Beberapa teman mungkin mengenal hobi saya yang suka menebak-nebak
karakter orang. Hobi ini menyenangkan. Seru dan bisa membuat beberapa
teman bertanya-tanya, benarkah saya seorang cenayang? Hahaha...
Hobi ini baru saya hentikan, ketika saya bergabung di grup Penulis
Tangguh. Sebabnya tak lain dan tiada bukan, karena gurunya, Mbak
Nurhayati ternyata "cenayang" yang sesungguhnya. Nah, untuk mengingat,
bahwa saya pernah menjadi cenayang--- meski gadungan, cerpen ini pun
saya buat.
Selamat menikmati....
Majalah Gadis, No. 31. 18-27 November 2014
MISS CENAYANG
Oleh Liza P Arjanto
Miss
Cenayang. Julukan itu melekat pada Niar, persis seperti rambut ekor kuda yang
selalu menempel di belakang kepalanya. Membuatnya tampak beda dengan kebanyakan
teman-teman sekelasnya. Jujur saja, Niar tampak lebih manis dengan ekor
kudanya, namun juga tampak berbeda.
Julukan
itu bermula ketika ia secara iseng membaca tulisan milik Caca. Caca adalah teman sekelasnya. Selama ini Caca dikenal ramah di mata
teman-temannya. Tak ada yang menduga bahwa ia mempunyai kepribadian yang
tertutup dan sulit mempercayai orang lain. Dengan wajah terheran-heran, Caca
membenarkan tebakan Niar.
Sejak
peristiwa itu, baik secara sembunyi-sembunyi ataupun terang-terangan,
teman-teman sekelasnya kerap meminta Niar untuk membaca kepribadian mereka
melalui tulisan tangan ataupun tanda tangan. Hampir seluruh tebakan Niar benar.
Maka teman-temannya pun menjulukinya Miss Cenayang.
Niar
sendiri tak ambil pusing dengan julukan itu. Bahkan terkesan menikmati
perannya. Tak jarang teman-temannya memanfaatkan kemampuan Niar untuk
mengetahui kepribadian gebetan mereka. Termasuk Febby, sahabat sebangkunya.
Pagi
itu Febby menyodorkan sebuah buku catatan. Dengan wajah merona malu campur penasaran,
Febby menyodorkan buku bersampul coklat itu.
“
Ok, Miss Cenayang, mari kita uji kemampuanmu membaca karakter orang melalui
tulisan.”
Niar
menyambut buku itu dengan antusias. Ia sengaja tidak membaca nama yang tertera
di sampul depan. Karena ia sudah tahu,
siapa gebetan Febby. Tidak ada yang tidak mengenal Dion. Anak kelas XII IPA 5
itu nyaris menjadi idola seluruh cewek-cewek di sekolahnya.
Dion
memang cool. Ganteng, cerdas
juga jago karate. Jangan salahkan bila banyak cewek yang rela melakukan
hal-hal konyol untuk mendapatkan secuil perhatian dari Dion. Termasuk Febby.
Menurut
Febby demi mendapatkan buku catatan Dion, ia rela menghabiskan jatah uang
jajannya selama sebulan untuk menyogok, Kak Rere, sepupunya yang kebetulan satu
kelas dengan Dion.
Mata Niar menari-nari di atas tulisan yang
tampak rapi itu. Jemarinya menyentuh tulisan itu baris demi baris. Kemudian
dengan cepat ia membolak-balik tiap halaman buku itu dan meraba halaman belakang tiap tulisan. Wajahnya
yang semula tampak antusias pelahan berubah. Febby memperhatikan perubahan di
wajah Niar dengan perasaan tak menentu. Dilihatnya kerutan di kening Niar
semakin dalam. Febby tahu, Niar sedang berpikir keras.
Tiba-tiba
Niar menatap wajah Febby. Tatapannya
terlihat aneh di mata Febby. Tiba-tiba saja, Febby merasa tak nyaman.
“ Sorry, Feb. Eeng... kali ini aku gak yakin.”
Niar mengalihkan pandangannya. Tangannya menyodorkan kembali buku itu ke tangan
Febby. Febby menatapnya dengan tatapan heran.
“
Ah, yang beneeer? Serius dong ah. Aku jadi deg-degan nih.” Febby cemberut.
“Jangan bilang, usahaku menyogok Kak Rere berakhir sia-sia.”
Niar
menatap buku di tangan Febby. Diam-diam dia mengeluh dalam hati. Niar tahu
betul tabiat sahabatnya itu. Bukan Febby namanya bila ia mau menyerah begitu saja.
“
Okey deh, gini aja ya Nona Tak Sabaran,
buku ini aku bawa dulu pulang. Aku beneran gak yakin dengan analisaku barusan.
Mungkin... nanti setelah aku meneliti lebih lanjut, aku bisa lebih yakin.”
Wajah
Febby terlihat senang. Tapi tidak dengan Niar.
Diam-diam
Niar memandang Febby dengan tatapan prihatin. Tiba-tiba ia merasa menyesal. Ia
menyesali kemampuannya membaca kepribadian teman-temannya melalui tulisan. Seandainya...
Seandainya saja ia tidak memiliki kemampuan itu, keluhnya dalam hati.
Kemampuan
itu memang tidak datang begitu saja. Ia menghabiskan waktu berbulan-bulan untuk
mempelajari buku Seni Membaca Tulisan
Tangan yang ditemukannya di perpustakaan pribadi Om Budi.
@
“Bicaralah
apa adanya, Niar.” Ujar Kak Ruwi ketika Niar mengeluh tentang perubahan sikap
Febby belakangan ini. Sejak Niar menolak
memberitahukan Febby tentang hasil observasinya tempo hari, Febby
terang-terangan menjauhi Niar.
Febby
tidak hanya pindah tempat duduk, tapi juga menolak untuk bicara dengannya.
Sikapnya ini membuat Niar merasa serba salah. Terlebih ketika mengetahui Febby
menuduh Niar juga menyukai Dion secara
diam-diam. Niar merasa amat sedih.
Tepat
dua minggu setelah peristiwa itu, Niar
memutuskan untuk menyampaikan hasil analisanya pada Febby. Ia tahu hal ini
tidak mudah. Tidak baginya, apalagi bagi Febby bila mendengar apa yang ingin diutarakannya. Namun ia
berharap Febby mau mengerti kesulitannya selama ini.
Tepat
ketika sekolah bubar, Niar menghampiri meja Febby. Febby yang tengah sibuk
memasukkan buku-buku ke dalam tasnya mengangkat wajahnya.
“
Feb, aku ingin bicara.” Ujar Niar sambil memegang lengan Febby. Sungguh tak
enak rasanya berbicara dalam kondisi seperti itu. Tapi Niar harus melakukannya.
“
Tentang Dion?” Febby menatap Niar dengan tatapan mencemooh. Niar mengangguk
pelan, kuncir kudanya hanya bergerak sedikit. Ia berusaha tersenyum manis
menutupi kegundahan yang menggelitik perutnya.
“Gak
perlu. Aku udah tau banyak dari Kak Rere. Dan malam minggu ini Dion berjanji
mau datang ke rumahku.” Ada nada kemenangan dalam suara Febby. Ia sama sekali
tidak memperhatikan perubahan wajah Niar. Niar tahu, wajahnya pasti tampak
aneh. Tapi ia harus mengatakan semuanya. Apa adanya.
“Tapi
Feb...” suara Niar tercekat. “ Dion itu mengidap penyakit....”
“Sudahlah...
Aku tak membutuhkan ramalanmu. Aku yakin, Kak Rere tidak akan menjerumuskan
adiknya sendiri.”
Febby
meninggalkan Niar yang diam terpaku. Febby merasa Niar menatapnya dengan
tatapan aneh. Namun, ia tak peduli.
@@
Sejak
peristiwa itu, Niar tidak lagi berminat membaca tulisan yang disodorkan
teman-temannya. Ia lebih banyak menghabiskan waktu istirahat untuk membaca buku
di perpustakaan. Apabila tidak sedang di perpustakaan, Niar memilih aktif kongkow bersama teman-teman
dari ekskul teater yang diikutinya.
Lama-
kelamaan teman-temannya pun tidak lagi menjulukinya Miss Cenayang. Apalagi
sejak saat itu, Niar tidak lagi menguncir rambutnya. Ia memotong pendek
rambutnya sehingga ia terlihat lebih fresh. Tidak saja terlihat lebih segar,
Niar juga terlihat lebih cantik. Kini orang lebih mudah melihat mata
kecoklatannya yang bundar dan kulit wajahnya yang bersih.
Niar
tengah melap keringatnya seusai latihan
teater, ketika seseorang berjalan
menghampirinya.
“Aktingmu
keren, “ Sebuah suara yang dalam dan lembut mengagetkan Niar.
Sejenak
darah membanjiri wajah Niar. Pipinya merona ketika mengetahui asal suara itu.
“
Kak Dion? Eh. Oh... Makasih Kak,” Tiba-tiba Niar menjadi salah tingkah. “ Kakak
sedang apa di ruangan ini?” Pertanyaan itu meluncur begitu saja.
“Merhatiin
kamu latihan. Eumh, kamu anak baru ya? Sepertinya dulu aku gak pernah liat
kamu.” Dion memperhatikannya dari atas ke bawah. Diperhatikan begitu rupa oleh
cowok paling keren sesekolah, mau tak mau membuat Niar merasa jengah.
“Engga
kok. Saya teman Febby. Kami sekelas.” Teringat Febby, otomatis kepala Niar
menoleh ke arah pintu yang berada di
belakang Dion.
Ia
melihat sosok Febby yang berdiri di depan pintu aula yang setengah terbuka.
Wajah Febby tegang. Dan sorot matanya tampak terluka. Ketika Dion membalikkan
tubuhnya mengikuti pandangan Niar, Febby sudah menghilang.
“Feb...Febby.”
Lirih Niar nyaris tak terdengar.
“Febby?
Oh ya.... Dia cukup manis sebetulnya.
Kalau saja sikapnya..” Dion tak melanjutkan kalimatnya.
“Memang
kenapa dengan Febby?” Niar merasa penasaran.
“Enggak
ah. Gak enak ngebahasnya.” Dion mengangkat bahu. “ Oya, siapa namamu?”
“Jawab
dulu pertanyaanku, baru aku jawab pertanyaanmu.” Suara Niar terdengar ketus.
Sejenak Dion terkejut, sebelum akhirnya tubuhnya terguncang menahan tawa. Niar
menatap Dion dengan pandangan tak suka. Sikapnya itu membuat tawa Dion meledak.
Namun sesaat kemudian ia berhenti tertawa. Mimik berubah menjadi serius demi
dilihatnya wajah Niar yang memerah.
“Sori...Sori...Sori...
Maaf. Gak sengaja. Soalnya baru kali ini aku ketemu cewek antik kayak kamu.”
“
So?” Niar mengangkat bahunya.
“
Ok. Febby ya? Hemmm, akhir-akhir ini dia menganggap aku adalah pacarnya.
Kemana-mana ia membuntutiku. Ia juga sering inbox di medsos. Sering nge-BBM.
WA.“ Suara Dion terdengar seperti keluhan.
“
Loh, bukannya kalian memang jadian?”
“
Jadian? Kata siapa?” Dion terkejut.
“
Bukannya Kak Dion pernah dateng malam minggu ke rumahnya?” Niar teringat
pembicaraanya dengan Febby tempo hari.
Dion
menggelengkan kepalanya. Ekspresinya tampak lucu di mata Niar. Dan sikapnya
kembali serius saat menatap bola mata
Niar.
“Tapi,
ya aku pernah datang ke rumahnya. Malam minggu. Itu atas permintaan Rere. Ujarnya
adik sepupunya itu sedang sakit, dan untuk membangkitkan semangatnya, ia ingin
aku mengunjunginya.” Dion mengangkat bahu.
Niar
menghembuskan napasnya cepat. Ia sulit mempercayai ucapan Dion. Karena selama
ini ia sering melihat Febby berjalan bersama Dion. Jangan-jangan Dion
berbohong. Tapi untuk apa?
Percakapan
mereka terputus saat Kak Amel, pelatih teater,
menghampiri Niar dan mengajaknya pulang bersama.
Keesokan
harinya, ketika bel baru berbunyi. Febby menghampiri Niar.
“
Jauhi Dion.” Ujar Febby dingin. “Please.”
Sikapnya itu membuat Niar terperangah. Ia tidak mengerti perubahan sikap
sahabatnya itu. Dulu Febby anak yang lucu dan gemar becanda. Tapi sejak ia
berhubungan dekat dengan Dion, pelan-pelan sikapnya berubah.
Selama
ini Niar tidak memperhatikan perubahan Febby. Selain karena Febby menjauhinya,
juga karena Niar tengah berusaha untuk melepaskan diri dari kemampuannya
membaca sikap orang. Ia ingin menilai orang dengan adil. Ia berusaha untuk
membebaskan dirinya dari prasangka-prasangka berdasarkan ilmu yang
dipelajarinya. Dan itu bukan main sulitnya.
Wajah-wajah
yang melintas di depannya, tulisan-tulisan tangan yang dibacanya sepintas lalu,
tampak bagai kartu-kartu tarot yang terbuka di hadapannya. Ia bisa dengan
leluasa menebak sifat-sifat orang hanya dengan memperhatikannya sejenak. Dan
Niar tengah berusaha menghilangkan semua itu dengan banyak membaca buku ataupun
aktif di ekskul teater. Sejauh ini, rasanya, ia hampir-hampir berhasil.
Buktinya, perubahan sikap Febby berhasil membuatnya
terkejut. Tapi benarkah Niar bisa membuang kemampuannya itu seluruhnya? Niar
tak yakin.
@@@
Selasar sekolah terlihat sepi, ketika lamat-lamat Niar
mendengar suara pertengkaran yang berasal dari sebuah kelas yang kosong. Ia
mengenali suara itu. Pelahan-lahan ia menghampiri pintu kelas tersebut.
“ Kak Dion, sekali lagi kuminta, jangan dekati Niar.”
Terdengar suara tawa Dion.
“ Jangan ganggu dia...” Suara Febby terdengar seperti
memohon.
“Baiklah. Tapi ada syaratnya.” Suara Dion mengancam.
Mendengar
ini dada Niar berdegub. Ada sesuatu yang
tak beres. Apakah ini ada kaitannya dengan tulisan Dion yang dibacanya tempo
hari?
Suara langkah kaki
terdengar mendekati pintu. Niar bergegas bersembunyi di balik dinding
kelas. Ketika langkah itu menghilang, Niar tidak menemukan sosok Febby di kelas tersebut.
Padahal Niar berharap Febby masih di
sana. Banyak sekali pertanyaan yang ingin dilontarkannya. Mendengar suara Febby
tadi, entah mengapa, ia merasa rindu sosok Febby yang dulu.
Niar memutuskan untuk menemui Febby di rumahnya sepulang
sekolah. Ia tak ingin berlarut-larut dalam situasi yang tak nyaman. Ia harus
tahu apa arti kata-kata Febby yang tadi didengarnya.
Rumah Febby tampak sepi. Namun sesosok bayangan yang
tengah melamun di pinggir kolam ikan itu menarik perhatian Niar.
“Febby...” tegur Niar hati-hati.
“Oh, kamu? Ngapain ke sini?” Febby terkejut.
“Aku kangen sama kamu, Feb.” Mata Niar berembun. Febby
mengalihkan pandangannya ke arah ikan-ikan Koi yang melenggang memamerkan
keanggunannya berenang di kolam kecil itu. Febby pun merasakan hal yang sama.
Namun kehadiran Dion membuat semuanya berubah.
Febby menghembuskan napasnya pelahan. Perlahan ia
memalingkan wajahnya ke arah Niar. Wajahnya tampak serius.
“ Apa yang dulu mau kamu katakan tentang Dion?”
Niar tergugu. Ia meneguk ludah yang terasa kental di
tenggorokannya.
“ Katakanlah, Niar,
please ?” Febby menggenggam tangan Niar,
Niar menggigit bibirnya pelan. Ia menghirup udara
sebanyak-banyaknya untuk mengusir rasa yang menyesakkan dadanya.
“ Dari hasil analisa yang kulakukan tempo hari, aku
curiga, Dion mengidap penyakit kejiwaan. Dalam kondisi tertentu, ia sangat
labil. Dan berbahaya. Tapi....tapi.... aku harap, aku salah.” Niar menatap
Febby.
Febby memejamkan matanya. Ketika ia membuka matanya, Niar
melihat luka yang dalam di dua mata sahabatnya itu.
“Andai aku mau mendengarmu dulu. “ keluh Febby. “Andai
aku tak dibuat gila oleh perasaanku padanya.” Sebulir air menitik dari sepasang
telaga itu. Niar merasakan kepedihan yang coba Febby sembunyikan.
“Feb, apa yang terjadi? Aku ... aku mendengar
pertengkaran kalian tadi di sekolah.?” Niar merasa harus tahu apa yang terjadi.
Febby terkejut. Kemudian ia memeluk Niar dengan erat.
“Aku menyayangimu, Niar. Aku tak ingin kamu terluka.”
Sejenak Niar membeku. Ia tak mampu mencerna kata-kata
Febby.
“Terluka? Apa maksudmu Feb?”
Febby diam. Pelahan ia melepaskan pelukannya. Ia
membalikkan tubuhnya dan mengangkat t shirt bagian belakang. Niar terbelalak
ketika menyaksikan lebam kebiruan yang bersarang di punggung putih sahabatnya
itu. Airmatanya merebak.
“Dia-kah yang melakukan semua ini padamu?” Dada Niar sesak oleh amarah yang
menggelegak. Febby menggangguk.
“Kenapa kamu diam? Kenapa kamu tak melarikan diri?
Kenapa....?” Suara Niar tercekat.
“Aku juga menanyakan hal yang sama, Niar.” Ujar Febby
ketika berhasil membendung tangisnya. “ Pada mulanya aku mencintainya. Tapi
sekarang, aku takut. Teramat takut.”
Niar menatap sahabatnya nanar. Kemudian mendekapnya erat.
Airmata jatuh di pipi, menitik hingga ke
dasar hatinya.
Jauh di atas sana langit senja merona jingga.
Sebentar lagi langit berubah kelam. Namun jauh dalam hati Niar, ia lebih takut
pada kegelapan yang memasung jiwa sahabatnya. Tamat.
Komentar
Posting Komentar
Terima kasih sudah memberi komentar terbaik. Ditunggu kunjungan berikutnya.
Salam hangat ... :)