Majalah Femina Edisi 20
Cerpen Pertamaku di Majalah Femina
Aku ingat, menuliskannya dengan hati berdegup. Berulang kali kulirik
selembar koran yang memuat informasi tentang Gurano Babintang.
Membayangkan sebuah rumah yang didirikan di atas air laut. Untuk sebuah
cinta. Dan senja pun turun berkilau. Aku terpaku.
Selamat menikmati.
Senja Di Kwatisore
Oleh : Liza P Arjanto
Reina memaku pandangannya ke arah
punggung lelaki muda berkulit gelap nan tegap di hadapannya. Lelaki itu, Kai,
seolah tenggelam dalam dunianya. Kedua tangannya bergerak cekatan memaku
bilah-bilah papan pada tiang kayu besi yang menjadi rangka rumah.
“Reina, rumah ini akan menjadi rumah
yang luar biasa. “ Tiba-tiba Kai berkata. Mata hitamnya yang tajam menatap
wajah Reina. Reina mengalihkan pandangannya. Tak mampu menatap mata Kai. Ia tak
ingin melukai Kai. Tapi Kai tak mungkin didustai. Kai tahu segala hal tentang Reina. Seperti ia mengetahui
garis-garis yang menggurat telapak tangannya sendiri. Hanya satu hal yang Kai
tidak tahu. Dan Reina ingin menyembunyikannya dari Kai.
“Rumah ini untukmu.” Ujar Kai bangga.
Reina mencoba tersenyum. Matanya menelusuri dinding yang baru separuh
jadi. Rumah itu lebih pantas disebut
gubuk. Terdiri dari beranda luas yang tertutup atap rumbia. Kai hanya membangun
sebuah kamar dalam rumah itu. Kamar yang berdinding kayu dan berjendela anyaman
rumbia yang memungkinkan angin memeluk
penghuninya sepanjang waktu.
Reina tahu Kai mencintai dirinya
sebesar cintanya pada lautan biru di hadapannya. Reina tak ragu sedikit pun
tentang kesungguhan lelaki itu. Lelaki yang kini tengah menakar raut wajahnya
dengan kerut yang dalam.
“Ada apa Reina?” Bola mata hitam itu
melembut. Sesungguhnyalah ia lelaki yang lembut. Reina mendesah. Kepalanya
mengeleng pelan.
Matahari senja memantulkan bias-bias
jingga di Teluk Cendrawasih. Langit yang
belum sepenuhnya gelap menjelma menjadi pentas warna menakjubkan yang membuat
Kai sejenak melupakan pertanyaannya.
Reina menatap cahaya yang pelahan
memudar. Bintang-bintang yang berpendaran muncul dalam jumlah tak terhingga.
Sesaat ia ingin lenyap bersama bayangan matahari yang hilang. Namun itu tak
mungkin. Nyatanya ia masih di sini. Bersama Kai yang tengah menatap wajahnya
serius.
“Aku harus pergi, Kai.” Ujarnya pada
akhirnya. Tak mungkin menyembunyikannya dari Kai.
“Bukankah kau berjanji untuk menemaniku?”
tuntut Kai.
“Ya. Tapi sekarang itu tak mungkin
lagi.”
“Kenapa, Reina?”
Reina terdiam. Alangkah sulit
menjelaskan pada Kai. Bahwa kini semua tak lagi sama.
“Aku akan kembali ke asalku.” Reina
menundukkan kepala.
“Asalmu di sini, Reina.” Mata tajam
Kai menuntut.
“Sebagian.” Reina mengangkat kepala.
Tatapnya jatuh ke batas laut yang kini tampak gelap. “Sebagian lagi berasal
dari balik samudra itu.”
“Kau tak mengenal mereka, Reina. Dan
mereka tak mengenalmu. Kau, hanyalah....” Kai terdiam. Tak mampu melanjutkan
kalimatnya.
Reina tersenyum sendu. Ia mafhum apa
yang ada di balik kepala lelaki yang dicintainya ini. Seperti ia mafhum akan
anggapan seluruh warga Desa Kwatisore tentang dirinya.
Reina menghirup udara memenuhi
rongga dadanya yang terasa sesak. Samar-samar ia mencium aroma tajam yang
menguar dari tubuh Kai. Betapa ingin ia memeluk tubuh perkasa dan membenamkan kepalanya pada dada bidang
yang teduh itu. Tapi ia tak bisa, tak akan pernah bisa. Dan Kai sungguh tahu
itu.
Bintang-bintang bermunculan di atas
langit malam Teluk Cendrawasih. Kai tak mampu banyak bicara. Reina adalah
jiwanya. Sejak belia ia mengenal Reina yang unik. Lain dari yang lain. Reina
yang pemalu dan selalu menemuinya diam-diam.
Tak perlu diragukan lagi, Kai
mencintai Reina seperti ia mencintai bulir pasir putih di tepi pantai.Ia
menggilai Reina seperti ia tergila-gila pada kehangatan matahari Papua. Tak ada
yang bisa menggantikan Reina. Ia adalah satu dari sekian sebab yang memantik
semangat hidup Kai.
“Tapi, rumah ini kubangun untukmu,
Reina.” Kai berbisik sendu.
“Aku tahu...”
“Kita akan bersama. Siang dan malam.
Melewati hari-hari. Menghirup udara yang sama, bermandi sinar matahari yang
sama.” Bujuk Kai.
Reina tergugu.
“Maafkan aku, Kai. Kau tahu sendiri.
Bagaimana anggapan penduduk desa tentang diriku. Mereka tak pernah menyukai
aku.”
“Tapi aku menyukaimu.” Jawaban itu
menghangatkan hati Reina. “ Selalu.”
“Tapi kau adalah bagian dari mereka.
Kelak kau pun akan seperti mereka.”
“Tak akan pernah.” Desis Kai marah.
Reina tersenyum lembut. “Kuharap
demikian, Kai.”
*
Rombongan lelaki berkulit gelap dan
berambut ikal beramai-ramai menuju pantai. Dengung suara membangunkan Kai dari
tidurnya yang gelisah. Sejak semalam ia tertidur di pondok yang dibangunnya di atas sebatang pohon yang
menjorok ke laut. Sinar matahari pagi tajam menerpa wajahnya.
Bergegas Kai berlari menuruni tangga
pondoknya, ketika melihat rombongan itu membawa peralatan berburu.
Batang-batang tombak panjang berkilauan dalam genggaman para pemuda berbadan
tegap itu seolah mengiris hatinya. Ia
tahu apa yang akan mereka lakukan. Namun kali ini ia harus menghentikan mereka.
“Uuuuuup.... uuuup....uuuuuppp!”
teriak Kai. Ia menggenggam lengan tetua adat. Bola matanya memohon. Mulutnya
menjelaskan banyak hal. Namun tak pernah ada yang bisa memahami. Termasuk tetua
adat yang tak lain ayah kandungnya sendiri.
Lelaki berwajah kukuh itu menatapnya
tajam. Wajahnya adalah gumpalan kekecewaan. Pandangan matanya adalah pancaran
kekalahan yang tak pernah bisa ia sembunyikan.
Kai, merupakan satu-satunya anak lelaki yang
dimilikinya. Dari seluruh anaknya yang berjumlah sebelas, hanya Kai-lah yang
berjenis kelamin sama dengannya. Pada Kai, ia meletakkan seluruh harapannya.
Harapan yang sirna ketika ia menyadari tak sepatah katapun yang keluar dari
bibir Kai mampu dimengertinya.
Baginya
ini adalah aib. Aib yang tak bisa dihapus bahkan oleh sikap tak pedulinya.
Sejak menyadari Kai berbeda. Tak bisa mendengar suaranya dan tak bisa
dimerngerti, dinding tebal tercipta di antara mereka. Baginya, Kai telah mati.
Bersama matinya harapan besarnya tentang seorang anak lelaki perkasa penerus
kepemimpinannya.
Tetua
adat menepis tangan Kai. Ia meneruskan langkahnya memimpin rombongan lelaki
berwajah bara. Kaum yang menyiratkan kemarahan pada sesuatu yang dianggap
pengganggu dan merugikan kehidupan mereka. Dan Kai tahu tujuan mereka.
Teriakan
perang bersahut-sahutan. Wajah-wajah garang bersemangat berlari menyambut ombak
yang memecah pantai. Kai tidak bisa mendengar jelas. Namun, gempita yang
memantul-mantul di dinding gendang telinganya membuatnya resah. Perahu-perahu
dilepas. Teriakan-teriakan membahana.
Kai
berteriak-teriak, memohon untuk berhenti. Tak seorangpun mendengarnya. Kai
berlari menaiki tangga pondoknya. Hatinya cemas menatap tengah lautan biru.
Reina masih di sana.
“Gurano
Babintang! Di sana...!” Para pemuda bertombak berenang membelah laut. Mereka
bergantian menyelami lautan biru. Perahu-perahu terombang-ambing serupa kertas
di tengah lautan.
Tiba-tiba pekik kemenangan memenuhi angkasa.
Teluk Cendarawasih memerah. Seekor hiu paus bersimbah darah. “Hantu” yang
mengganggu ketentraman dan menghabiskan ikan-ikan kecil di perairan itu kini
telah berkurang satu.
Di tengah lautan kawanan raksasa laut itu bergerak gelisah. Gelombang
tak lagi menentramkan. Masyarakat yang terganggu sebab tubuh raksasa ikan-ikan
itu kerap merusak jaring-jaring mereka.
Dan kini mereka tak mau lagi diam. Mereka mengusir dan melukai, Gurano
Babintang yang terperangkap jaring.
Salah
satunya adalah Reina.
**
Kai
masih duduk di serambi pondok. Ombak
masih setia memecah pantai di bawah kakinya. Namun iramanya tak lagi sama.
Kekosongan memantul-mantul di hati Kai.
Tatapnya membeku ke tengah samudra yang diam. Samudra yang menjadi saksi
kedekatan mereka.
Kai
teringat.
Kai kecil selalu berlari ke laut setiapkali
hatinya merasa gundah dan sedih. Kekecewaan ayahnya yang tak pernah surut,
hanya mampu ia atasi dengan melarutkan amarahnya ke dalam lautan. Di sanalah ia menemukan makhluk itu. Makhluk
paling cantik dalam pandangan Kai cilik.
Mengetahui
anggapan penduduk desa yang menyebut raksasa laut itu sebagai pengganggu
membuat Kai merasa senasib. Meskipun penduduk desa selalu menjauhi dan takut
bersentuhan dengan hiu paus itu, tapi menurut Kai, mereka makhluk yang lembut
dan baik hati.
Salah
satu di antara kumpulan ikan raksasa itu ia beri nama, Reina. Gurano Babintang
muda yang selalu menghampirinya setiapkali ia menyelam ke laut. Seperti Kai
mengenali Reina, Reina pun memahami kekurangan Kai.
Mereka
tumbuh bersama di tengah samudra. Kecintaan Kai pada Reina seiring dengan
meningkatnya pemahamannya tentang pentingnya keberadaan Reina dan
kawan-kawannya bagi kelestarian lingkungan. Sekalipun Kai tak mampu mendengar,
kecerdasannya mampu melihat dampak baik yang diperoleh lautan dari kebiasaan
raksasa-raksasa itu menyaring air laut yang masuk melalui mulut lebarnya.
Kai
ingin penduduk desa mengerti. Namun ia tak bisa berbuat banyak. Cacat yang
disandangnya membuatnya tak mampu berbuat banyak. Hanya satu yang bisa
dilakukannya. Membangun sebuah rumah.
Rumah
pohon yang dibangun sebagai tanda cintanya. Salah satu dari keinginannya yang
tak bisa ia ungkapkan pada pada penduduk desa, pun pada ayahnya. Yaitu, hidup berdampingan dengan Reina.
***
Senja
merambat pelan dan muram. Jingga menyemburat dari tepi langit sesaat sebelum
terbenam. Kai masih membeku. Separuh nyawanya terbang bersama Reina, Gurano
Babintang yang tertombak lengan perkasa
penduduk Kwatisore.
Selesai.
Komentar
Posting Komentar
Terima kasih sudah memberi komentar terbaik. Ditunggu kunjungan berikutnya.
Salam hangat ... :)