Kisah Inspiratif - Nuansa Wanita Majalah Ummi Ed, November 2016 |
Tak ada rezeki yang salah mengetuk pintu. Tak juga salah arah menuju. Hanya kebodohan kita semata yang menutupi keindahan takdir yang telah tersurat untuk kita. Dan ketidaktahuan, membuat kita gagap dalam menjalani rencana-Nya.
Anak Itu Hak Allah
Oleh : Liza Permasih
Tak pernah
terpikir olehku, bahwa doa yang kerap kulantunkan begitu gencar akhir-akhir ini
akan dijawab Allah Swt dengan cepat. Dalam doaku, aku memohon agar Allah Yang
Maha Kaya memberikan keluasan rezeki pada kami sekeluarga dengan rezeki yang
halal, berkah dan banyak.
Akan tetapi
Allah Swt sungguh tak terduga. Tak lama berselang, aku mulai merasakan
datangnya rezeki yang tak terduga itu. Rezeki yang membuatku merasa panik,
sekaligus cemas. Karena rezeki kali ini datang dalam wujud tanda-tanda
kehamilan. Sebuah rezeki tak terduga dan, sungguh, tak kuharapkan, pada
mulanya.
Sulit bagiku untuk
menerima kenyataan ini, bahwa diusiaku yang tak lagi muda, aku harus menjalani
kehamilan lagi. Ya, aku hamil lagi. Di saat
putri sulungku sedang mencecap bangku kuliah, dan adik-adiknya butuh biaya
besar untuk melanjutkan sekolah. Sementara satu-satunya sumber penghasilan
rutin hanya mengandalkan suamiku yang berprofesi sebagai tenaga pengajar di
sekolah swasta.
Seperti kehamilan yang sebelumnya, kali ini pun aku
mengalami morning sickness yang melelahkan. Nyaris tak ada aktivitas yang bisa
kulakukan selain tidur dan tidur. Aku tidak bisa memasak dan membersihkan rumah
seperti biasa. Aku tidak bisa membaca, menulis dan melakukan berbagai kegiatan
yang menyenangkan lainnya.
Aku bahkan tidak bisa
memeluk anak-anakku yang masih memerlukan pelukan. Kondisi fisik yang lemah
karena kurangnya asupan makanan, juga sensitivitas hidung yang berlebihan membuatku
menjadi sosok paling tak berguna dan menyebalkan sepanjang trisemester pertama
kehamilanku.
Kehamilan ini juga membuatku menarik diri dari pergaulan. Baik interaksi di dunia nyata maupun di dunia
maya. Aku enggan menjawab berbagai pertanyaan-pertanyaan yang kerap terkesan
menuduh dan memojokkan. Alih-alih memberi suport yang lebih kubutuhkan,
kebanyakan orang terpicu hanya untuk menanyakan pertanyaan-pertanyaan nyinyir
yang membuatku tertekan.
Sungguh tak mudah menjalani kehamilan kali ini. Dengan
kondisi seperti ini, suport dari teman-teman dekat terasa bagaikan oase bagiku.
Mereka tidak hanya menguatkan, namun juga menumbuhkan keyakinan bagiku.
“Anak itu hak Allah,” ujar seorang teman.
Aku terdiam sejenak. Di tengah pergulatan batin antara penolakan
dan penerimaan serta rasa cemas akan masa depan anak-anakku, aku seolah
ingatkan kembali. Bahwa aku hanyalah seorang hamba yang harus menerima takdir
yang ditetapkan atas hidupku. Teringat juga, betapa banyak calon ibu lain yang mendamba anak dan mengusahakan
hingga menghabiskan dana yang tak sedikit.
Anak adalah hak Allah. Dzat yang memberikan kehidupan dan
rezeki. Atas dasar apa aku merasa berhak menolak kehadiran anak yang tengah
kukandung? Bukankah rezekinya sudah ditanggung oleh Dzat Yang Maha Kaya?
*
“Wah, sudah besar ya, Bu?” Dokter kandungan yang cantik itu
pun tersenyum lembut seraya menggerakkan jemarinya mengatur posisi tampilan
terbaik di layar monitor. Nanar mataku menatap gambaran janin yang tampak sudah
terbentuk dengan baik.
“Sehatkah ia, Dok? Dibanding kakak-kakaknya, sepertinya kali
ini agak lemah.”
“Sehat, baik. Agak lemah karena faktor usia ibu dan sudah
kehamilan ke-7. Kita dengar detak jantungnya ya...”
Dokter memutar sebuah tombol. Seketika itu pula aku
mendengar detak jantung yang terasa begitu merdu di telingaku. Keharuan sontak
melingkupi hatiku. Maafkan, ibumu, Nak, bisikku pelan. Ibu akan belajar
mencintaimu, sebagai anugerah ke tujuh. Karena kau pun berhak dicintai seperti
yang lainnya.
Tamat.
Kisah Inspiratif - Nuansa Wanita Majalah Ummi Ed, November 2016 |
Komentar
Posting Komentar
Terima kasih sudah memberi komentar terbaik. Ditunggu kunjungan berikutnya.
Salam hangat ... :)