Interaksi dengan anak-anak kerap menimbulkan sensasi sejuta rasa.
Seperti permen nano-nano. Semua rasa berkumpul menjadi satu dalam
sebentuk hati yang tak pernah bisa membenci. Tersebab, mereka-lah buah
hati bagi kedua orangtuanya.
Jangan Mau Kalah
Oleh
Liza P Arjanto
“Jangan
mau kalah sama anak-anak.” Demikian
pesan ibuku dulu. Jangan mau kalah ini dalam prakteknya adalah jangan pernah
takluk pada kebandelan anak. Jangan pernah menyerah pada tangisan anak. Dan
seringkali diakhiri dengan ultimatum sebagai wujud hukuman.
Di
antara semua anakku yang berjumlah enam orang, anak keduaku-lah yang paling
sering menuai hukuman. Sayangnya, hukuman demi hukuman yang dijalaninya dengan
konsekuen seringkali tidak membuahkan hasil yang sesuai dengan harapan.
Pertambahan
usia tidak membuatnya semakin mengerti, mengapa sejumlah hukuman harus ia
terima. Ia tidak juga memahami mengapa hukuman itu dijatuhkan atas dirinya.
Alih-alih mengerti dan memahami, ia malah merasa dianaktirikan. Dan sebagai
bentuk protesnya, ia pun semakin lihai memancing dan mengaduk-aduk emosi
orangtuanya.
Seperti
malam itu, ia kembali berhasil membuatku marah dengan sikap dan nada bicaranya
yang menurutku kurang ajar dan tidak beretika. Dan sebagai bentuk hukuman, spontan
saja aku mengatakan, bahwa besok ia tidak akan mendapat uang jajan. Jadi ia
harus membawa minuman dan makanan untuk makan siangnya. Minta maafkah ia,
karena telah membuatku marah? Oh, tentu saja, tidak. Malam itu aku tidur dengan
perasaan kesal yang menggunung.
Dan
apa yang terjadi keesokan harinya? Ia juga meminta maaf. Jangankan membawa bekal untuk makan siang,
anakku ini malah sarapan dengan porsi yang jauh lebih sedikit dari biasanya. Ia
pun masa bodo dengan kemungkinan menderita kelaparan saat di sekolah.
“Sudah
biasa lapar kok,” ujarnya tak acuh ketika aku mengingatkannya untuk membawa
bekal makan siang.
Sikapnya
ini jelas membuat aku semakin dongkol. Namun di balik rasa dongkol itu, rasa
khawatir pun tidak jua mau hilang. Sebagai seorang ibu, aku tidak bisa
pura-pura tidak tahu beratnya perjalanan yang harus ditempuhnya ke sekolah. Sepertinya jarak 6 km bersepeda pulang-pergi
dalam kondisi lapar dan tubuh letih bukanlah ide bagus. Semarah apapun seorang
ibu, rasa khawatir akan dengan mudah melarutkannya.
Maka
perang perang batin pun dimulai. Antara memberikan uang jajan atau
membiarkannya menanggung akibat dari ulahnya. Antara keinginan untuk
mengantarkan makanan dengan keinginan untuk tetap jadi pemenang dan membuatnya
kelaparan hingga sore hari.
Tapi
sungguhkah aku jadi pemenang dalam perselisihan itu? Bukankah pada hakikatnya,
setiapkali memutuskan sebuah hukuman untuk anak, maka pada saat yang sama,
orangtua pun menjadi pesakitan? Si anak merasa ‘sakit’ atas hukuman itu. Dan
orangtua pun merasa ‘sakit’ karena harus belajar konsisten pada apa yang telah
diputuskan?
Setelah
pergulatan batin yang menguras emosi. Akhirnya, aku pun memilih untuk mengalah.
Membuang seluruh egoku. Membuang jauh-jauh keinginan untuk menang. Mungkin
benar, aku telah pilih kasih. Mungkin benar aku tidak konsisten dengan hukuman
yang telah kuucapkan.
Namun
dengan mengantarkan sendiri makanan dan
minuman ke sekolahnya. Menempuh jarak lumayan jauh dengan sengatan matahari
yang menyengat, aku berharap anakku itu memahami satu hal. Bahwa, setiapkali ia
mengayuh sepedanya untuk pulang, ada sebentuk hati yang selalu mencintainya
tanpa syarat. Aku hanya ingin ia menyadari, bahwa ia dicintai.
Tahukah,
ternyata, membuat anak merasa dicintai,
kadangkala lebih memberi dampak positif pada anak. Sekalipun aku tetap
tidak memberinya uang jajan, namun makanan dan minuman yang kuantar sendiri
pada saat yang tepat, membuatnya merasa berharga. Dan ia menunjukkannya lewat
sikapnya yang berubah menjadi lebih baik.
Tamat
Makasiii dah berbagi cerita yang hangat..
BalasHapusMakasih juga sudah mampir dan meninggalkan jejak. Nuhun yaaa
Hapus