Kisah ini terinspirasi oleh sosok pejuang Hipertensi Paru yang telah
gugur di usia muda. Namun keceriaan dan semangat hidupnya tetap menyala
di bilik-bilik kenangan para sahabat, sesama pejuang Hipertensi Paru.
Bahwa hidup tak layak untuk ditakuti, melainkan untuk diisi dengan
memberi sebanyak-banyaknya kebahagiaan bagi mereka, yang tercinta.
Sebiru Langit di Atas Tureloto
Oleh Liza P Arjanto
Alisa memayungkan telapak tangannya
tepat di garis alis matanya yang tebal. Ia menyesali keteledorannya tidak membawa
topi. Rasa sesal yang segera saja sirna melihat nuansa biru yang berkilau-kilau
di atas pantai Tureloto. Ia ingin sekali larut dalam kebiruan itu. Dan
melupakan kesedihan yang dibawanya ke Tano Niha.
Kakinya terus melangkah di antara batu-batu karang di bibir pantai. Rasa takjub menyelimutinya
saat memperhatikan batu-batu karang nun di tengah laut. Untaian batu karang itu
seolah-olah menjadi benteng raksasa yang melindungi pulau yang berada di bagian
selatan Pulau Nias. Dan secara ajaib menciptakan sebuah kolam alam raksasa yang
demikian tenang dan jauh dari keganasan gelombang laut.
Sejak kedatangannya ke pulau ini,
tiga hari yang lalu, Alisa sudah dua kali merasakan sensasi aneh berenang
terapung di lautan. Ia sudah lama mendengar keunikan Pantai Tureloto ini, dan
alangkah gembiranya ia, ketika panitia lomba tulis yang dimenangkannya memberi
hadiah berupa paket wisata ke Pulau Nias. Dan di sinilah sekarang ia berada.
Jika saja papa tidak pergi, keluhnya
dalam hati. Sekelebat mendung mengapung di bola matanya. Ia memejamkan matanya
sejenak. Mencoba mengusir sesak yang bersarang sejak beberapa bulan terakhir di
rongga dadanya.
“Hei, hati-hati!”
Sebuah lengan
menyambar tangan Alisa hingga menahan laju tubuhnya ke arah sebuah batu karang
yang berada tepat di depannya. Alisa cepat-cepat menyeimbangkan tubuhnya.
Secepat itu pula ia menepis tangan yang mencengkramnya. Ucapan terima kasih di
ujung lidahnya mendadak sirna begitu menyadari sosok cowok kurus di sebelahnya.
Radi, pikirnya sebal.
“Kamu gak punya kerjaan lain selain
membuntutiku?” semburnya tanpa tedeng aling-aling.
“What? Membuntuti kamu? Helloow,
Nona Kesepian, lihat...” Radi menunjuk ke arah belakang Alisa. “Mbak Vera yang
menyuruhku memanggilmu. Buat makan siang. Sebelum kamu menghilang lagi entah
kemana.”
Alisa hanya mendengus, lalu tanpa
kata-kata ia mengikuti langkah Radi kembali ke pondok yang mereka tempati. Ia
heran, mengapa cowok itu selalu mengikuti kemana pun ia pergi. Seolah-olah...
“Nah, kan... sekarang kamu mulai
melamun lagi,” tegur Radi.
Alisa hanya melirik tajam ke arah
Radi. Sebetulnya ia ingin bereaksi lebih baik. Mengucapkan terima kasih. Atau
bahkan bercanda dengan cowok itu. Sebagaimana finalis lomba lainnya. Tapi
entahlah. Beberapa bulan ini rasanya ia tidak lagi mengenal dirinya. Dan semua
itu karena kepergian papa. Siapakah yang bisa mengerti dan memahami
perasaannya?
“Ceritalah, Alisa, barangkali aku
bisa membantumu keluar dari kesedihanmu.” Suara Radi pelahan di antara debur
lembut gelombang.
Alisa tergagap.
Alisa tergagap.
“Kamu?”
“Ya. Aku tahu kamu sedang sedih. Aku
memperhatikanmu sejak hari pertama kita bertemu. Wajahmu selalu tampak mendung.
Seperti.... seperti...” Kalimat Radi menggantung. Matanya bersinar jail.
“Seperti apa?” sergah Alisa.
Radi tergelak.
“Hei, Nona Galak. Hati-hati matamu nanti copot.” Radi berkelit ketika menyadari tangan Alisa menjulur ke arahnya. Dan hal itu membuat Alisa bertambah kesal padanya. Ia dapat mengetahuinya dengan melihat bibir Alisa yang mengerucut. Itu lebih baik tentu saja, daripada melihat kabut di bola mata gadis yang telah mencuri perhatiannya sejak lama.
Tanpa kata mereka melangkah
mendekati rombongan panitia dan finalis lainnya di luar pondok. Mereka duduk
melingkar di atas pasir. Bernaung di
bawah sebatang pohon besar yang tumbuh tak jauh dari tepi pantai. Mbak Vera tampak sibuk membantu seorang gadis
setempat yang tengah mengeluarkan beberapa bungkusan daun dari dalam pasir yang
ditimbun bara api. Asap yang menguar bersama aroma lezat hinggap di hidung
Alisa.
“ Aha, Silio Guro.” Radi bergegas
menuju ke arah Mbak Vera. Namun Mbak Vera dengan sikap tegas segera
mengusirnya. Radi kembali ke arah Alisa yang telah duduk di atas pasir.
Menyendiri.
“Apa katamu tadi? Silio Guro?” tanya
Alisa tanpa mengalihkan tatapannya ke arah bungkusan daun yang baru saja
dipindahkan ke tengah-tengah lingkaran.
“Ya. Makanan khas penduduk sini yang
terbuat dari udang giling yang dicampur kelapa. Mereka menyebutnya Silio Guro.”
Alisa menganguk-anggukkan kepalanya. Ia percaya, Radi tahu banyak tentang Pulau
Nias ini.
Ia teringat, kejadian di hari pertama mereka tiba. Hampir
saja ia melakukan hal yang memalukan dengan memberikan tiga buah novel miliknya
kepada pengurus perpustakaan daerah dalam kunjungan pertama mereka. Radi
membisikinya agar menambah atau mengurangi jumlah buku yang ingin disumbangnya.
“Tapi novelku baru ada tiga, Radi!” Alisa bersikeras.
“Terserah. Tapi sebaiknya kamu siap-siap mendapat teguran.”
“Kok?”
“Memberi dalam jumlah tiga dianggap penghinaan.”
“Tapi kan aku gak bermaksud menghina.”
“Ya. Tapi kamu berada di sini. Dan di sini, memberi barang
dengan jumlah tiga dianggap penghinaan.”
“Sok tahu!”
“Aku memang tahu! Jadi... Nona Keras Kepala, sebaiknya kamu
banyak-banyak membaca tentang lokasi yang akan kamu kunjungi, sebelum kakimu
melangkah di atas tanahnya.”
Alisa terdiam. Ia tahu, Radi betul.
“Saohagolo...”Terima kasih. Radi dengan antusias menyambut
bungkusan daun pisang yang diberikan gadis setempat. Gadis tersebut
menyambutnya dengan senyum lebar dan anggukan kecil.
Huh, dasar tukang pamer, dengus Alisa sebal.
“Hmmm, ami...”Lezat. Radi mengacungkan jempolnya setelah suapan
pertama. Alisa melihat senyum di wajah gadis itu semakin lebar. Memperlihatkan
sederetan gigi putih bersih yang membuat wajahnya menjadi menarik. Ketulusan
gadis setempat itu segera menular, membuat sebuah lengkung indah di wajah Alisa.
Dan menerbit rasa lapar di perutnya.
Seperti teman-teman lainnya, ia mulai menyantap sebungkus saku
nisolo, sagu yang disiram santan, serta guro silio yang menyengat lidahnya.
Rasanya memang sangat enak. Alisa menghabiskannya tanpa sisa.
Usai menyantap makan siang, seperti biasa Mbak Vera
membebaskan para finalis untuk melakukan berbagai aktivitas. Wanita berambut
sebahu itu mengingatkan agar peserta rombongan tidak memisahkan diri
sendiri-sendiri. Ketika mengatakan itu, mata Mbak Vera menatap tajam ke arah
Alisa.
“Tenang, Mbak Ver. Aku siap menemani nona ini.” Seloroh Radi
yang segera saja disambut deheman finalis lainnya. Sementara itu, Alisa
merasakan wajahnya memerah. Dalam hati ia merutuk kekurangajaran cowok itu.
Kurang ajar? Ya, tentu saja. Cowok itu selalu berada di dekatnya. Mengawasinya.
Seolah-olah ia anak kecil yang setiap saat terancam bahaya.
Alisa menatap sewot Radi yang tengah memamerkan kemampuannya
menggunakan bahasa setempat. Teman-teman finalis lainnya mengelilingi cowok bertubuh
kurus itu hanya untuk belajar beberapa
patah kata. Sekelumit rasa iri terbit di
hatinya melihat keceriaan cowok memiliki wajah mirip Afgan, artis idolanya itu.
Dimanapun ia berada, ia selalu menebar kegembiraan pada orang-orang di
sekitarnya.
*
Hingga hampir menjelang pagi Alisa tak juga bisa memejamkan
mata. Lagi-lagi ia teringat papa. Kepergian papa yang begitu cepat akibat
penyakit jantung yang selama ini disembunyikannya begitu memukul perasaan
Alisa. Ia tak bisa menerima kepergian papa yang tiba-tiba. Papa seolah-olah
terengut begitu saja dari kehidupannya.
Kakinya melangkah keluar kamar. Di sebuah ruangan tiba-tiba
saja langkahnya terhenti. Ia melihat
Radi tengah menelan beberapa butir obat dengan sikap mencurigakan. Meskipun
merasa curiga, Alisa diam-diam berlalu dan pura-pura tidak melihatnya.
Alisa meneruskan langkahnya meninggalkan pondok. Ia tak
menggubris udara yang terasa dingin di kulit wajahnya. Pun ketika ia mendengar
Radi memanggilnya. Lalu langkah Radi yang tergesa mengejarnya.
“Alisa, tunggu...”
Alisa terus melangkah cepat. Ia ingin menghilangkan rasa
sesak dengan melarutkannya ke dalam
lautan yang masih menyisakan hangat di telapak kakinya. Kehilangan papa sungguh
tak tertahankan. Karena papa satu-satunya orangtua yang dimilikinya setelah
mama memilih untuk pergi meninggalkan mereka berdua.
Terkadang Alisa berpikir, Tuhan bersikap tak adil padanya.
Mengapa harus ia yang mengalami kepahitan hidup seperti ini. Air laut merambat
naik ke tubuhnya. Alisa merasakan kehangatan yang membuat bebannya sedikit demi
sedikit terangkat.
Air laut yang tenang dan hangat seakan dekapan lembut papa.
Papa yang memeluk dan menghiburnya setiapkali ia menangis. Dulu ia seringkali
menangis. Menangis hanya untuk hal-hal remeh. Karena ia senang berada dalam
dekapan papa. Karena itulah satu-satunya cara agar dapat melupakan mama.
Ia berhenti melakukannya ketika menyadari gumpalan kesedihan
memancar dari sorot mata papa setiapkali ia menangis. Sejak itu ia berjanji, ia
hanya ingin melihat cahaya di sepasang mata papa. Dan ia melihatnya setiapkali berhasil
mengukir prestasi di sekolah. Juga di dunia tulis. Dunia yang sangat dicintai
papa. Dunia yang membuatnya terpisah dari mama. Sebab mama tak tahan menjalani
hidup bersama seorang penulis. Dan memilih pergi bersama laki-laki lain.
Alisa mengerjapkan mata. Menatap gemerlap cahaya ribuan
bintang yang masih berpijar di atas langit Tureloto. Sesuatu terasa sesak di dadanya. Ia iri pada
ribuan bintang itu. Bintang yang kini merengkuh papanya dan menyisakan sunyi
untuknya. Ia ingin larut dalam lautan luas. Ia ingin melupakan semua kesunyian
ini.
*
“Alisa... Alisa. Sadarlah!” suara Radi terdengar panik. Ia
terus menepuk-nepuk pipi gadis yang tak sadarkan diri itu. Ia mengulanginya
hingga akhirnya Alisa tersedak dan mengeluarkan air dari mulutnya.
“Gila. Kamu mau bunuh diri ya?” Radi menatapnya tajam, meski
begitu ia tak bisa menyembunyikan kelegaan di wajahnya.
Alisa menggeleng lemah. “Aku hanya ingin berenang.”
“Berenang malam-malam begini?” Kemarahan dalam suara cowok
itu belum surut. “Bayangkan kalo aku tidak melihatmu pergi meninggalkan pondok.
Kamu bisa tenggelam.”
“Laut ini tak akan menenggelamkanku.” Lirihnya.
“Tapi kamu ...”
“Jika pun aku tenggelam, lantas apa pedulimu?” Alisa menatap
ke arah langit. Bintang-bintang masih bercahaya. Pajar belum sepenuhnya
menyingkap kegelapan malam. Ia masih merasa hampa.
“Jelas aku peduli! Karena kekonyolanmu ini akan merusak
seluruh acara dan mungkin menyebabkan tindakan hukum yang panjang bagi panita
dan teman-teman.”
Alisa terdiam. Ia menyadari kebenaran kata-kata Radi.
“Dan satu lagi, Nona Putus Asa. Asal kamu tahu, dengan bunuh
diri, kamu juga mengkhianati papamu.”
Alisa tersentak.
“Apa maksudmu?”
“Hei, kamu pikir, cuma kamu yang mengenal papamu? Kamu
pikir, cuma kamu kehilangan papamu? Dasar picik. Aku heran. Kenapa penulis
besar seperti papamu bisa memiliki putri dengan mental selemah ini.”
Alisa tertegun.
“Kamu? Mengenal papa?”
“Ya. Aku mengenal beliau. Aku pengagumnya. Kami pernah
bertemu beberapa kali. Dan papamu selalu senang hati memberikan koreksi atas
tulisan yang kubuat. Ia juga mengajariku tehnik dan cara menulis yang baik.
Kami bersahabat.”
Alisa menatap tak percaya.
“Tapi aku tak pernah melihatmu. Dan papa tak pernah
menceritakan tentang kamu. Papa, hanya
sering bercerita tentang seorang pemuda yang mengagumkan. Dan, dan ... aku
yakin itu bukan kamu.”
“Papamu bercerita tentang siapa?”
Radi menatap penasaran.
“Rahadian Sadewa.” Tiba-tiba Alisa tersentak. Matanya
melotot ke arah Radi. “Ka...kamu Rahadian Sadewa?” bibirnya gemetar. Oh,
Tuhan...
*
Radi duduk terdiam di sebelah Alisa. Ombak kecil silih berganti menjilat kaki-kaki mereka yang terjulur ke laut.
“Jadi obat-obatan yang kamu minum diam-diam itu...”
“Hidupku tergantung pada obat-obatan itu. Dan aku tak ingin
seorang pun tahu tentang penyakitku.”
“Itu sebabnya kamu selalu tampil ceria? Menutupi
penyakitmu?”
“Kamu salah.” Radi menghela napas. “Aku hanya ingin
menikmati setiap hembusan napas yang masih tersisa. Aku ingin setiap detik
mengukir kebahagiaan bagi orang yang ada di sekitarku.”
Alisa tercekat. Dengan terbata ia bertanya. “Papa
menyebutnya hipertensi paru? Benarkah? Kelihatannya kamu baik-baik saja.”
“Kelihatannya. Dan aku sungguh berharap begitulah adanya.”
Radi tersenyum pahit. “Kamu tahu, papamulah yang membuatku berhasil keluar dari
ketakutanku. Sebelum mengenal beliau, aku selalu takut, Alisa. Aku takut dengan
napas yang sewaktu-waktu putus. Aku takut, bila saat itu terjadi, aku hanya
melakukan hal-hal bodoh....”
“Kamu sudah melakukannya tadi malam,” Alisa menatap bibir
Radi yang pucat. Kebiruan. “saat berusaha menolongku yang nyaris tenggelam.”
“Itu bukan kebodohan, Nona Sok Tau.” Radi tersenyum. “Aku
hanya berusaha menjadi pahlawan untuk menyelamatkan putri satu-satunya dari
orang yang telah membuatku bangkit dari kematian.”
Alisa menatap tajam. “Tapi itu bisa menyebabkan kamu ...”
“Tetap saja menyelamatkan sebuah kehidupan bukanlah hal yang
bodoh.” Tukas Radi. Matanya menatap
Alisa. Dalam. “Dan, andai aku memiliki seribu nyawa. Aku tak akan keberatan
melepasnya satu demi satu untukmu.”
Alisa memerah.
“Kurasa kamu berlebihan, Radi.” Alisa memalingkan wajah dari
tatapan mata Radi. “Kamu gak punya nyawa sebanyak itu.”
“Ya. Aku tahu. Dan aku harap, kamu tidak lagi melakukan
kebodohan seperti tadi malam. Janji?”
Alisa menyembunyikan senyum. Dilihatnya langit begitu indah.
Begitu biru. Entah mengapa, ia seperti
melihat papa tersenyum di atas langit Tureloto. Tamat.
Kisahnya mengharu biru. Membuat semangat org yg sakit. Dan suka membaca cerpen karena lsngsung tamat cerita nya
BalasHapusMakasih ya sudah mampir
Hapus