terlihat olehku. Terutama di musim penghujan. Kerap aku
terpeleset dan air yang kubawa malah mengguyur tubuhku. Tapi aku tak pernah
menyerah. Aku ingin menyerah. Bila tubuh kecilku tak sanggup membawa seember
penuh air, aku akan menguranginya hingga batas yang sanggup ditanggung tubuhku.
Begitu pula dengan kegelisahan yang terus mengusikku. Aku
mencoba berdamai dengan diriku sendiri. Rasa gelisahku sedikit terobati ketika
aku merintis rumah baca “Meretas Ruku”. Melintas Batas Ruang dan Waktu.
Menanamkan budaya baca, terutama pada anak-anak dan remaja. Aku ingin rumah
baca ini menjadi sumber inspirasi dan
motivasi bagi masyarakat yang kurang beruntung, agar bisa maju dan berkembang.
Aku sungguh beruntung mendapat beasiswa penuh dari PT
International Test Center untuk melanjutkan pendidikanku di Universitas Ahmad
Dahlan, dan mengambil jurusan Pendidikan Bahasa Inggris, bidang studi yang
memang kuminati sejak lama. Aku ingin, jauh lebih banyak lagi anak-anak yang
bisa mengenyam pendidikan yang tinggi.
*
“....
namun, pendidikan bukanlah apa yang kita siapkan untuk hidup. Karena pendidikan
sejatinya adalah hidup itu sendiri.
Don’t
let our fear for failur avoids us to do what we love and achieve what we dream.
Jangan
biarkan rasa takut akan kegagalan mencegah kita melakukan apa yang kita cintai,
dan mencapai apa yang kita impikan. Yakinlah, bahwa Allah Swt akan selalu
membersamai langkah kita dalam kebaikan.
Listen
to your heart, your intuition, and Allah’s guidance.”
Tepuk tangan membahana sesaat setelah kuakhiri pidatoku di
hadapan audiens. Kurasakan dadaku bergetar, bukan oleh gemuruh tepuk tangan
atau keharuan yang memenuhi ruang aula. Melainkan oleh kesadaran yang kian
menghunjam dalam dadaku.
*
Dingin udara Guangxi menyentuh kulitku. Mempelajari bahasa Mandarin di tempat asalnya, jauh dari tanah air, jauh dari orang-orang terkasih bukanlah perkara mudah untukku. Namun aku akan menyelesaikannya demi memenuhi keinginan orangtuaku. Setahun lamanya aku berada di China. Melanjutkan pendidikan seperti yang ditawarkan oleh almamaterku. Dua tahun berikutnya kulalui dengan mengajar mahasiswa di almamater.
Dingin udara Guangxi menyentuh kulitku. Mempelajari bahasa Mandarin di tempat asalnya, jauh dari tanah air, jauh dari orang-orang terkasih bukanlah perkara mudah untukku. Namun aku akan menyelesaikannya demi memenuhi keinginan orangtuaku. Setahun lamanya aku berada di China. Melanjutkan pendidikan seperti yang ditawarkan oleh almamaterku. Dua tahun berikutnya kulalui dengan mengajar mahasiswa di almamater.
Hingga tibalah masanya menunaikan sebuah janji pada negeri
yang kucintai tanpa syarat.
Kakiku melangkah mengikuti jalanan yang bergelombang. Naik
dan turun. Kuhikmati hawa panas yang mengepungku. Fakfak memiliki langit cemerlang dan lautan membiru
seluas mata memandang.
Di depan bangunan sekolah Islam Terpadu tempatku mengajar, bocah-bocah
berkulit gelap maupun terang berlarian menyongsong kedatanganku.
“Ustadzah ...!”
Suara mereka menyejukkan hatiku. Aku tahu, takdir membawaku
untuk mengabdi di tanah Papua.
Liza Permasih
Komentar
Posting Komentar
Terima kasih sudah memberi komentar terbaik. Ditunggu kunjungan berikutnya.
Salam hangat ... :)