Cerpen Majalah Femina Edisi 47 (21 Nov - 2 Des 2016) |
Ada kata-kata yang sedemikian tajam menghunjam. Hingga bilangan tahun tak juga mampu menguburnya. Kata-kata yang begitu gelisah dan penuh amarah. Maka, biarlah dendam itu mewujud dalam sebuah fiksi. Sahabat, selamat menikmati ....
Di Ujung Kemarau
Oleh
: Liza P Arjanto
Anggita menatap resah langit biru yang
mendadak berubah kelabu. Udara panas yang mengepung membuatnya yakin akan satu
hal, bahwa hujan akan turun dalam curah yang lebat. Kegelisahannya semakin menjadi saat rintik
hujan menderas.
Tanpa sadar ia menggigil. Hujan ini
kembali membuat hatinya terasa pedih. Ia beranjak memasuki pondok yang telah
menaunginya sejak kedatangannya ke tanah ini. Beberapa bulan yang lalu. Ia tak menyadari sepasang mata tajam yang
memandangnya dengan tatapan heran.
Ia memilih berada di sini, di tanah
asing, dimana hujan turun tak sesering di tanah kelahirannya. Untuk mengobati
luka hatinya. Ia bekerja keras sepanjang waktu. Melakukan observasi di hutan
lindung bersama Yose, pemuda asli Papua.
Yose
adalah anak tetua adat. Masih keturunan raja terakhir di Pulau Salawati ini.
Sekalipun, secara struktural pemerintahan tidak memiliki wewenang, namun
masyarakat setempat masih menaruh hormat pada keluarga besarnya.
Anggita amat terbantu dengan kehadiran
pemuda bermata kelam itu. Ia mengenalkan
kebiasaan-kebiasaan setempat dan mengajaknya berbaur dengan masyarakatnya. Pada
waktu-waktu tertentu ia menikmati hidangan sagu yang diperoleh dari pohon-pohon
sagu yang terdapat secara bebas di pinggir hutan.
Yose mengajarinya budaya di tanah
Sorong tersebut, hingga ia memahami kebijakan masyarakat setempat dalam
memperlakukan alam. Mereka hidup berdampingan secara harmonis dengan alam
sekitar. Hutan-hutan yang terlindungi, perairan yang bersih dan sungai-sungai
yang jernih menunjukkan penyatuan alami masyarakat dengan lingkungannya.
Terkadang Anggita terheran-heran
dengan luasnya pengetahuan yang dimiliki pemuda itu. Sekalipun Yose selalu
menampilkan diri sebagai sosok sederhana, diam-diam Anggita curiga, Yose tidak
sesederhana yang kerap ditampilkannya.
Mereka
sering meneliti biota laut dan sungai. Salah satu tempat favoritnya adalah
Sungai Dokter. Aliran sungai yang jernih berpagar hutan lebat amatlah memesona.
Tak jarang mereka bersua dengan penduduk setempat yang tengah berendam di
sungai tersebut. Menurut, Yose, masyarakat setempat percaya, sungai tersebut
memiliki keistimewaan bisa menyembuhkan berbagai penyakit. Anggita menganggap
hal itu konyol dan tak percaya sedikit pun akan takhyul tersebut. Namun, Yose
dengan tegas mengingatkan agar ia menghargai kepercayaan tersebut.
Anggita kerap memperhatikan ikan-ikan
kecil yang lalu lalang dalam aliran sungai nan jernih itu. Kawanan ikan
tersebut seolah menari melawan arus.
“Kami menyebutnya ikan pelangi,” ujar
Yose sambil tersenyum. Ia menyukai ketakjuban yang memancar dari wajah Anggita.
Terasa wajar dan jauh dari kepura-puraan.
“Indah sekali, Yose.”
Mata bulat Anggita bersinar-sinar
ketika menatap ikan yang bewarna ungu dengan bercak biru tua pada bagian belakangnya,
sementara insang ikan tersebut tertutup warna keemasan dan siripnya warna
violet kebiruan. Dalam jumlah yang banyak kawanan itu tampak bagai pelangi yang
tak henti bergerak.
Anggita
pun seringkali terpesona menatap keindahan lautnya. Sering ia berpikir, mungkin Tuhan tengah tersenyum ketika
menciptakan Kepulauan Raja Ampat ini. Tempat dimana ia bisa melupakan dirinya.
Dan melarutkan kepedihan hatinya.
“Kamu tak ingin kembali ke Pulau
Jawa?” tanya Yose suatu kali. Anggita mengangkat bahu.
“Aku belum menemukan alasan untuk
kembali.”
“Bila kamu sudah menemukan alasan?”
“Entahlah. Kuharap alasan itu cukup
kuat untuk membawaku pergi dari tempat yang menakjubkan ini.”
Saat
itu senja turun pelahan. Cahaya keemasan memantul berkilau di atas lautan
sejauh mata memandang. Suasana terasa magis. Perempuan itu termangu menatap
bulatan cahaya yang pelahan tenggelam. Pada saat yang sama lelaki itu pun
tengah terpaku menatap keindahan lekuk wajah Anggita.
*
Seperti kemarin, pagi ini pun langit
tak biru sempurna. Udara yang terasa mengepung menimbulkan kegelisahan di hati
Anggita. Tiba jua ia di penghujung musim kemarau. Yose memperhatikannya sejak
tadi.
“Sebentar lagi musim hujan tiba.” Mata
Yose menakar raut Anggita. “Tak baik berada di tepi laut saat hujan turun.
Sebaiknya kamu pindah ke rumahku. Mama yang memintanya.”
“Akan aku pikirkan dulu,” potong
Anggita cepat. Ia tak ingin terlihat begitu rapuh dengan dengan alasan tak
masuk akal. Yose mengangkat bahu.
“Sebaiknya...ummh, kurasa kamu terlalu keras
pada dirimu sendiri.”
“Aku
tidak...” Anggita mencoba untuk menyanggah. Namun, sinar mata Yose yang dalam
membuatnya urung membantah.
*
Musim
kemarau begitu cepat berlalu, setidaknya begitulah perasaan Anggita. Ia tak
siap menghadapi musim penghujan yang datang di tempat persembunyiannya ini.
Ingatannya pada Dion kembali bersama bulir-bulir yang jatuh di tanah coklat.
Peristiwa itu terjadi saat hujan turun
teramat deras.
“Jangan pergi, Mas,” pintanya, rasanya
seperti memohon sebuah keajaiban. Meski ia sudah memperkirakan jawabannya, toh,
ia tetap melakukannya. Lelaki itu,
mendengus. Pandangan matanya mengiris Anggita. Seolah-olah perempuan itu tak
lebih dari gumpalan daging yang tak berharga.
“Apa selama ini, kau membayangkan
cinta, Anggita?” suara Dion terdengar mengejek. Anggita memejamkan mata. Setiap
kata yang keluar dari mulut Dion tak ubahnya sembilu yang mengiris hatinya.
Rasanya menyakitkan. Terlebih karena ia sadar, ia memang mencintai Dion.
“Jangan bayangkan cinta. Karena aku
tak pernah merasakannya. Tidak denganmu. Pernikahan ini hanyalah omong kosong.
Camkan itu.”
Anggita hanya bisa terdiam. Pun ketika
hujan mengaburkan bayangan lelaki itu dan membawanya pergi. Malam itu ia hanya
bisa menggigil. Menyesali kebodohan dan kenaifannya sementara hujan deras
mengguyur tubuhnya tanpa ampun. Lelaki itu merampas seluruh harga dirinya,
menginjaknya dan meninggalkan kekosongan yang membekukan saraf.
Entah mengapa sejak saat itu ia
membenci hujan. Ia membenci kenangan yang dibawa hujan dalam setiap tetesnya.
Lebih dari semua itu, Anggita membenci dirinya yang selalu berpikir bahwa
sebuah pernikahan akan menumbuhkan cinta di hati yang lain.
Pernikahan itu hanya bertahan dua
bulan. Tidak lebih. Dion terpaksa menikahinya untuk memenuhi permintaan ibunya
yang tengah sakit keras. Pernikahan yang dipaksakan demi ambisi orangtua,
begitulah anggapan Dion. Ia memutuskan meninggalkan Anggita tepat sehari
setelah ibunya menghembuskan napas. Ia memilih mengejar cinta yang lain.
Anggita pernah melihat fotonya. Seorang wanita cantik dengan lesung pipi yang
mendekik indah di pipi.
Dion tidak peduli tindakannya tersebut
melukai keluarga besar istrinya. Terutama Anggita. Rasa malu dan terluka
membuat Anggita melarikan diri dari kota kelahirannya, dimana hujan bisa runtuh
sewaktu-waktu. Ketika kantor tempatnya bekerja membutuhkan tenaga peneliti
untuk di tempatkan wilayah timur Indonesia , tanpa berpikir dua kali Anggita
langsung mengajukan diri.
Hingga detik ini ia tak pernah
menyesali keputusannya untuk berada di pulau tercantik di dunia. Pulau
Salawati.
Dan,
kini hujan kembali menyapa. Tanpa sadar Anggita menggigil menahan perih yang pelahan
merayapi hatinya. Masihkah ia mencintai Dion? Entahlah. Yang ia tahu, luka itu
masih mengalirkan darah.
“Masuklah
ke dalam, Anggita. Hujan tak baik untuk kesehatanmu.” Suara lembut Yose
menyentak kesadarannya. Ditatapnya mata kelam Yose. Mata itu seperti samudra
yang selalu menenangkannya.
Kadang
Anggita berharap, menemukan tatapan selembut itu pada sepasang mata Dion.
Kenangan itu kembali menusuk hatinya. Anggita memejamkan mata, berharap
bayangan Dion tak lagi mengganggunya.
“Kamu
selalu tampak terluka setiap kali hujan turun.” Yose masih menatapnya. “Ada apa
Anggita?”
“Aku...,
baik-baik saja,” elaknya. Tatapan mata Yose menimbulkan debar lembut di
dadanya.
“Kukira, kamu sama sekali tidak baik-baik saja.” Yose
menekan ujung kalimatnya. Anggita menghela napas. Berpikir sejenak sebelum
memutuskan untuk mengeluarkan beban batinnya.
“Ia
pergi saat hujan turun. Dan tak pernah kembali,” lirih suara Anggita.
“Karena
itukah kamu membenci hujan?”
“Terdengar
tolol, bukan?” Anggita menertawakan kebodohannya.
“Kamu
masih mencintainya?”
“Entahlah.”
Suara Anggita tak yakin.
*
Anggita
memutuskan untuk menuruti saran Mama Latifah Salamit, ibunda Yose. Berada di
tempat sunyi akan sangat berisiko bagi kondisi psikisnya yang tidak stabil. Anggita
duduk di teras rumah yang terbuat dari kayu. Hari sudah beranjak siang. Yose
pun sudah tiga hari pergi ke kota karena ada urusan yang harus dikerjakannya.
Entah
mengapa ia merindukan kehadiran Yose. Tatapan pemuda itu selalu menghangatkan
hatinya. Kerap di malam-malam sunyi, ia rindu suara Yose yang selalu
mengingatkannya untuk beristirahat bila ia terlalu keras kepala melakukan
pekerjaan-pekerjaan sulit.
Pemuda
itu pun memiliki wibawa yang memancar pada saat ia berada di tengah-tengah
masyarakatnya. Kekagumannya pun kian bertambah ketika mengetahui, Yose meraih
gelar sarjana dari sebuah universitas ternama di Pulau Jawa, namun lebih
memilih membangun daerahnya daripada menikmati karir cemerlang di perusahaan
asing.
Ingatannya tentang Yose membuat ujung
bibirnya melengkung indah. Ah, Yose....
“Anggita.”
Anggita
mengenali suara itu. Yose. Dadanya berdebar.
Anggita menoleh. Senyum yang
mengembang di wajah Anggita tiba-tiba membeku. Yose tak sendiri. Yose datang
bersama seorang perempuan cantik yang menggandeng lengannya dengan sikap manja.
Entah mengapa, Anggita merasa ia pernah
melihat perempuan itu. Wajah itu sangat familiar dalam benaknya. Ia mulai
merasa tak nyaman. Wajah itu mengingatkannya akan sebuah luka. Luka yang
perlahan kembali menganga.
“Kamu terlihat sehat sepeninggalku.
Oya, kenalkan ini Sadine. Teman kuliahku dulu. Ia ingin berlibur di sini
beberapa hari. “
Sadine tersenyum manis. “Senang
bertemu denganmu.” Anggita terpana. Dekik yang indah itu pernah ia lihat.
Persis seperti yang dilihatnya pada selembar foto. Foto yang ia temukan di dalam dompet
suaminya. Tiba-tiba Anggita merasa bumi di bawah kakinya berguncang dan
pandangan matanya menjadi gelap.
Tamat.
Lanjutannya bisa dibaca di sini
wuiih endingnyaa...
BalasHapusXixixi... Biar pembaca yang nerusin sendiri 😁
HapusPapua kece ya , terima kasih buat deskripsi nya tentang keindahan alam papua,, tapi endingnya nyesek ,udah jauh2 sembunyi ehhh malah disamperin sama sumber luka, 🫢😔😊
BalasHapusHihihi... Kadang hidup memang terasa nyesek.
HapusTapi lanjutannya ada di cerpen terbaru. Senyum yang terbit di P Salawati.
Btw, makasih sudah berkenan baca 😊