Foto : Koleksi Wendra |
Mengenal
sosok Wendra Basarah seperti menemukan lukisan mozaik yang menakjubkan.
Setiap kepingan warna membawa kisah tersendiri yang tak henti membuatmu
terpana. (Saya
rasa, saya beruntung mengenal lelaki tangguh ini dan menggali
kepingan-kepingan cerita dalam kehidupannya. Trims Mbak Lottati Mulyani
yang telah mengenalkan kami :) )
Tidak,
tidak melulu berisi tentang hal-hal yang menyenangkan dan membanggakan.
Selain warna-warna cerah, juga warna-warna suram yang terkadang
membuatmu mengerutkan dahi. Namun, secara keseluruhan, kisah perjalanan
hidupnya sangat inspiratif. (Baca juga : Ojek Payung )
Kali ini saya menuliskan sekeping kisah, sebuah alasan, yang membuat manager artis merangkap chef ini
berani melangkah untuk hijrah. Meninggalkan gemerlapnya dunia malam dan
menjalani kehidupan yang lebih keras. Yaitu : Mamduh.
______
Akulah Yang Beruntung Memilikinya
Oleh : Liza Permasih
Ruang
dingin full AC itu mendadak terasa gerah. Aku tercekat menatap sosok lelaki
kecil yang tergolek lemah dengan selang yang menghiasi tubuhnya. Kupejamkan
mata mengusir sesak yang sedari tadi menyergapku.
“Tolong
katakan, apa yang bisa saya bantu untuk mengurangi penderitaannya?”tanyaku
pelahan.
Namun berakibat kejut yang begitu nyata di bola mata
perempuan yang pernah sangat dekat denganku belasan tahun silam. Ah, tidak.
Nyatanya ia tak pernah benar-benar pergi dari hatiku. Perempuan itu tertunduk
tak mampu berkata. Tapi aku tahu, ia butuh lebih dari sekadar kata-kata.
Saat itu menjadi
awal pertemuanku dengan lelaki kecil luar biasa itu. Mamduh, nama panggilannya.
Terlahir dengan hidrocephalus membuatnya senantiasa berurusan dengan rumah
sakit. Aku tak bisa menutupi perasaan sayang yang membuncah begitu saja saat
melihat wajahnya. Entah karena ia anak dari satu-satunya perempuan yang
kucintai, atau, karena aku tak bisa membayangkan jika aku berada di posisinya.
Melihat
wajahnya, aku membayangkan seorang Wendra kecil. Jika dirinya terlahir dengan
penyakit bawaan seperti Mamduh, adakah yang mau merawatnya dengan penuh
ketulusan?
Hatiku
mendadak pedih. Masa kecilku, bukanlah masa yang indah. Namun, sebuah masa yang
penuh dengan kegetiran. Masa yang penuh perjuangan dan kerja keras.
Alhamdulillah, aku berhasil sampai ke titik ini. Pada titik yang kerap
membuatku tercenung.
Siapa yang
bisa menduga takdir hidup seseorang?
Seorang
anak kecil, kurus dan tak diinginkan. Yang memulai harinya sebelum ayam
berkokok dan saat semua masih tertidur nyenyak dalam selimut hangatnya. Hidup
menumpang di rumah nenek membuatku dituntut untuk mengerjakan seluruh pekerjaan
rumah tangga sebelum diizinkan berangkat sekolah. Tak ada kesempatan bermain dan bersenda gurau dengan teman
sebaya.
Sekolah
kemudian menjadi tempat bersenang-senang. Aku betul-betul menikmati masa-masa
sekolah. Aku berusaha keras menjadi yang terbaik di antara kawan-kawan. Karena
hanya di sekolah aku bisa menjadi diriku sendiri. Di sekolah, aku merasa
berharga.
Tinggal di Kota Hujan
membuatku memandang hujan sebagai salah
satu cara Tuhan menyayangiku. Hujan adalah berkah. Berkah yang aku jemput
bersama payung kesayangan sepulang sekolah. Ya, akulah ojek payung yang menanti
pelanggan di emper-emper pertokoan.
Receh demi receh kukumpulkan,
untuk jajan dan biaya sekolah dan sebagian untuk membantu meringankan beban
orangtua di kampung. Menjadi ojek payung mengajariku adanya harapan setiapkali
langitku tersaput mendung gelap.
Aku menghela napas. Menghapus kenangan yang menyeruak begitu
saja ketika melihat sosok mungil Mamduh. Kutatap wajah lembut di sampingku dan
tersenyum menenangkan. Sebagai seorang manager artis yang menaungi puluhan
artis berbakat dan ternama di tanah air, waktuku sangat padat. Tapi aku
berjanji akan kembali dalam waktu dekat.
Aku berjanji untuk meluangkan waktuku demi Mamduh.
Keluarga, Sebuah alasan untuk hijrah (Foto : Koleksi Wendra) |
*
Pelahan aku mendorong kursi roda memasuki ruang meeting.
Sontak seisi ruangan menyapaku dan Mamduh yang duduk ceria di atas kursi
rodanya. Mamduh tampak menikmati suasana di kantorku. Senyum menghiasi
wajahnya. Sesekali ia becanda dengan anak-anak asuhku atau crew film yang
berada di dekatnya. Ia anak yang ramah dan sopan, meski memiliki keterbatasan,
ia tidak rendah diri. Melainkan bersemangat mempelajari berbagai hal yang
ditemuinya.
Sejak memutuskan untuk menikah dengan ibunya Mamduh, aku
memang total merawat Mamduh. Aku membawanya hampir dalam setiap kesempatan. Aku
menikmati kebersamaan ini. Begitu pula Mamduh. Maka tak heran jika kantorku
menjadi rumah kedua bagi Mamduh.
Kini Mamduh sudah bersekolah di sekolah Islam terbaik di
kota kami. Meski kemampuan motoriknya belum banyak kemajuan, namun kemampuan
belajarnya berkembang pesat, terutama kemampuan
berbahasa Inggrisnya. Di samping itu, kami pun membekalinya dengan ilmu agama
dengan mengundang seorang ustadz untuk mengajarinya mengaji dan menghapal
Al-Qur’an. Alhamdulllah kemauan dan semangat Mamduh membuat rasa lelah dan
berat saat merawatnya terobati.
Sering sekali aku mendengar, orang mengatakan, alangkah
beruntungnya Mamduh memiliki ayah tiri sebaik aku. Yang begitu perhatian dan telaten merawat
Mamduh. Tidak ada seorang ayah, bahkan
ayah kandung yang melakukan sebaik yang kulakukan pada Mamduh, ujar mereka.
Biasanya aku hanya tersenyum mendengarnya.
Semula aku tidak menyadari apa arti menjadi seorang ayah.
Aku hanya ingin menyayanginya dengan tulus. Namun keberadaan Mamduh
menyadarkanku akan banyak yang semula tak terpikirkan.
Menjadi seorang ayah membuatku selektif memilih pekerjaan. Jika
dulu dengan mudahnya aku mengelola even-even berbau maksiat sebagai pekerjaan
sampingan, kini aku berpikir ribuan kali untuk menerima tawaran pekerjaan yang
sama. Pelahan aku meninggalkan kelamnya dunia gemerlap. Semua demi kebaikan
Mamduh. Kurasa setiap ayah seharusnya melakukan hal yang sama.
Chef Wendra dalam sebuah tayangan di TRANSTV (Foto : Koleksi Wendra) |
Uang menjadi prioritas kesekian. Alih-alih memilih jalan
mudah berbau maksiat, aku memilih kembali pada profesi lamaku sebagai chef, di
samping pekerjaan utamaku sebagai manager artis. Profesi yang melelahkan tentunya, akan tetapi
memberikan ketenangan batin yang dulu tak pernah kurasakan.
Jadi, kurasa, akulah yang beruntung memilikinya.
Kisah
inspiratif ini, serta puluhan kisah menarik lainnya dibukukan dalam
buku antologi Menjaring Cahaya. Buku ini bisa dipesan melalui penulis.
Komentar
Posting Komentar
Terima kasih sudah memberi komentar terbaik. Ditunggu kunjungan berikutnya.
Salam hangat ... :)